10 akar sejarah kekerasan negara di Papua (1/2)

papua-demo-tolak-New-York-Agreement

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Gembala Dr. Socratez Yoman, MA “…sikap merasa tak pernah bersalah dari pemerintah Indonesia juga akan menjauhkan orang Papua dari Indonesia” (Amiruddin, al Rahab, 2010: 64). Melalui artikel ini, penulis tegaskan dan sampaikan kepada seluruh rakyat dan bangsa Papua dan Indonesia, bahwa akar sejarah konflik antara bangsa (negara) Indonesia dan bangsa Papua,  bukan separatis, makar, OPM, KKB, dan teroris. Itu semua adalah mitos, hoaks, label atau stigma yang diproduksi penguasa Indonesia melalui TNI/Polri sebagai topeng atau tameng untuk menyembunyikan akar sejarah konflik yang sesungguhnya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah menemukan dan memetakan empat akar sejarah konflik atau kekerasan negara di Papua. Empat pokok akar konflik itu dirumuskan LIPI dalam buku “Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future” (2008), yaitu, 1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 2) Kekerasan negara dan pelanggaran HAM berat sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; dan 4) Kegagalan pembangunan, meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. Dari sepuluh akar konflik di Papua, enam akar kekerasan negara tidak diungkap atau dipetakan oleh LIPI. Enam akar sejarah konflik berdarah yang terpanjang atau terlama di Asia yang tidak pernah diselesaikan, sebagai berikut, Kolonialisme Akar konflik/kekerasan yang paling utama di Papua ialah kolonialisme, yaitu Indonesia sebagai kolonial modern menduduki dan menjajah serta menindas rakyat dan bangsa Papua Barat (Tanah Papua) sejak 1 Mei 1963. Ada berbagai bentuk penjajahan yang dilakukan oleh kekuatan militer Indonesia, salah satu contohnya ialah penghilangan dan pembakaran buku-buku atau dokumen-dokumen sejarah yang berhubungan dengan identitas bangsa Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 5 Juli 2020 menyatakan: “Begitu mendapat tempat di Papua (setelah UNTEA tanggal 1 Mei 1963), para elite Indonesia yang menampakkan kekuatannya dan membakar semua buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan semua tulisan tentang sejarah, etnografi, penduduk, pemerintahan; semua dibakar di depan orang banyak di halaman kantor DPRP sekarang di Jayapura” (Lihat, Acub Zainal dalam memoarnya: I Love the Army). “Pembakaran besar-besaran tentang semua buku-buku teks dari sekolah, sejarah dan semua simbol-simbol nasionalisme Papua di Taman Imbi yang dilakukan ABRI (TNI) dipimpin oleh Menteri Kebudayaan Indonesia, Mrs. Rusiah Sardjono.” Pastor Frans Lieshout, OFM melayani di Papua selama 56 tahun sejak tiba di Papua pada 18 April 1969 dan kembali ke Belanda pada 28 Oktober 2019. Pastor Frans dalam surat kabar Belanda De Volkskrant (Koran Rakyat) diterbitkan pada 10 Januari 2020, menyampaikan pengalamannya di Tanah Papua. “Saya sempat ikut salah satu penerbangan KLM yang terakhir ke Hollandia, dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.” “Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. Menjarah barang-barang bukan hanya di toko-toko, tetapi juga di rumah-rumah sakit. Macam-macam barang diambil dan dikirim dengan kapal itu ke Jakarta. Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda di bakar.” (Gembala Dan Guru Bagi Papua, 2020: hal. 593). Fakta lain ialah pada bulan April 1963, Adolof Henesby, Kepala Sekolah salah satu Sekolah Kristen di Jayapura ditangkap oleh pasukan tentara Indonesia. Sekolahnya digrebek dan mereka mencari simbol-simbol nasional Papua, bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu, sesuatu yang berhubungan dengan budaya orang-orang Papua diambil. Adolof Henesby dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa dia masih memelihara dan menyimpan lambang-lambang Papua” (TAPOL, Bulletin No.53, September 1982). Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno, mengeluarkan Surat Larangan pada Mei Nomor 8 Tahun 1963. “Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden.” Kapitalisme Kolonialisme/pendudukan dan penjajahan wilayah selalu hadir karena daya tarik sumber daya alam yang melimpah. Jadi, kolonialisme di Papua karena adanya kapitalisme. Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang kaya raya seperti susu dan madu menjadi motivasi pendudukan dan penjajahan Indonesia yang ditopang oleh kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Papua. Kepentingan kapitalisme di Papua mengorbankan tiga tokoh penting, yaitu: (a) Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammarskjold di Kongo pada 17/18 September 1961; (b)  Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang tewas ditembak pada 22 November 1963 oleh Lee Harvey Oswald; (c) Presiden Indonesia, Ir.Soekarno, dilengserkan pada tahun 1965 dengan tuduhan pendukung partai Komunis. Tiga orang yang dianggap penghambat kepentingan ekonomi di Papua ini dikorbankan. Para pemilik modal dengan secepatnya membuat perjanjian kontrak kerja PT Freeport McMoran dengan Soeharto pada 7 April 1967 untuk tambang dan uranium di Nemangkawi/Ndugu-Ndugu (Tembagapura). Perjanjian kontrak kerja ini dibuat dua tahun sebelum Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata, melalui rekayasa Pepera 1969, yang cacat hukum dan moral serta melawan standar dan kaidah-kaidah atau hukum internasional Militerisme Militerisme memperkuat dan memperkokoh serta melindungi kolonialisme dan kapitalisme. Kolonialisme identik dengan militerisme. Kapitalisme identik dengan militerisme. Ini disebut gabungan kekuatan triplet atau kembar tiga. Artinya, kolonialisme, kapitalisme, dan militerisme itu satu nyawa dan satu roh yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain. Dengan tepat Amiruddin al Rahab menyatakan: “Semakin menghujamnya cengkeraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasinya di Papua, untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruh dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran dan transmigrasi dari luar Papua.” (Heboh Papua: Perang Rahasia-Trauma Dan Separatisme:  al Rahab: 2010:46). Khusus di Papua, moncong senjata menjadi satu-satunya solusi yang dipakai negara selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini untuk menjaga kapitalisme dan memperkokoh kolonialisme. Orang-orang asli Papua yang bersuara kritis untuk melindungi hak atas tanah mereka dan memperjuangkan keadilan serta martabat kemanusiaan dituduh separatis, makar, OPM dan KKB dan dibantai seperti hewan dan binatang. Pelakunya kejahatan yang mengorbankan nyawa manusia orang asli Papua tidak pernah dihukum, bahkan disebut seperti pahlawan nasional. Amiruddin al Rahab dengan tepat

Perdagangan cenderawasih dalam sejarah

Orang asli Papua di AS menolak perdagangan burung cenderawasih

Papua No. 1 News Portal | Jubi Munculnya undang-undang pelestarian dan perlindungan alam di Indonesia saat ini, memiliki sejarah panjang dan sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Praktik pelestarian alam di zaman Belanda tidak dapat terlepas dari dua peristiwa di tahun 1714. Saat itu Chastelein mewariskan dua bidang tanah persil seluas 6 hektare di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat). Chastelein mengharapkan agar kawasan tersebut bisa dipertahankan, tidak dipergunakan sebagai areal pertanian. Selanjutnya, pada 1889 berdasarkan usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor, kawasan hutan alam Cibodas ditetapkan sebagai tempat penelitian flora pegunungan, yang kemudian diperluas hingga pegunungan Gede dan Pangrango pada 1925. Wacana konservasi kembali muncul pada akhir abad 19, tepatnya pada 1896. Saat itu pemerintah kolonial Belanda mendapat tekanan dari luar Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cenderawasih secara liar. Pada tahun-tahun tersebut, cenderawasih dipakai sebagai hiasan (mode) yang tren di Eropa dan setiap tahunnya sekitar 10.000 sampai 30.000 ekor per tahun burung cenderawasih diselundupkan ke Eropa. Tak heran bila pedagang seperti Dumas (pedagang dari Jerman [?]) menetap di Pulau Debi, Hollandia (kini Jayapura), Papua, untuk mengumpulkan cenderawasih untuk dibawa ke Eropa. Sejarah juga mencatat, para pedagang Cina datang ke Papua untuk mencari cenderawasih selain komoditi lainnya. Zending pada awal tahun 1900 turut melarang perdagangan cenderawasih, dalam Koloniale Studièn 1920. Di situ ditulis bahwa pada tahun 1898 sebanyak 35 ribu cenderawasih dijual di pasar London, Inggris. Tahun 1904 sampai 1908 jumlah cenderawasih yang masuk ke London sebanyak 155 ribu ekor, ke Perancis sekitar 1.200.000 ekor. Total penjualan burung cenderawasih selama 1820-1938 ke seluruh Eropa ditaksir kurang dari tiga juta ekor. Pada saat itu, seorang entomolog amatir, M.C. Piepers, yang juga mantan pegawai Departemen Hukum Hindia Belanda mengusulkan agar tindakan perlindungan burung cenderawasih dan beberapa flora dan fauna lainnya yang terancam punah. Ia menyarankan agar dibuat suatu taman nasional seperti Yellowstone National Park, yang secara resmi melindungi spesies-spesies terancam punah. Perdagangan burung-burung cenderawasih tersebut kemudian melahirkan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Liar dan Burung Liar yang dikeluarkan pada 1910. Undang-undang ini kemudian berlaku di seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 1931 diterbitkan Undang Undang Perlindungan Margasatwa Nomor 266 Tahun 1931 (termasuk di dalamnya perlindungan terhadap cenderawasih). Setahun kemudian, 1932, diterbitkan Natuur Monumenten Ordonantie atau Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Ordonansi ini kemudian diterbitkan oleh Peraturan Perlindungan Alam. Pada tahun tersebut mulai dimungkinkan adanya kegiatan di kawasan konservasi dengan izin, misalnya, berburu di taman alam. Di masa pemerintah Indonesia merdeka, telah dibuat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Alam dan Ekosistem dengan ancaman kurungan penjara 20 tahun dan denda Rp 200 juta bagi siapa pun yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, memiliki, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati. Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Lingkungan, yang menyebutkan, barang siapa menangkap, memelihara, memperniagakan dan menyimpan burung dan bagian-bagiannya dapat diancam dengan hukuman penjara maksimum penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Sayangnya undang-undang yang menjamin kelangsungan hidup cenderawasih ini belum dilaksanakan dengan tegas, meski Pemerintah Provinsi Papua secara resmi menerbitkan larangan penggunaan burung cenderawasih sebagai cenderamata dan aksesoris, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tertanggal 5 Juni 2017, tentang larangan penggunaan Burung Cenderawasih asli sebagai aksesoris dan cinderamata. Jadi, setiap acara seremonial di Papua tidak diperbolehkan menggunakan burung cenderawasih asli kecuali tiruan atau imitasi. Sudah selayaknya, baik orang-orang terpelajar, maupun tidak terpelajar, untuk menghentikan eksploitasi cenderawasih dengan alasan apapun. Seharusnya yang tidak buta huruf juga dapat memahami, bahwa cenderawasih dilindungi dan tidak untuk diperdagangkan. (*) Oleh: Andy Tagihuma Penulis adalah penggiat sastra di Komunitas Sastra Papua Editor: Admin Jub

