Foto ilustrasi, logo kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2019. – Koalisi Masyarakat Sipil

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Fientje Jarangga*

Bagian 1

Dialog seperti yang tertulis berikut ini hanya bisa terjadi karena antara Perempuan Korban dan Tim Pendokumentasian memiliki kepercayaan (trust) yang setara, dibangun di antara mereka.  Kesaksian yang dihimpun dalam laporan pendokumentasian dengan judul “Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM” itu telah mengungkapkan berbagai fakta sosial yang dihadapi dan dijalani dalam berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di Papua, sejak tahun 1963-2009.

“Kami perempuan Papua sudah babak-belur, kami terjepit, terkepung dari semua arah.  Kami tidak aman di dalam rumah, dan terlebih lagi di luar rumah. Beban yang kami pikul untuk menghidupi anak-anak kami terlalu berat. Sejarah rakyat Papua berlumuran darah, dan perempuan tidak terkecuali menjadi korban dari kekerasan aksi-aksi militer yang membabi-buta. Kami mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual di dalam tahanan, di padang rumput, dalam pengungsian, di mana pun kami berada sewaktu tentara dan polisi beroperasi atas nama keamanan. Bahkan, di rumah kami sendiri pun kami menjadi korban kekerasan yang bertubi-tubi. Pada saat kami berteriak minta tolong, mereka mengatakan, “Itu urusan keluarga, urus di keluarga.” Di seluruh Tanah Papua, tidak ada satu pun tempat berlindung khusus bagi perempuan korban kekerasan. Wabah HIV/AIDS semakin memojokkan kami, nyawa terus berjatuhan. Sampai kapankah situasi ini terus berlanjut?”

Laporan pendokumentasian itu telah menggambarkan situasi kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan yang dialami  korban dan saksi korban yang sampai saat ini kehidupannya masih dalam keadaan tidak nyaman dan ketidakpercayaan kepada orang lain, termasuk kekuasaan yang sedang berlangsung.  Kondisi trauma panjang di mana perlu ditolong oleh orang di luar lingkungannya, yang mana ada harapan korban serta saksi korban, mendapatkan kenyamanan dan pemulihan agar mereka bisa survive  menjalani  kehidupan yang damai, mendambakan hak hidup yang tenang dan sejahtera; bukan lagi pembunuhan, tekanan, diskriminasi dan siksaan. Mereka ingin agar kehidupan generasi penerusnya di waktu yang akan datang akan menjadi lebih bermartabat.

Di sisi lain, berbagai kebijakan pembangunan diarahkan untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan yang terus terjadi di Papua selama kurung waktu 50 tahun. Salah satu kebijakan negara dalam  menghentikan situasi itu, negara menetapkan kebijakan pendekatan militer untuk mengamankan integritas teritori Indonesia, melindungi kepentingan ekonomi dan investasi sumber daya alam.  Situasi itu sepertinya dibiarkan berlangsung, Orang Asli Papua menjadi target kekerasan dan represi atas nama kesatuan negara Indonesia. Dalam keseluruhan konflik tersebut dan situasi pasca konflik, perempuan harus meghadapi dan berhadapan dengan bentuk-bentuk terberat dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.

Dengan membangun kerjasama dengan berbagai lembaga dan jaringan di Indonesia, TIKI’ Jaringan HAM Perempuan Papua terus mendorong adanya  pemahaman gerakan HAM perempuan tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan lainnya di Papua, dan juga mendorong, mendukung, menggalang pembelaan dan pemenuhan serta pemulihan hak-hak perempuan Papua.

Dalam perspektif itu, menjadi penting bagi perempuan siapapun dia untuk memahami bahwa perempuan sebagai penerus kehidupan generasi bangsa telah dibebani tanggungjawab yang sungguh sangat berlipat ganda terhadap dirinya sendiri, keluarganya dan lingkungan masyarakat dimana ia ada.  Pandangan kultur Papua,  yang memandang perempuan sebagai penerus kehidupan, pendamai, dalam praktek kehidupan sehari-hari pada umumnya pandangan ini tidak mendukung sepenuhnya pemahaman ini “hidup” ditengah-tengah masyarakatnya “papua” oleh karena pandangan ini telah meluntur terutama “nilai” yang terkandung dalam budaya Orang Asli Papua. Dimana yang terjadi adalah, sebagian perempuan  mendefinisikan pribadinya sebagai penerus kehidupan dalam artian perempuan hanya sebatas melahirkan anak dan menjadi pekerja yang baik.

Semoga pencerahan-pencerahan yang tumbuh atas kesadaran baru saat ini bisa menjadi pemahaman baru bagi setiap perempuan Papua. Perempuan Papua,  bisa menjadi utas benang yang berjaring membangun dan membangkitkan respek terhadap diri sendiri dan kemudian dapat melakukan perubahan mendasar melalui cara-cara yang adil dan damai.(*)

*Penulis adalah Koordinator Jaringan HAM Perempuan Papua