Jalan TransPapua dan Ancaman terhadap Taman Nasional Lorentz menjadi perhatian UNESCO

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi   Oleh: Veronika Kusumaryati, Ph.D* Dalam persiapan konvensi UNESCO (badan PBB yang berfokus pada pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) bulan Juli 2021 ini, Komite Warisan Dunia memberikan catatan yang sangat memprihatinkan tentang kondisi Taman Nasional Lorentz yang berada di Tanah Papua. Taman Nasional Lorentz merupakan taman nasional terbesar di Asia Tenggara dengan luas sekitar 2,35 juta hektar. Dijadikan taman nasional dari tahun 1997, Taman Nasional Loretz yang mencakup ekosistem pegunungan bersalju, dataran tinggi, dataran rendah dan rawa-rawa hingga lautan di sisi selatan Tanah Papua, kini semakin terancam dengan aktivitas tambang, pembangunan infrastuktur, eksploitasi sumber daya air yang berlebihan, rendahnya kapasitas manajemen dan keuangan pemerintah, dampak perubahan iklim, dan pengamanan. Di antara berbagai ancaman ini, pembangunan jalan Trans-Papua di Kabupaten Jayawijaya hingga Nduga disebut sebagai ancaman terbesar taman nasional ini beserta penghuninya. Seperti juga Taman Nasional Komodo, ekosistem taman nasional Lorentz telah ditetapkan sebagai memiliki nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value, OUV), maka keberadaannya bukan hanya sumbangan bagi keanekaragaman hayati Papua atau pun Indonesia, namun juga dunia. Taman Nasional Lorentz sendiri dibagi-bagi ke dalam berbagai zona, dengan zona inti meliputi 35 persen dari luas taman sementara zona liar terdiri dari 36 persen dan berada di sekeliling zona inti. Fungsi dari zona liar adalah untuk memastikan bahwa area ini dapat melindungi area inti taman nasional. Salah satu topik paling kontroversial dari laporan pemerintah Indonesia yang menjadi sorotan Komite adalah bahwa jalan Habema-Kenyam sepanjang 190km yang membelah Taman Nasional Lorentz. Pembangunan ini merupakan pelanggaran berat dari penetapan Lorentz sebagai Taman Nasional dan Warisan Dunia itu sendiri. Baca Juga: Bangun Kolaborasi Menata Taman Nasional Lorenzt BPLH Papua dukung TN Mamberamo Foja Pemerintah Indonesia menjadikan zona sepanjang jalan Trans-Papua sebagai zona khusus yang mencakup luas 1.9 persen dari luas taman nasional. Sementara jalan Wamena-Habema-Kenyam—yang sekarang dijadikan bagian dari jalan Trans-Papua—dimasukkan ke dalam zona rehabilitasi (0.5%). Zona ini juga meliputi zona yang telah rusak karena pembalakan liar dan juga zona di mana pohon Nothofagus telah mati. Para ilmuwan masih menyelidiki hubungan antara proses pembangunan jalan dengan matinya pohon Nothofagus meski otoritas Indonesia melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Pohon ini merupakan satu spesies yang sangat tua dan menjadi indikator paling penting proses evolusi iklim dunia. Saat ini keberadaanya terancam mengalami kepunahan akibat ulah manusia, perubahan iklim dan seperti yang terjadi di Papua, jamur perusak. Meski telah meminta berulang kali dari tahun 2017, misi monitoring reaktif dari IUCN (Serikat Internasional untuk Konservasi Alam) juga tidak diperbolehkan ke Tanah Papua dengan alasan keamanan dan Pilkada. Pada tanggal 18 Desember 2018, Pusat Warisan Dunia telah mengirim surat ke pemerintah Indonesia untuk meminta klarifikasi atas proyek jalan Trans-Papua. Namun pemerintah Indonesia belum memberikan laporan secara lengkap. Perhatian badan-badan internasional ini terutama diarahkan ke Jalan TransPapua dari Wamena ke Kenyam yang diresmikan oleh presiden Jokowi pada bulan Mei 2018 karena walaupun jalan ini belum selesai, jalan ini sudah dibuka dan membawa ancaman pembalakan liar dan pencurian ke Taman Nasional. Pemerintah Indonesia bahkan belum mempersiapkan langkah-langkah mitigasi dan belum mengirimkannya ke Pusat Warisan Dunia padahal Taman Nasional Lorentz sudah diakui sebagai warisan dunia sejak 1999. Pemerintah bahkan tidak melakukan kajian mengenai dampak lingkungan (amdal) dan manajemen lingkungan, terutama yang berkaitan dengan keputusan OUV ini. Komite juga secara keras mengkritik sistem zonasi baru yang diterapkan di taman nasional yang akan meningkatkan luas zona penggunaan dan berpotensi mengancam ekosistem taman secara menyeluruh. Dari sudut pandang orang asli Papua sendiri, keberadaan jalan ini sudah menuai protes. Seperti yang terlihat sejak tahun 2018, proses pembangunan jalan Trans-Papua bukan hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan di seluruh koridor konservasi pulau Papua, tetapi juga mengintensifkan operasi-operasi militer yang membuat ribuan masyarakat Nduga terus mengungsi hingga saat ini. Sangat jelas bahwa apabila jalan terus dibuka dan pembangunan Trans-Papua dilanjutkan maka ancaman terhadap tanah-air dan kehidupan orang Papua akan semakin menjadi. Dengan kata lain, ancaman terhadap Taman Nasional Lorentz adalah ancaman terhadap eksistensi orang asli Papua. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan terhadap pernyataan Komite. Namun sangat jelas bagi kita semua bahwa satu-satunya jalan yang perlu diambil pemerintah Indonesia adalah menghentikan seluruh pembangunan Trans-Papua, menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah-wilayah konservasi, dan melindungi orang asli Papua serta tanah airnya termasuk Taman Nasional Lorentz sebagai warisan dunia. (*)   *) Veronika Kusumaryati meneliti sejarah dan etnografi kolonialisme di Tanah Papua. Dia menyelesaikan doktoralnya di departemen antropologi, Universitas Harvard. Saat ini, dia menjadi peneliti post-doktoral di Edmund A. Walsh School of Foreign Service, Georgetown University.  

Pacaran disayang? Yes! Pacaran dipukul? No!

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Rima Nusantriani Banurea* Dalam imajinasi, pacaran pasti menyenangkan. Akan tetapi, apakah kenyataannya semua hubungan pacaran menyenangkan? Belum tentu. Sering tanpa sengaja di jalan kita menyaksikan pasangan muda-mudi bertengkar; atau ada teman kita yang bercerita dipukul pacar; atau bahkan kita mengikuti pasangan pacaran yang saling memaki di beranda facebook. Belum lagi kita menggosipkan anak tetangga yang putus kuliah karena terlanjur hamil. Kita begitu terbiasa dengan kenyataan-kenyataan tersebut. Kita tahu dalam pacaran ada kekerasan, tapi kita hanya sebatas bicara. Kita tidak terbiasa mencari solusinya. “Kekerasan dalam rumah tangga saja tra beres-beres, mo bahas kekerasan pacaran lagi”, begitu mungkin pikiran kebanyakan kita. Padahal, menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan tahun 2017, kekerasan dalam pacaran merupakan kekerasan tertinggi kedua setelah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dengan 2.171 kasus di seluruh Indonesia, atau setara 21 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan. Untuk kasus kekerasan pacaran di Papua, hingga saat ini belum ada data terintegrasi. Akan tetapi, setidaknya dalam lingkup kecil, kekerasan dalam pacaran bisa disorot. Penelitian penulis bersama Fitrine Christiane Abidjulu pada tahun 2020 berupaya melihat kekerasan dalam pacaran di kalangan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih. Penelitian itu berpijak kepada asumsi sederhana: kekerasan dalam pacaran ada dan dapat ditemukan di sekitar kita. Konsep dan Jenis Kekerasan dalam Pacaran Kekerasan menurut John Galtung adalah setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural, atau spiritual yang melemahkan, mendominasi, atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain. Masih menurut Galtung, kekerasan dibagi lagi yakni kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Kekerasan langsung berarti kekerasan yang jelas pelaku dan korbannya. Sedangkan kekerasan struktural dan kekerasan kultural adalah kekerasan yang diakibatkan hadirnya budaya partiarki yang membuat relasi laki-laki dan perempuan timpang. Dalam konteks kekerasan dalam pacaran, ketiga kekerasan itu saling tumpang tindih. Biasanya baik pelaku maupun korban sudah memiliki konsep pacaran yang salah (kultural), sehingga berimbas pada posisi hubungan tidak seimbang (struktural). Pada akhirnya, kekerasan kultural dan kekerasan struktural itu tercermin dalam perilaku, melatarbelakangi terjadinya kekerasan langsung. Salah satu konsep penting yang sering disalahartikan dalam pacaran adalah cinta. Menurut Yayasan Pulih tahun 2018, pacaran yang menggunakan kekerasan seringkali mengadopsi konsep cinta sebagai kepemilikan. Oleh sebab itu dalam pacaran, biasanya cinta dibuktikan dengan keharusan berhubungan seksual, mengikuti semua kemauan pacar hingga meyakini bahwa teriakan dan pukulan adalah bentuk cinta. Konsep cinta sesat itulah yang membuat pacaran tidak lagi menyenangkan. Penelitian penulis bersama Abidjulu menemukan bahwa setidaknya terdapat enam jenis kekerasan yang terjadi di kalangan mahasiswa. Kekerasan pertama adalah kekerasan psikis. Kekerasan  yang salah satu bentuknya adalah perselingkuhan itu menjadi bentuk kekerasan tertinggi, yakni mencapai 46,5 persen dari total kasus. Kekerasan kedua adalah kekerasan verbal. Bentuk kekerasan yang berupa makian dan teriakan itu terjadi hingga mencapai  31,8 persen dari total kasus. Selanjutnya kekerasan ketiga adalah kekerasan fisik. Kekerasan itu umumnya berbentuk pukulan dan jumlahnya mencapai 27,4 persen dari total kasus. Kekerasan keempat adalah kekerasan digital. Kekerasan itu dilakukan dengan menguntit pasangan di media sosial dan memaksa memberitahu kata sandi akun media sosial. Kekerasan itu jumlahnya mencapai 22,9 persen dari total kasus. Kekerasan kelima adalah kekerasan seksual, yang berbentuk pemaksaan hubungan seksual, yang jumlahnya mencapai 10,8 persen dari total kasus. Kekerasan yang keenam adalah kekerasan finansial, mewujud dalam tindakan yang memanfaatkan uang pacar, dan jumlahnya mencapai 8,9 persen dari total kasus. Keenam jenis kekerasan tersebut, khususnya kekerasan seksual, bisa jadi berjumlah lebih banyak daripada data yang telah disampaikan. Hanya saja, faktor malu, segan, dan tidak terbiasa membicarakan masalah itu membuat kekerasan dalam pacaran sulit terungkap, apalagi terselesaikan. Jika Mengalami Kekerasan dalam Pacaran Umumnya, upaya dan sikap yang diambil oleh korban kekerasan dalam pacaran adalah bercerita kepada orang lain. Penelitian penulis bersama Abidjulu menemukan bahwa 60,9 persen korban memilih bercerita pada sahabat atau teman. Kemudian 21,7 persen korban memilih melapor kepada orangtua. Sejumlah kecil korban melapor kepada polisi, tetua adat, bapak RT/RW, dan dosen. Akan tetapi, ada 24,8 persen korban kekerasan dalam pacaran memilih diam. Prosentase korban yang memilih diam itu mengalahkan persentase korban yang melapor kepada orangtua, apalagi korban yang melapor kepada polisi, tetua adat, bapak RT/RW, dan dosen. Data itu mengarah kepada dua kesimpulan awal. Pertama, hubungan pertemanan ternyata sangat penting bagi sistem dukungan bagi korban kekerasan dalam pacaran. Artinya teman sebaya masih memiliki pengaruh kuat karena di dalamnya terbangun kepercayaan yang juga kuat. Dalam hal-hal buruk tentu keberadaan teman sebaya sangat negatif. Namun dalam kondisi kritis, relasi teman sebaya sangat membantu individu korban kekerasan untuk bertahan. Kedua, berkurangnya kepercayaan dari mahasiswa kepada lembaga seperti keluarga, kepolisian, bahkan pihak kampus menjadi alasan kuat bagi korban untuk tidak melapor. Mengapa? Pertanyaan itu hendaknya menjadi renungan buat kita semua, dan perlu dibahas tersendiri. Namun, jika terlanjur berada dalam situasi pacaran dengan kekerasan, berikut adalah hal-hal yang bisa dilakukan: Kekerasan dalam pacaran bukanlah aib. Justru kekerasan adalah bentuk penghancuran bagi mental, fisik, bahkan masa depan. Oleh sebab itu jika terjadi kekerasan walau masih dalam skala kecil, silakan bercerita atau meminta tolong pada teman/keluarga/dosen/pihak keagamaan yang bisa dipercaya. Solusi mungkin tidak serta merta bisa langsung didapatkan. Akan tetapi, setidaknya jika bercerita kepada orang lain, permasalahan akan lebih bisa dilihat secara komprehensif. Stop menyalahkan diri sendiri. Seringnya korban kekerasan dalam pacaran tergoda menyalahkan diri jika terjadi kekerasan. Mereka mengatakan, “ah, sa yang salah. Sa yang tidak dengar dia. Sa yang terlalu melawan dia”. Hati-hati dengan pemikiran itu, karena dapat melegalkan pelaku/pacar untuk sewenang-wenang melakukan tindak kekerasan. Selalu ingat, bahwa tidak ada manusia yang layak untuk dipukul, dicaci maki, atau direndahkan. Apalagi dalam status pacaran. Seharusnya bukan pukulan atau cacian yang terjadi dalam pacaran, melainkan relasi menyenangkan untuk bertumbuh, belajar, saling menjaga dan menyayangi. Keluar dari hubungan. Jika kekerasan dalam pacaran sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bicara baik-baik, maka silakan keluar dari hubungan. Namun sebaiknya dibicarakan dahulu dengan teman atau keluarga untuk mengantisipasi hal-hal buruk. Berani sendiri. Takut single atau takut lajang menjadi pembenaran paling kuat bagi banyak orang untuk bertahan dalam hubungan kekerasan. Pemikiran itu salah. Oleh sebab itu latihlah diri untuk berpikir: “bikin apa pacaran kalau cuma dapat pukul? Cape deh. Lebih baik single tapi

Sikap ‘Teladan’ Muridan dan Peran ‘Pendatang’ dalam Solusi Papua

Emansipasi Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Theo van den Broek * **  Saat diundang untuk membuat ‘tulisan kenangan akan Saudara Muridan’, pikiran saya secara spontan ditarik pada apa yang paling saya kagumi dalam pribadi seorang Muridan S. Widjojo. Yakni, gayanya menempatkan diri sebagai ‘pendatang’ di tengah para ‘orang asli Papua’ yang memperjuangkan pengindahan ‘hak anak sulung’ di tanahnya sendiri. Saya tidak terlalu sering bertemu dengan Muridan, namun sewaktu bertemu, saya selalu merasa dekat dengannya dan kami dapat membahas sejumlah hal yang menjadi niat dan keprihatinan kami bersama. Tujuan pembahasan kami tidak lain daripada lebih memahami permasalahan dan menemukan apa yang sebaiknya dibuat untuk mengatasi segala halangan mencapai suatu suasana hidup yang lebih damai dan yang mengindahkan harapan dasar dan benar ‘anak sulung’ di tanahnya sendiri. Dalam proses itu ada dua hal yang menentukan: [1] kami ’sebagai pendatang’ menempatkan diri sebagai ‘tamu’ yang diterima dengan terbuka hati dan yang mengakui hak anak sulung yang menjadi ‘tuan rumah’ kami, dan [2] kami membangun sebuah jembatan, agar kita dapat bertemu dan duduk bersama sehingga masalahnya menjadi ‘kepentingan kita bersama’, ‘proyek bersama’ sampai tercipta sebuah kesetiakawanan yang sejati yang mampu memikul beban bersama dan bergembira hati bersama atas segala titik terang yang tercapai. Dari ringkasan di atas saya juga sadar bahwa hal yang sangat menentukan adalah [1] sikap dasar kita secara pribadi, dan [2] bobot hubungan antara para Orang Asli Papua (lazimnya disebut OAP) dan para pendatang. Masalah di Papua bukan lagi masalah tunggal OAP namun sangat membutuhkan pemahaman serta keikutsertaan para pendatang dalam proses penyelesaiannya secara adil dan benar. Sahabat Muridan menghayati hal itu secara mendalam. Situasi yang ditandai Perubahan Secara Demografis Pada kesempatan ini saya berupaya menguraikan lebih lanjut kenyataan di Papua dari perspektif tadidi atas. Selama 45 tahun hidup dan berkarya di Papua, saya mengalami dan menyaksikan bahwa suasana hidup di Papua sangat berubah dari segi kependudukan. Sewaktu mulai tinggal di Papua, pada tahun 1975, masyarakat asli Papua masih menjadi penduduk mayoritas di Papua (di atas 90%). Situasi ini mulai berubah sewaktu ‘program transmigrasi’ mulai diluncurkan selama pemerintahan Presiden Suharto. Setelah program transmigrasi dihentikan secara resmi, tidak tersubsidi lagi, migrasi ke Papua malahan menjadi lebih ramai lagi. Banyak orang mencari nafkah di Papua, karena kurang ada peluang di kampung halaman mereka sendiri. Pada umumnya para pendatang ini diterima dengan baik saja oleh penduduk asli di Papua, dan malahan sering terdengar bahwa Orang Asli Papua (OAP) merasa kasihan dengan para pendatang yang begitu miskin, tidak punyai apa-apa, sedangkan orang Papua sendiri mempunyai apa saja yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Selama periode awal migrasi ini, jarang ada berita mengenai konflik berat antara para OAP dan para pendatang. Sekali-kali ada insiden-insiden, namun lazimnya tidak sulit untuk diatasi. Apalagi OAP menghayati secara tradisional ‘kewajibannya yang wajar’ untuk bertanggungjawab atas keselamatan para pendatang, karena mereka adalah tamu. Baca juga: Rasisme: Allah itu Separatis yang Adil Sikap dasar ini saya alami sendiri berulang kali sewaktu saya masih berjalan kaki di pedalaman dari satu kampung ke kampung jauh lainnya. Sikap dasar ini juga masih sangat kentara, baru-baru ini selama peristiwa di Wamena (29 September 2019) ketika para pendatang tiba-tiba menjadi sasaran pengejaran sekelompok orang yang ingin menghantam mereka. Saat itu ratusan orang pendatang dilindungi dan diselamatkan oleh orang asli Papua setempat. Walau secara umum tidak banyak konflik terbuka, tidak dapat disangkal juga adanya kenyataan bahwa OAP sekarang sudah menjadi kelompok minoritas secara demografis di tanah mereka sendiri. Proses ke titik keminoritasan ini diwarnai dengan banyak pengalaman yang cukup pahit. Yakni, OAP merasa bahwa peluang-peluang kesejahteraan yang ada dimanfaatkan oleh orang luar sedangkan mereka sendiri makin digeser ke pinggiran (marginalisasi yang sangat nyata). Juga ditingkat kekuatan politik, OAP, walau ada jaminan sejumlah posisi penting seperti Gubernur dll, mengalami bahwa kebijakan-kebijakan di tanah mereka ditentukan oleh para pendatang. Kursi-kursi di Dewan Perwakilan Rakyat di segala tingkat makin diduduki secara mayoritas oleh para pendatang. Ditambah lagi bahwa banyak pegangan traditional dalam kehidupan sehari-hari (budaya, ekonomis, kepemimpinan) mulai hilang atau tidak dihargai dan tidak diindahkan lagi. Mereka makin merasa kehilangan kedudukan sebagai ‘tuan rumah’ sejati serta haknya sebagai ‘anak sulung’ di tanahnya sendiri. Situasi yang ditandai Gerakan Aspirasi Menentukan Nasibnya Sendiri Perkembangan ini juga tidak lepas dari makin kuatnya gerakan ‘referendum/kemerdekaan’ yang sejak proses pengintegrasian Papua kedalam Republik Indonesia sudah ada dan akhir 1990-an mulai terus berkembang secara pesat. Makin disadari bahwa di Papua ada sejumlah masalah yang sangat mendasar yang kurang ditangani. Empat masalah utama diuraikan dengan sangat teliti oleh tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dimotori Muridan, yakni: [1] masalah diskriminasi dan marginalisasi, [2] pola pembangunan yang tidak tepat, [3] pelanggaran HAM yang terus terjadi, dan [4] proses pengintegrasian dalam NKRI yang cacat hukum dan menyangkal suara OAP. Sementara upaya untuk menangani proses penyelesaian masalah dasar di Papua, terutama melalui perjuangan mengadakan dialog, akhirnya macet total dan diambilalih oleh pemerintah pusat dengan pendekatan ekonomis dan terutama sekarang ini dengan pendekatan keamanan. Situasi yang ditandai Konflik Vertikal : Berbalik pada Kekerasan Dalam suasana demikian ‘gerakan kemerdekaan/referendum’ berkembang dan menjadi harapan banyak OAP. Selama 10 tahun (2008-2018), gerakan ini menunjukkan suatu perjuangan yang sangat ditandai dengan cara damai dan dengan harapan akan dialog yang berbobot. Namun karena pengalaman ‘tidak ada kemajuan selama bertahun-tahun’ dan ‘penolakan pemerintah pusat untuk berdialog secara sejati’ para pejuang damai merasa bahwa masyarakat luas yang mendukungnya mulai tidak sabar lagi. Akhirnya gerakan ini juga mulai membiarkan pemakaian kekerasan sebagai sarana perjuangan. Dengan adanya perubahan kebijakan perjuangan ini ‘gerakan dialog’ sama sekali didiamkan dan sebaliknya tindakan kekerasan menjadi legitimasi oleh pemerintah pusat untuk mewujudkan militerisasi secara besar-besaran di Papua. Setiap hari, kita semua mengalami akibat dari perubahan kebijakan ini. ‘Pengalaman penderitaan’ baru ini dengan jelas terungkap melalui beberapa laporan aktual, a.l. laporan mengenai ‘tragedi kemanusiaan’ di Kabupaten Intan Jaya, yang terletak di Pegunungan Tengah, di mana selama setahun terakhir ini masyarakat setempat makin menjadi korban operasi militer. Sejak Desember 2019 lebih dari 12 orang warga sipil di Intan Jaya dibunuh dan ratusan orang terpaksa meninggalkan kampungnya karena merasa terancam dan tidak aman lagi karena kehadiran serta operasi pasukan brimob/ tentara. Situasi Yang Ditandai Rasisme, Diskriminasi Dan Konflik

Rasisme: Allah itu Separatis yang Adil

Rasisme Papua

[sebuah tinjauan moral sosial]  Oleh: Petrus Odihaypai Boga Menarik sekali membaca sebuah diskusi Nicolaas Jouwe dan duta Besar Israel di kedutaan Israel di Washington, (1962). Nicolaus adalah pelaku dan sejarahwan bangsa Papua masa lalu (anak muda Papua harus mengenalnya). Ia bertemu duta besar Israel di kantornya. Duta besar melihat Nico sedang menangis. Ia bertanya, “Tuan Jouwe, mengapa anda menangis?” Nico menjawab, “Saya dipermalukan oleh Tuan Banker”; karena ia meninggalkan tanpa menyelesaikan pertemuan dan diskusi tentang kolonialisme pada saat itu yang terjadi di antara Belanda dan Indonesia dalam perebutan kekuasaan wilayah Papua yang telah merdeka pada tahun sebelumnya (1961). Duta berkata “Jouwe, boleh menangislah, kadangkala itu boleh membantu! Nico, lain kali kamu kembali dan ketuk pintu dan pada hari berikutnya ketuk pintu lagi. Sepanjang hidupmu kamu mengetuk pintu sampai mereka buka dan bertanya kepada anda dengan nada marah, ‘apa yang anda inginkan?’ lalu katakan pada mereka”. Ia menguatkan Nico, bahwa kami orang Yahudi pernah diperlakukan seperti binatang dan seperti penjahat. Sesudah dua ribu tahun, setelah enam juta orang Yahudi dibunuh Hitler, kami kembali ke tanah perjanjian kami. Kami saling menatap dan sepakat bahwa tanah kami tidak ada yang merebut lagi. Nico kamu melakukan hal yang sama”. Menurut penulis, menarik bahwa duta mengatakan: Papua New Guinea (west Papua) diciptakan oleh Tuhan dan diberikan kepada orang-orangmu, seperti Tuhan memberikan setiap bangsa di bawah matahari. Tuhan adalah separatis besar. Nicolaus percaya bahwa Tuhan itu separatis sejati. Tuhan menciptakan bumi dengan dua kutub dan empat arah mata angin, serta semua diciptakan-Nya unik. (Kisah hidup Tokoh-tokoh Papua, Farhasian, hlm. 234-235). Pertanyaannya, apakah benar Tuhan itu separatis? Tuhan Itu Separatis Adil Memahami frasa ‘Tuhan itu separatis’ perlu melihat kata separatis dari arti harafiahnya. Kata separatis berasal dari kata Inggris separate, artinya pisah; separated, artinya terpisah, tersendiri; separation, artinya pemisahan, perceraian, perpisahan, kelepasan; separatist, artinya orang yang memisahkan diri; separator, artinya alat atau mesin pemisah.  Kemudian istilah ini berkembang dan muncul istilah separatisme, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut paham yang memisahkan diri ‘dari’ suatu bangsa dan ‘untuk merdeka sebagai suatu bangsa tersendiri’. Jadi berdasarkan arti harfiahnya, separatis adalah suatu keadaan realistis yang terpisah atau dipisahkan oleh alat atau mesin pemisah tertentu, dari suatu realitas untuk realitas lain demi terwujudnya tujuan tertentu dari penggerak utama yang menggerakkan objek pemisahan itu menjadi terpisah. Penggerak utama pemisah itu adalah Tuhan. Objek yang dipisahkan-Nya adalah kosmos (ciptaan-Nya).  Gerak yang sedang bergerak untuk memisahkan objek “kosmos” itu adalah tujuan dari Tuhan dan misteri-Nya. Misteri itu penulis menyebutnya ‘estetika daya kreasio-Nya’. Penulis membatasi pengulasannya, kita dapat mengerti dengan pemahaman sederhana, bahwa ‘esterika daya kreasi-Nya’ adalah sebuah ukuran keindahan menurut Sang Pencipta. Barangkali manusia sulit memahami misteri Tuhan itu. Pencipta menciptakan segala isinya dengan unik dan menempatkan semua itu pada tempat yang layak bagi ciptaan-Nya. semua baik adanya dan indah. Pencipta memisahkan dan menempatkan semua ciptaan-Nya, berdasarkan jenis dan habitatnya. Ia menempatkan semuanya secara adil. Jadi semua yang unik dan keberadaannya itu tanda Tuhan itu hadir. Tuhan itu separatis yang adil. Namun demikian kesulitan memahami maksud dan rencana pencipta atas semua keberadaan yang telah menempati pada ruang yang disebut bumi ini, sehingga manusia sering cenderung salah kaprah terhadap esensi dan eksistensi keunikan ciptaan itu. Menurut penulis, yang dimaksud dengan keunikan pada esensi ciptaan adalah inti mendasar dari sebuah objek penciptaan-Nya yang ada bersama-sama atau yang ada pada dirinya ketika objek itu diciptakan dan membentuk dirinya berbeda dengan objek ciptaan lain. Sedangkan keunikan eksistentensi ciptaan adalah semua keberadaan dan cara berada dari objek itu dan membentuk dirinya menjadi dirinya sendiri dari objek lain. Misalnya, monyet dan manusia. Monyet tentu amat berbeda dengan manusia. Monyet dan manusia adalah sama-sama ciptaan. Keduanya boleh disebut objek ciptaan-Nya, namun tidak bisa disebut satu substansi, seperti: manusia dan monyet adalah hewan atau keduanya manusia. Melihat keunikan dari aspek ‘cara ber-ada’ Monyet. Secara fisik monyet tidak memiliki rambut tetapi berbulu, ia tinggal di hutan, tidak pandai membangun rumah, tidak berkebun dan beternak, tidak bisa menyadari akan suatu kebaikan atau nilai hidup; monyet tidak bisa berbicara tentang dirinya sendiri, dia bisa meneruskan gen dan kebiasaan bawaan kepada keturunannya tetapi tidak dapat meneruskan sebuah sejarah; tidak bisa mengatakan bahwa ia sedang berada dan memimpikan suatu masa depan yang ideal. Kebiasaan dan cirinya ini telah tersistem dan terbentuk suatu keunikan tersendiri pada dirinya sendiri dan itulah yang disebut eksistensi monyet. Keunikan eksistensi itu formula dari suatu esensi diri dari keberadaan objek itu sendiri.  Esensi monyet adalah gerak atau daya yang ada dalam dirinya sejak diciptakan-Nya, yang selalu mendorong ia ‘menjadi monyet’ bukan manusia. Saya meminjam istilah biologis bahwa gerak itu adalah ‘naluri’nya. Sedangkan manusia secara singkat dapat katakan bahwa, manusia dapat berbicara tentang dirinya sendiri, merencanakan atau memimpikan masa depan yang ideal dan mempelajari sejarahnya. Ia mempunyai jiwa dan roh atau akal budi. Dengan demikian ada keunikan esensial dari keberadaan monyet itu, bahwa monyet itu bukan manusia. Maka jelas bahwa secara substansial manusia dan monyet itu tidak sama. Bagaimana dengan sikap manusia yang ‘mau’ menyebut sesama manusia itu ‘Monyet’? Prinsip memahami sikap itu dengan pendekatan pemahaman dalam frase “proyeksi diri dan bangsanya”. Sedang berekspresi batinnya. Sebenarnya, pihak yang memiliki sikap demikian itu ‘mengakui’ dirinya atau bangsanya tidak mampu mengakui dan menerima kekayaan ciptaan-Nya. Mereka memisahkan sesamanya dari dunianya. Manusia yang mempunyai jiwa dan roh tetapi bersikap demikian adalah tanda “buta akal sehat dan kerusakan moral bangsanya serta tanda lemah Negara memelihara nilai moral”. Perbedaan itu memang ada. Pencipta yang membuatnya. Tetapi segelintir bangsa gagal menerima perbedaan itu. Akibatnya, mengotori keluhuran dari keberadaan sesama yang lain. Salah satu tindakan yang ironi adalah rasisme. Rasisme adalah tindakan melawan Tuhan yang separatis. Rasisme Itu Gerakan Melawan Tuhan yang Separatis Rasisme atau rasialisme merupakan prasangka terhadap orang dari ras atau kelompok etnis lain. Prasangka berarti mengadili sebelumnya: memutuskan mengenai seseorang atau sesuatu sebelum anda mempertimbangan fakta atau bukti. Kaum rasis percaya bahwa manusia dapat dipisahkan menjadi kelompok-kelompok rasial. Sebagian besar dari ras itu akan menjadi kelompok inferior. Kelompok Si rasis sendiri tentu akan menjadi ras yang superior. Salah satu bentuk rasisme adalah warna kulit, seperti terjadi antara bangsa kulit putih dan kulit hitam. Prasangka ini akan lahir tindakan diskriminasi

Kematian Iman dan Moral Para Pemimpin Gereja Katolik Indonesia

Papua

Oleh:  Bernardus Bofitwos Baru, OSA   Kritik F. Nietzsche terhadap krisis iman dan moral para pemimpin Gereja      “Tuhan sudah mati”, kata Friedrich Nietzsche (1900), seorang filsuf Jerman. Nietzsche lebih lanjut menegaskan, “Peristiwa luar biasa yang terjadi bahwa Tuhan sudah mati, dan iman orang Kristen kepada Tuhan Yesus mulai mengalami bayang-bayang kelabu di Eropa” (J.B. Metz, Memoria Passionis Un Ricordo Provocatorio nella Società Pluralista, Queriniana, Brecia 2009, 73). Afirmasi Netzhe ini bukalah tanpa argumentasi yang mendasarinya. Penegasan Nietzhe bahwa Tuhan sudah mati, karena ia melihat iman dan moralitas umat, terlebih khusus para pemimpinnya sebagai suatu bayang-bayang kelabu. Argumentasi mendasarnya bahwa iman orang Kristen Eropa pada saat itu, terlebih para pemimpin, dilihatnya sebagai iman kepada Tuhan Yesus, sekedar sebagai janji-janji abstrak yang bersifat hayalan belaka. Para pemimpin Gereja, khususnya hirarki dalam khotbah-khotbahnya berisi janji-janji muluk, abstrak, yang tidak berkar dalam realitas sosial, budaya, politik, dan ekonomi kehidupan umatnya. Dunia nyata dipisahkan dari penghayatan iman yang sebenarnya. Bagi Nietzsche iman orang Kristen pada saat itu bukanlah iman yang hidup tetapi iman yang mati. Karena iman yang tidak berakar dalam koteks realitas persoalan kehidupan umatnya.  Karena itu, bagi Nietzsche, Tuhan sudah mati, Tuhan Yesus tidak lagi hidup dalam diri orang Kristen pada saat itu, apa lagi para pemimpinnya. Orang Kristen pada saat itu tidak mampu menghidupi Kristus dalam hidup mereka. Mereka tidak mampu menghadirkan Kristus dalam keterlibatan mereka memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, kebaikan, dan perdamaian bagi umat manusia. Para pemimpin Gereja, khususnya pihak hirakhi berkhobah di gereja-gereja sekedar bernarasi tentang Yesus yang sudah mati ribuan abad lalu, bukan Kristus Yesus yang hadir pada konteks saat ini. Para hirarkhi memanipulasi pengajaran Yesus sekedar sebagai justifikasi kekuasan, kenyamanan, dan status kedudukan mereka. Mereka sendiri tidak mampu menghadirkan Kristus yang telah disalibkan dua ribu tahun lalu ke dalam realitas kehidupan umat manusia pada saat kini (hic et nunc). Kemandulan iman dan moralitas inilah yang menjadi kritikan Nietzhe kepada orang Kristen. Menurut Nietzhe, iman sejati – benar adalah ketika orang Kristen mampu menghadirkan kembali Kristus yang pernah hidup dan berkarya dua ribu tahun lalu dalam konteks riil kekinian, yaitu situasi riil kehidupan masyarakat saat ini. Bila iman demikian yang dihayati oleh orang Kristen, khususnya para pemimpinya, maka Tuhan bukan sudah mati, melainkan Tuhan tidak mati tetapi tetap hidup untuk selama-lamanya melalui dan di dalam hidup dan karya para murid-Nya, terlebih para pemimpin-Nya, orang-orang pilihan-Nya. Ketika para pemimpin (hirarkhi) mampu tampil menyurakan keadilan, kebenaran, perdamaian, dan persaudaraan sejati antara manusia, berarti Tuhan Yesus sendirilah yang hadir, bersuara, dan bertindak. Maka dengan demikian, Tuhan bukan sudah mati melainkan Tuhan tetap hidup. Namun ketika para pemimpin Gereja, khususnya hirarkhi bungkam suara hati dan mulutnya terhadap ketidakadilan, kejahatan, pembunuhan, dan penindasan, berarti benar afermasi Nietzhe bahwa Tuhan sudah mati. Bagi Nietzsche, kebenaran iman dan moral bukan terletak pada seremonial liturgis, bukan pula pada penegakan aturan dan hukum Geraja serta kesibukan administratif, melainkan kebenaran iman dan moral sejati terletak pada kemampuan para pengikut Kristus, terlebih para pemimpinnya mampu mewujudnyatakan visi dan misi Kristus, yaitu Kerajaan Allah melalui karya-karya dan perbuatan nyata yang memihak dan membela kaum tertindas, miskin, dan lemah (option for the poor).  Ketika para murid Kristus, khususnya para pemimpin Gereja (kaum hirarkhi) tidak mampu menghadirkan Kristus secara nyata melalui perbuatan, perkataan dan sikap hidupnya, khususnya keterlibatan nyata memperjuagkan hak-hak dan martabat manusia, terlebih mereka yang lemah dan miskin, maka disimpulkan bahwa Tuhan sudah mati. Artinya peran iman dan kekuatan moral Gereja melalui para pemimpinnya sudah mati, tidak hidup lagi. Jika demikian, maka keberadaan para pemimpin, khususnya hirarkhi ikut membunuh atau menyalibkan Tuhan Yesus untuk sekian kalinya, seperti yang pernah dilakukan oleh para pemimpin agama Yahudi, raja Herodes dan Kaisar Romawi terhadap Yesus dua ribu tahun lalu. Afirmasi, Tuhan sudah mati adalah kritikan Nietzsche yang tajam terhadap krisis iman dan moral yang terjadi dalam tubuh Gereja. Persoalan krisis iman dan moral dalam tubuh Gereja ini, khususnya para pemimpinya, digarisbawahi oleh John Baptist Metz, “krisis yang menimpa umat Kristen Eropa pada saat itu, pada tempat pertama diarahkan kepada Gereja, khususnya para pemimpinnya atau kaum hirarkhinya” (J. Baptist Metz,  Memoria Passionis 2009, 73). Peristiwa Auschwitz Tanda Krisis Iman dan Moral Pemimpin Gereja Eropa             Apa yang dimaksud dengan peristiwa Auschwitz? Mengapa peristiwa Auschwitz dikatakan sebagai tanda krisis iman dan moral pemimpin Gereja Eropa? Auschwitz adalah nama yang digunakan untuk mengidentifikasi tiga kamp konsentrasi kedudukan Nazi Jerman pada saat diktator Adolf Hitler. Auschwitz adalah kamp utama dari 40-50 sub-kamp. Nama ini diambil dari versi Jerman, yaitu nama sebuah kota di Polandia di dekat Oswicim, terletak 60 Km barat daya Krakow. Pada tahun 1979, kamp ini masuk ke dalam salah satu daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, untuk menghormati para tawanan yang meninggal dunia sebagai bukti akibat holokaus. Juga dikenang sebagai monumen peringatan (memoria) atas peristiwa krisis kemanusiaan yang mengerikan yang dilakukan oleh sebuah rezim yang menekan kebebasan dan menghendaki lenyapnya keseluruhan suatu ras manusia. Kamp konsentrasi ini adalah tempat bersejarah sebagai kenangan (memoria) kelabu kejahatan terhadap manusia yang tak berdosa, yang pantas dikenang oleh seluruh umat manusia atas pembantaian karena kebijakan rasis yang dimotori oleh Adolf Hitler.  Peristiwa Auschwitz ini adalah sejarah kekelaman kemanusiaan, sebagai tanda peringatan atas sikap dan kebijakan tragis yang dihipnotis oleh ideologi  ekstrem dan penolakan terhadap ras lain, bahkan martabat manusia disamakan dengan binatang. Nazi Jerman mulai membangun beberapa kamp konsentrasinya dan kamp pemusnahan di wilayah Auschwitz pada tahun 1940. Kamp-kamp ini merupakan bagian utama dari  Holocaust. Ketiga kamp utama itu adalah: Auschwitz I, kamp konsentrasi orisinal yang digunakan sebagai pusat administrasi bagi seluruh kompleks itu, dan merupakan tempat kematian sekitar 70.000 orang Polandia, kaum homoseksual dan tawananan perang Soviet. Auschwitz II (Birkenau), sebuah kamp pemusnahan dan tempat kematian sekitar 1 juta orang  Yahudi, 75.000 orang Polandia, homoseksual, dan sekitar 19.000 orang Gipsi. Auschwitz III (Monowitz), yang digunakan sebagai kamp kerja paksa untuk perusahaan IG Farben. Jumlah keseluruhan korban Nazi di sini masih diperdebatkan, namun pada umumnya diperkirakan sekitar 1-1,5 juta orang. Sekitar 700 tawanan berusaha melarikan diri dari kamp-kamp Auschwitz selama kamp itu digunakan, dan sekitar 300 orang berhasil. Hukuman yang biasa dijatuhkan bagi mereka yang berusaha lari adalah hukuman mati dengan

Rasisme Papua, tumbuh sejak dalam kandungan atau dibesarkan sistem yang menindas?

Ketidakadilan di Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Frederika Korain* Menyimak pernyataan sikap masyarakat Batak di Tanah Papua atas tindakan rasis Ambroncius Nababan terhadap Natalius Pigai, saya belajar untuk yakin bahwa perbuatan satu orang itu tidak mewakili seluruh kaum, suku, agama, dan berbagai identitas lain yang serba berbeda dari Papua. Karena, masih ada orang baik lain di antara kaumnya, marganya. Saya tidak tahu persis bagaimana pertalian keluarga diantara mereka, tapi ada Nababan lain yang memberi hati bagi Papua. Ia adalah orang yang saya hormati, dan sepantasnya orang Papua mengingat jasanya, almarhum Asmara Nababan. Jasanya besar, karena turut membuka ruang kebebasan hukum dan demokrasi Papua seperti apa yang kita rasakan saat ini. Saat ia menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, ia bekerja pada masa gelapnya rezim Soeharto, lantang bicara tentang kekejaman militer yang membunuh orang Irian, (sebutan bagi Papua saat itu). Bisa jadi ia terpanggil bekerja menolong Papua, lantaran ia mengetahui seluk-beluk hidup orang Irian dari seorang kakak perempuannya yang telah puluhan tahun menjadi guru di Papua. Kakak perempuan Asmara Nababan menetap di wilayah Dok 5, Kota Jayapura. Baca juga: Pemikiran Jean Paul Sartre dan pembebasan di West Papua Rasisme terhadap orang Papua memang harus dipahami pelan-pelan, dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua sudah mengakar sejak lama. Sejak zaman Papua berkontak dengan dunia di luar Papua, seperti masa persinggungan Papua dengan Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate masa perdagangan budak dari pantai yang disinggahi pelaut dan pedagang dari kedua kerajaan itu. Sejumlah guru Zendeling dan Misi yang datang dari Maluku juga memandang orang Papua rendah. Mereka merasa kelas mereka jauh lebih tinggi dari kaum hitam keriting yang hendak dikristenkan ini. Begitu pula ketika pemerintahan Indonesia hadir untuk pertama kali, orang Papua dianggap kelas paria, dilucuti, diinjak, dianggap manusia kelas ke sekian yang tidak berharga. Pekerjaan yang ketika masa Belanda sudah dilakukan orangtua kami lantas diambil paksa, dan pelan-pelan dikuasai oleh saudara-saudara yang datang dari luar Papua. Situasi itu berjalan panjang dan menciptakan ketimpangan yang hari ini kita lihat di seluruh Tanah Papua. Dalam dunia bisnis dan jasa, ada sejumlah toko, kios, ataupun kegiatan ekonomi lain yang saat itu dikelola dan dimiliki oleh orang Papua. Ada Keluarga Numberi, Rumbiak, Mahuze, Malibela, dan yang lainnya, yang saat itu dipilih mewakili suku-suku yang ada di Papua untuk terjun dalam dunia perdagangan. Banyak dari mereka pernah dikirim ke Delft, Amsterdam, Den Haag untuk mempelajari berbagai bidang usaha. Ada juga orang Papua yang dikirim pemerintah Belanda ke Fiji dan Papua Nugini. Setelah pulang, mereka mengelola berbagai kegiatan ekonomi saat itu, termasuk dengan membuka toko, konveksi, bengkel, dan lain-lain. Baca juga: Kolonialisme bermetamorfosis di Papua Misalnya di Kota Jayapura, mereka berusaha di sepanjang Jalan Irian, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Percetakan. Pasca Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, banyak usaha orang Papua itu dirampas kelompok pendatang yang disokongan moncong senjata militer Indonesia. Para pemilik semula itu hanya gigit jari, tak kuasa mempertahankan hak mereka. Mereka hidup dengan hati yang perih, banyak diantaranya mati merana. Tapi apakah dengan begitu, kita orang Papua serta-merta mencap bahwa orang Ambon, Kei, Batak, Jawa, Tionghoa dan lainya itu semuanya berlaku rasis terhadap orang asli Papua? Tidak! Di antara mereka ada yang menjadi rasis karena disokong oleh sistem yang sedang berlaku. Pada zaman Belanda, pandangan rasis para guru agama itu tidak kelihatan, bisa jadi karena ada ruang sosial yang tidak memungkinkan pandangan seperti itu tersebut merajalela. Orang Papua diberi kesempatan oleh Belanda untuk mandiri, menjadi dirinya sendiri. Pada masa NKRI ini, watak rasis tersebut justru tumbuh subur, karena sistem yang sedang mengelola Papua memang mengandung watak yang anti Papua. Jadi, siapapun orang itu, dari suku mana saja di Indonesia, ketika berkontak dengan orang Papua akan dikuasai pikiran bawah sadar yang rasis, sehinga ia serupa dengan para pelaku rasisme yang dulu, kini, dan pada masa mendatang. Papua dipandangnya sama dengan keset kaki yang harus diinjak-injak, bila perlu dimusnahkan sekaligus. Kepada anak-anak saya, saya selalu menasehati sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. “Agar kamu, anak Papua, bisa dianggap manusia yang punya martabat sama dengan manusia lain di Indonesia, sekalipun itu di negeri kalian sendiri, kamu harus kerja jauh lebih keras, tiga sampai empat kali lebih keras. Di sekolah, kamu harus belajar lebih keras dan punya prestasi, barulah kamu dianggap ada, karena kamu Papua yang hitam keriting!” Baca juga: Akal sehat disita oleh nilai rupiah Pandangan dan perilaku rasis terhadap Papua sebenarnya sudah ditakutkan oleh Mohammad Hatta. Bapak Proklamator RI itu telah membicarakan masalah itu dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hatta menegaskan jangan hitung New Guinea atau Papua masuk dalam wilayah Indonesia yang akan diproklamirkan. Hatta mengingatkan mayoritas penduduk Papua ras Melanesia, kebudayaannya berbeda jauh dari ras Melayu yang mayoritas. Kalau mereka dimasukkan ke dalam negara Indonesia yang nanti diproklamirkan, Hatta khawatir suatu kelak ras mayoritas akan membuat perlakuan buruk terhadap ras Melanesia, mempraktikkan rasisme dan penjajahan internal. Pengetahuan Hatta tentang New Guinea lebih dalam lantaran ia menjalani tiga tahun masa pembuangan di belantara Digoel (Tanah Merah, Boven Digoel kini). Apa daya, saat itu suara Hatta kalah dari Moch Yamin dan Soekarno yang bermimpi menegakkan kembali kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Sayang, apa yang ditakutkan seorang Hatta itu kini terjadi kini! Jadi rasisme Papua punya jalan cerita yang sudah panjang sejak awal interaksi orang Papua dengan orang non Papua terjadi pada abad 14-15. Rasisme itu berjalan makin kuat dan kentara sejak Indonesia menginjakkan kakinya di Tanah Papua. Rasisme itu terjadi bukan karena tindakan orang perorangan seperti yang kini terjadi.(*) * Penulis adalah advokat hak asasi manusia di Papua.  Editor: Aryo Wisanggeni G

Pemikiran Jean Paul Sartre dan pembebasan di West Papua

papua-demo-anti rasisme

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Sebedeus G. Mote Hidup karya Jean Paul Sartre dan filsafatnya Jean-Paul Sartre lahir tahun 1905 sebagai putra dari Jean-Batiste, seorang perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter. Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar. Tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francis di Berlin, di mana ia mempelajari fenomenologi Husserl. Sartre menulis buku Transcendental Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di institut tersebut. Ia mengaku bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya. Selama Perang Dunia II, Sartre juga aktif dalam gerakan pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger. Rujukan-rujukannya kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Dengan demikian pandangan metafisik dari Sartre ini terungkap. Pemahaman dasarnya adalah tentang sesuatu yang dapat berada. Misalnya meja kursi, lautan dan pepohonan, batu kerikil dan planet, semua itu merupakan sebuah substansi yang ada pada dirinya sendiri atau istilahnya being-in-itself. Sartre banyak menulis buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Family, 1971-1972. Sartre adalah orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964. Alasannya,  “saya tidak mau dijelmakan ke dalam ikatan situasi”. Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia 74 tahun. Ateisme Jean Paul Sartre lebih mirip dengan ateisme Nietzsche daripada dengan ateisme Feuerbach dan Freud. Ateisme merupakan unsur kunci dalam pemikiran Sartre. “Ateisme adalah usaha panjang dan kejam; aku berpendapat bahwa aku meneruskannya sampai batasannya”. Bagi Sartre, demi keutuhan manusia tidak mungkin ada Allah. Hanya kalau tidak ada Allah, manusia dapat betul-betul menjadi dirinya sendiri. Adanya Allah akan mencegah manusia menjadi dirinya sendiri. “Eksistensialisme…bukan ateisme dalam arti bahwa ia sekadar membuktikan bahwa tidak ada Allah. Melainkan sebenarnya eksistensialisme mengatakan: bahkan seandainya ada suatu Allah, hal itu tidak akan mengubah apa-apa; itulah titik pandang kami. Bukan seakan-akan kami percaya bahwa Allah ada, tetapi kami berpendapat bahwa pernyataan itu bukanlah pertanyaan tentang eksistensialismenya, manusia harus menentukan diri dan meyakinkan diri bahwa tak ada yang dapat menyelamatkannya dari dirinya sendiri, juga tidak ada suatu bukti sah adanya Allah.” Pandangannya tentang kebebasan Dalam filsafat Sartre ”kebebasan” merupakan kata kunci. Kebebasan tidak merupakan salah satu ciri yang menandai manusia, di samping sekian banyak ciri lainnya. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Suatu cara lain untuk ”mendefinisikan” manusia pada dasarnya menunjuk kepada hal yang sama. Teorinya tentang kebebasan ini dirangkai atas dasar formula kontradiktif yang dikenal juga sebagai “Sartre paradoks” di mana Ada pada dirinya sendiri (Being-for-itself) secara sederhananya adalah ada apa adanya. Sartre juga tertarik mengungkapkan realitas bahwa “anda dapat berubah ke jalur lain”. Seiring juga dengan perkembangan Sartre tampak menjadi lebih tertarik pada berbagai pengaruh kuat yang tengah tumbuh di tengah masyarakat dan menguasai usaha pencapaian status sosial pada situasi-situasi yang ada pada proyek manusia. Pandangannya tentang Tuhan dan kemungkinan ultim manusia Bagi Sartre kemungkinan ultim manusia adalah mengembangkan situasi-situasi yang ada, termasuk semua potensi yang ada pada setiap pribadi. Sartre tidak dapat mengatakan apa persisnya kemungkinan ultim itu, sebab manusia adalah kebebasan yang mencipta. Maksud Sartre, bahwa manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, berarti ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Manusia bukan lain hanyalah apa yang diciptakannya sendiri. Itulah prinsip pertama eksistensialisme. Karena manusia hanya dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri apabila ia bebas. Tetapi kalau ada Allah, ia tidak bebas lagi. Semuanya telah ditentukan. Manusia lalu tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Apabila ada Allah, manusia itu merupakan ketiadaan. Menurut Sartre, kebebasan manusia betul-betul absolut. Tidak ada batas-batas bagi kebebasan, kata Sartre, selain batas-batas yang ditentukan oleh kebebasan sendiri. Konsepsi tentang kebebasan ini menjadi salah satu alasan bagi ateisme Sartre. Seandainya Allah ada, kata Sartre, tidak mungkin saya bebas. Allah itu maha tahu yang sudah mengetahui segala-galanya sebelum saya melakukan dan Allah pulalah yang akan menentukan hukum moral. Kalau begitu, tidak ada peluang lagi bagi kreativitas kebebasan. Allah sebagai Ada Absolut tidak boleh tidak akan memusnahkan kebebasan manusia. Keyakinan bahwa adanya Allah akan menghancurkan kebebasan manusia berkaitan dengan pengertian Sartre tentang manusia. Manusia menemukan diri terlempar ke dalam eksistensi. Manusia adalah ”satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya”. Ia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Ia harus memproyeksikan diri, menciptakan diri, melalui kebebasannya. Jadi, manusia tidak mempunyai sesuatu padanya ia dapat bersandar. Tak ada hakikatnya, tak ada moralitas objektif padanya ia dapat mencari orientasi, tak ada baik-buruk objektif padanya ia dapat mengambil arah. Karena itu, manusia merasa terbebani oleh kebebasannya, ia takut, ia ingin berada pada dirinya sendiri. Hal mana akan berarti bahwa ia melepaskan kekhasannya sebagai berada bagi dirinya sendiri. Menerima sesuatu di luarnya sebagai dukungan berarti mengkhianati dirinya sendiri. Terperangkap dalam ketegangan ini antara kekhasannya sebagai kesadaran yang harus meniadakan realitas objektif di satu pihak, dan ketakutannya terhadap situasi di lain pihak ia merasa geli atau jijik. Kemanusiaannya terasa tanpa makna, tidak masuk akal, aneh (absurd). Sartre menyerukan agar manusia berani menghadapi situasinya yang tanpa makna itu. Jelaslah bahwa dengan pandangan tentang kebebasan radikal itu manusia akan gagal dalam usaha menemukan diri apabila ada Allah. Begitu ada Allah yang mahakuasa, dalam arti bahwa ia dapat, bahkan harus, secara total bebas dari segala ketentuan, menentukan diri. Kalau hakikat manusia adalah kebebasan total sebagai ada-bagi-diri-sendiri, adanya Allah mesti merupakan sebuah kerangka acuan yang tidak dapat diabaikan, dan dengan demikian, manusia menurut pandangan Sartre,

Surpres revisi otsus melegitimasi kegagalan otsus Papua (bagian 3)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi “Pemerintah adalah aktor utama di balik kegagalan otsus Papua selama 20 tahun” Oleh: Welis Doga UUD 1945 menjamin partisipasi publik. Pasal 28D ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Oleh sebab itu, surpres kepada DPR tentang revisi undang-undang otsus telah secara sadar membungkam aspirasi rakyat. Semestinya pemerintah memberikan ruang seluas-luasnya juga sebagaimana diamanatkan dalam pasal 21 ayat (3) UU Nomor15 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Demikian bunyi pasal 21 (3) UU Nomor17 tahun 2015: “Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.” Selain itu, secara formal, UU Nomor12 tahun 2011 tentang penyusunan peraturan perundang-undangan telah memberikan jaminan bagi warga negara untuk terlibat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif. Jaminan itu juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPRD, DPD dan DPRD dan Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2014 tentang tata tertib DPR. Namun, wadah untuk menampung dan alur untuk menyampaikan partisipasi publik tersebut tidak jelas, baik di undang-undang lama, maupun undang-undang baru, sehingga partisipasi publik dalam membentuk UU hanya dijadikan syarat formal tanpa ada tolak ukur yang jelas. Ditambah, partisipasi publik belum mendapatkan jaminan hukum yang lebih baik, khususnya mekanisme dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan hasil dari tindak lanjut aspirasi tersebut. Dengan revisi UU Otsus, akankah OAP keluar dari ketertinggalan? Bagaimana nasib OAP selama 20 tahun UU Otsus berlaku di Papua? Mungkin hanya orang buta yang akan menyatakan bahwa otsus dengan triliunan rupiah selama 20 tahun itu telah berhasil membawa OAP keluar dari ketertinggalan. Pertanyaan lain lagi adalah berapa banyak anggaran yang akan dikucurkan pemerintah kepada kedua provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan otsus? Atau berapa tahun lagi pemerintah menganggarkan dana otsus Papua? Bukankah 20 tahun dengan ratusan trilun rupiah itu tidak cukup untuk membangun OAP? Berapa banyak sih jumlah OAP jika dikalikan dengan anggaran triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah, sehingga berapa pula besaran yang harus diterima setiap tahun oleh OAP? Bagaimana perhitungannya jika otsus akan mengeluarkan OAP dari ketertinggalan? Apa jaminan yang dapat pemerintah pastikan dalam mengurangi kesenjangan rakyat Papua jika otsus tetap dilanjutkan? Atau pertanyaan lain adalah, apakah dengan revisi otsus secara sepihak oleh pemerintah, hanya dengan pikiran kelompok tertentu, bukan yang berasal dari aspirasi mayoritas rakyat Papua menjamin dapat meredam aspirasi Papua merdeka? Jika iya, dalam jangka waktu berapa lama gerakan kemerdekaan Papua dapat dipastikan lenyap dari muka bumi? Tugas berikut pemerintah adalah harus mampu menjawab sedetail mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sebab pertanyaan seperti itu adalah konsekuensi logis yang diterima pemerintah. Silakan pemerintah menjawabnya. Tahapan pembentukan undang-undang atau revisi otsus yang mesti dilalui Jika hukum adalah panglima dan itu telah tuntas. Maka, dalam rangka revisi UU Otsus Papua, tahapannya harus dilakukan oleh pemerintah secara formal, sesuai amanat peraturan perundang-undangan, adalah diawali dengan menyaring aspirasi rakyat Papua sesuai amanat pasal 77 UU Otsus. Dalam rangka menyaring aspirasi rakyat Papua– subjek dari kehadiran otsus Papua, maka pemerintah melalui pasal 77 UU Otsus dan Pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 54 tahun 2004 tentang MRP, memberikan kewenangan penuh kepada MRP, untuk memfasilitasi rakyat Papua menggelar RDP. Oleh sebab itu, hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam rangka revisi UU Otsus Papua adalah bersama MRP menyelenggarakan RDP di seluruh Tanah Papua, dengan melibatkan berbagai pihak, baik pihak yang pro, maupun pihak kontra. Lalu mendengarkan suara hati rakyat Papua secara demokratis tanpa intimidasi atau apapun namanya. Selanjutnya setelah RDP selesai digelar, pemerintah bersama MRP dan MRPB, DPRP dan DPRPB, kedua gubernur di tanah Papua serta seluruh stakeholder di tanah Papua, melakukan RDP yang difasilitasi MRP dan MRPB. Dalam RDPU itulah dipaparkan hasil RDP yang berasal dari masyarakat akar rumput. Selanjutnya DPRP dan DPRPB bersama kedua gubernur menyampaikan hasil RDP dan RDPU kepada pemerintah pusat melalui DPR dan DPD. Kemudian pemerintah pusat menelaah hasil RDP dan RDPU, lalu menyimpulkan apakah revisi UU Otsus perlu masuk di prolegnas atau tidak. Itu juga harus melului pertimbangan, apakah revisi UU Otsus adalah kebutuhan yang urgen atau tidak. Hasil pertimbangan dari berbagai pihak dan sudut pandang itu lalu disimpulkan, apakah revisi otsus sebuah kebutuhan mendesak dan harus masuk pada prolegnas prioritas atau tidak. Hal penting lain adalah aspirasi rakyat harus diutamakan. Mengenai pentingnya tangapan berbagai pihak tersebut sebagaiamana diatur secara sempurna pada pasal 21 ayat (3) UU Nomor15 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 21 ayat (3) berbunyi: “Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”. Lalu untuk proses pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74. Berdasarkan ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan sebuah undang-undang secara formal. Sebuah RUU bisa berasal dari presiden, DPR atau DPD. RUU yang diajukan oleh presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait. RUU kemudian dimasukkan ke dalam prolegnas oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun. RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna. Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh

Surpres revisi otsus melegitimasi kegagalan otsus Papua (bagian 2)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi “Pemerintah adalah aktor utama di balik kegagalan otsus Papua selama 20 tahun” Oleh: Welis Doga Dimanakah hak rakyat dalam memberikan usulan penyusunan prolegnas sebagaimana diamanatkan dalam pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan? Surpres 4 Desember 2020 yang disampaikan Presiden Jokowi kepada DPR dalam rangka revisi UU Otsus Papua itu bukankah mendahului amanat pasal 77 UU Otsus? Bukankah MRP adalah lembaga negara di daerah yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menjalankan RDP? Atau siapa sebenarnya yang gagal menjalankan Undang-Undang Otsus Papua? Bukankah pemerintah juga adalah aktor kegagalan otsus? Bukankah surpres tentang revisi UU Otsus adalah bukti valid kegagalan otsus Papua? Surpres melegitimasi kegagalan otsus Papua Surpres yang diterima DPR 4 Desember 2020 tentang revisi undang-undang otsus merupakan legitimasi konkret kegagalan otsus, surat tersebut telah mendahului amanat pasal 77 UU Utsus Papua. Sesuai amanat pasal 77, MRP diberi kewenangan untuk menyaring aspirasi rakyat Papua melalui forum yang bernama RDP. Forum ini murni perintah undang-undang NKRI. Artinya bahwa OAP memiliki hak yang dijamin undang-undang negara untuk mengemukakan pendapat tentang keberhasilan/kegagalan otsus. Jika pemerintah terus memaksakan kehendak OAP atau mendahului amanat UU Otsus Papua, apakah pemerintah tidak melangar amanat pasal 77 UU Otsus Papua? Ataukah karena surpres tersebut berasal dari presiden sehingga dianggap tidak melanggar hukum? Apakah karena presiden kebal hukum? Bukankah hukum adalah panglima dalam negara hukum? Pemerintah perlu menggunakan akal sehat yang dapat mendidik rakyat. Dengan demikian kebijakan pemerintah atas surpres tersebut merupakan bukti kuat yang terangkum sempurna atas kegagalan otsus selama 20 tahun. Artinya jika selama ini berbagai pihak menyoroti kegagalan otsus dari berbagai sudut pandang, maka pembuktian kegagalan yang merangkum semua pandangan tentang kegagalan otsus adalah Surpres tentang Revisi UU Otsus Papua. Oleh karena itu, jika jargon yang biasa digunakan untuk menyebut prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”, maka yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’. Dalam konteks hari ini dengan adanya surpres tersebut, maka prinsip hukum yang berlaku dalam negara hukum dari sebutan “the rule of law, not of man” justru kebalikannya, yakni “the rule of man, not rule of law”.Yang atinya juga kepanglimaan hukum benar-benar tumpul di negara Indonesia. Apa urgensi dari surpres tentang revisi UU Otsus Papua? Di akhir pemberlakuan undang-undang otsus Papua, terjadi pro-kontra apakah masih mau dlanjutkan ataukah tidak. Kelompok yang menolak otsus pada pertengahan 2020 mendeklarasikan Tim Petisi Rakyat Papua (PRP). Tim ini masih melakukan aksi-aksi penolakannya terhadap otsus. Tim yang terdiri dari 102 organisasi sipil (luar dan dalam negeri) ini berhasil menggalang 654.561 petisi sesuai hasil konferensi pers 7 Januari 2021. Tim ini akan meluncurkan kembali petisi penolakan otsus kedua awal tahun ini. Mereka tersebar di Tanah Papua, kota-kota studi di Indonesia dan luar negeri, seperti PNG, Timor Leste, Australia, dan beberapa negara lainnya. Kelompok yang menginginkan kelanjutan otsus juga terus melakukan aksi-aksi dukungannya. Sayangnya jumlah mereka tidak sebanding dengan jumlah kelompok yang menolak. Kelompok pendukung otsus ini berasal dari Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA). Kelompok ini terutama di-backup oleh pihak-pihak tertentu. Rata-rata mereka adalah orang-orang tua yang tidak berpendidikan dan memiliki kemampuan terbatas untuk memahami persoalan. Nah, situasi Papua saat ini seperti demikian. Pemerintah melalui intelijen negara mesti meng-update situasi real kepada pemerintah pusat, bukan update laporan berbau politik saja, sehingga kebijakan pemerintah tidak terkesan tergesa-gesa. Pertanyaan lanjutannya adalah, apa dasar presiden mengirim surat kepada DPR dalam rangka revisi otsus? Bukankah surat itu bertentangan dengan pasal 77 UU Otsus Papua? Mengapa presiden tidak mengeluarkan instruksi presiden (inpres) tentang evaluasi secara total otsus selama 20 tahun? Bahwa surpres tersebut dinilai sebagai kebijakan tergesa-gesa, karena tanpa pertimbangan yang komprehensif dan mendahului aspirasi rakyat, tentang penting atau tidaknya kelanjutan otsus. Satu hal yang pemerintah pusat mesti paham adalah bahwa begitu UU Otsus Papua dari sisi anggarannya habis atau berhenti di tahun 2021, tidak mungkin sama sekali saat itu pula Papua merdeka. Surpres itu wajar tergesa-gesa ketika Papua benar-benar dalam situasi yang luar biasa. Namun itu tidak segampang membalik telapak tangan, dunia ini terikat oleh aturan. Di Indonesia dikenal negara hukum. Pemerintah mesti mendahulukan evaluasi total atas puluhan bahkan mencapai triliunan anggaran negara yang dikucurkan pemerintah selama 20 tahun, tetapi hasilnya nihil. Sebenarnya evaluasilah urgensinya, sebab hingga 20 tahun otsus, mayoritas rakyat mengatakan otsus tidak membawa dampak positif kepada rakyat Papua. Justru sebaliknya, membuat persoalan hidup rakyat semakin menumpuk, terutama kasus-kasus pelanggaran HAM. Sebenarnya penyelesaian kasus-kasuS HAM yang mesti diangap urgen dalam penyelesaiannya. Jika otsus hanya soal anggaran, apa gunanya produk undang-undangnya? Pemahaman pemerintah seakan terbalik. Artinya pemerintah melihat kegagalan otsus hanya pada besarnya anggaran yang dikucurkan selama 20 tahun, yang jelas-jelas tanpa hasil, sebab gagal membawa OAP keluar dari ketertinggalan. Sementara tidak terlaksananya amanat UU Otsus dari beberapa pasal dalam kaca mata pemerintah sebagai hal yang biasa-biasa saja. Padahal pasal-pasal yang kemudian tidak terlaksana sama sekali dalam penerapannya justru yang lebih urgen dan mesti didahulukan. Cara pandang pemerintah terhadap pelaksanaan otsus yang hanya tertuju pada besaran anggaran seperti kapal putih mengarungi samudra tanpa kompas, membuktikan keseriusan pemerintah dalam membangun Papua terkikis. Di sini pemerintah merasa puas dan menganggap sukses menjalankan otsus selama 20 tahun dengan puluhan triliun rupiah saja, walaupun jelas-jelas triliunan rupiah itu tidak mampu membawa OAP keluar dari ketertinggalan. Sementara regulasi yang mestinya dapat mengkawal puluhan trilun rupiah agar maksimal pada sasarannya, justru tidak tersentuh hingga 20 tahun otsus berjalan. Kepuasan pemerintah hanya pada besaran pengeluaran dana otsus, sedangkan beberapa pasal yang sifatnya urgen telah mati suri. Dari tahun ke tahun, dari presiden ke presiden, cara pandangnya sama. Apakah salah jika rakyat katakan otsus gagal total dan menolaknya? Di sini sebenarnya siapa yang menggagalkan otsus? Pemerintah mesti mengakui dengan jujur bahwa 20 tahun otsus tidak berjalan maksimal, bahkan benar-benar tidak berdampak pada kehidupan OAP. Hal ini justru akan dianggap bahwa keseriusan pemerintah dalam membangun Papua masih ada harapan. Namun jika pemerintah menganggap orang Papua cukup dijadikan objek dalam setiap perjanjian atau apapun yang jelas-jelas membahas nasib OAP, maka jangan salahkan orang

Surpres revisi otsus melegitimasi kegagalan otsus Papua

papua-aksi-rakyat-meepago

Papua No. 1 News Portal | Jubi “Pemerintah adalah aktor utama di balik kegagalan otsus Papua selama 20 tahun” Oleh: Welis Doga Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan yang bersifat mengikat dan mempunyai sanksi tegas. Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan bernegara adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya. Gagasan negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri, sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” atau penjaga sekaligus “the ultimate interpreter of the constitution” atau penafsir terakhir dari konstitusi. Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Lalu dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomorr 15/2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 15/2019). Kemudian pasal 21 ayat (3) UU 15/2019 menyebutnya “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.” Dalam konteks revisi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, Presiden RI Joko Widodo telah mengirim Surat Presiden (Surpres) kepada DPR pada 4 Desember 2020. Dewan Perwakilan Rakyat telah menerima surpres tentang revisi UU Nomor 21 tentang Otsus Papua. Surpres itu diumumkan oleh Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin dalam rapat paripurna penutupan masa sidang, Jumat, 11 Desember 2020. Azis mengatakan, revisi ini akan ditindaklanjuti setelah DPR membuka kembali masa sidang pada 10 Januari 2021. “Surat ini tentu akan kami jalankan secara mekanisme dan tata tertib yang berlaku dalam masa sidang yang akan kita lakukan secara bersama-sama tanggal 10 Januari 2021.” Sebelumnya, revisi UU Otsus Papua masuk Prolegnas Prioritas 2021. Revisi ini merupakan usulan pemerintah. Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyebut ada perubahan UU Otsus Papua. Yaitu mengenai besaran dana. Yaitu dinaikan dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Serta tata kelola akan diubah dari melalui Perda Otsus Papua menjadi Peraturan Pemerintah (merdeka.com). Sementara itu, Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 77 UU Otsus Papua dan pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 54 tahun 2004 tentang MRP, sedang berupaya mendorong penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dimulai pada pertengahan 2020 hingga dilanjutkan awal 2021. Rapat Dengar Pendapat yang didorong MRP ini dilakukan dalam rangka menjaring aspirasi rakyat Papua atas pro dan kontra status Otsus Papua. Forum RDP sendiri telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan NKRI. Di sisi lain, pemerintah benar-benar tidak menghiraukan aspirasi penolakan otsus yang digaungkan oleh rakyat Papua dari waktu ke waktu. Di akhir masa berlakunya otsus Papua selama 20 tahun, mayoritas rakyat Papua menyatakan menolak UU Otsus Papua. Sikap penolakan itu datang dari berbagai komponen rakyat di Papua yang tergabung dalam Tim Petisi Rakyat Papua (PRP) yang terdiri dari berbagai organisasi sipil, baik dalam negeri, maupun luar negeri, yang berjumlah 102 organisasi. Dalam konferensi pers Tim PRP 7 Januari 2021 disebutkan bahwa petisi penolakan keberlanjutan otsus yang berhasil digalang hingga 7 Januari 2021 sebanyak 654.561. Tim PRP sendiri usai konferensi pers menyatakan bahwa 102 organisasi yang tergabung dalam Tim PRP akan terus menggalang dukungan petisi penolakan otsus Papua. Dalam pandangan mayoritas rakyat Papua atas keberadaan otsus selama 20 tahun di Papua, tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan orang asli Papua (OAP). Oleh karena itu, rakyat Papua menolak keberlanjutan osus yang dipaksakan oleh pemerintah. Ketidakberhasilan otsus Papua atau pasal-pasal yang seharusnya dilaksanakan pemerintah, di antaranya, pasal 28 tentang partai politik, pasal 45 ayat (2) tentang pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pasal 48 ayat (5) tentang persetujuan gubernur dalam rangka pengangkatan Kapolda Papua. Beberapa pasal di atas adalah pasal-pasal yang jelas-jelas diatur dalam UU Otsus Papua, tetapi beberapa pasal tersebut sama sekali tidak tersentuh dan tidak terlaksana, pasal-pasal tersebut benar-benar mati suri. Lalu dari empat program pembangun prioritas yang diamanatkan dalam UU Otsus sendiri pun sungguh tidak berdampak pada OAP di seluruh Tanah Papua. Sementara itu yang lebih parah lagi adalah kepala negara RI, Presiden Jokowi justru mengeluarkan Surpres kepada DPR untuk mendesak DPR segera merivisi UU Otsus Papua, padahal pasal 77 UU Otsus mensyaratkan “Usul perubahan atas UU Otsus dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Bahwa 20 tahun keberadaan produk hukum otsus itu sudah diangap gagal total oleh mayoritas rakyat Papua. Karena itu, rakyat Papua menolak keberlanjutan otsus di Papua dengan menggalang petisi penolakan UU Otsus Papua dalam wadah PRP oleh 102 organisasi sipil. Sementara para komplotan elite Papua dan Jakarta masih menganggap otsus berhasil di Papua walaupun pemerintah tidak mampu membuktikan keberhasilannya selama 20 tahun. Yang parahnya lagi adalah pemerintah tidak mengkawal RDP yang didorong oleh MRP dalam rangka menjaring aspirasi rakyat Papua, yang sebenarnya dilakukan sesuai amanat pasal 77 UU Otsus. Justru pihak keamanan (negara) yang berupaya menghambat RDP, seakan dengan adanya RDP, seketika itu pula Papua merdeka. Ini keanehan di NKRI. Bersambung. (*) Penulis adalah Masyarakat Pegunungan Tengah Papua Editor: Timoteus Marten

Akal sehat disita oleh nilai rupiah

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi (Sebuah refleksi untuk kembali menghidupkan akal orang Papua yang sehat) Oleh: Sebedeus G. Mote Suara rakyat untuk menentukan hak atau bicara soal pilihan adalah hak dasar yang tidak bisa ditawar dengan nilai rupiah belaka yang dapat mengorbankan rakyat. Masa-masa ini memang sangat panas jika dipikirkan dengan baik, karena nilai rupiah sangat melemahkan hak pilih dan hak untuk hidup. Di seluruh Tanah Papua akal budi manusia Papua terlihat suram karena bisa ditawar-tawar. Akal budi manusia masa kini menjadi sebuah nilai tawar dan bisa diperjualbelikan, karena di semua daerah itu selalu saja terlihat suara dan mulut untuk berkata yang benar ditutupi dengan nilai rupiah (uang). Misalnya saat pemilu di kabupaten di seluruh Tanah Papua, kalau bupati kasih dana secara diam-diam ke kepala distrik, desa, atau ketua-ketua TPS lainnya, lalu suara murni sebagai hak pilih menjadi sebuah formalitas belaka. Dewasa ini di seluruh kota maupun pelosok di Tanah Papua menurut pengamatan saya viral dengan kata “dapat bayar”. Maksudnya adalah seandainya masyarakat sudah dapat bayar (mendapat bayaran) berarti uang itu dapat menutupi mulut mereka. Berkaitan dengan judul ini kita bisa bertanya, benarkah akal budi OAP disita oleh nilai rupiah? Tahun 2021 menjadi tahun pertobatan dan perenungan untuk mengembalikan akal sehat yang sudah diracuni berbagai nilai tawar yang tidak masuk di nalar murni manusia dan bangsa Melanesia, karena itu menjadi alasan yang tidak manusiawi lalu mengorbankan rakyat jelata yang dianggap tertinggal. Kalau mau jujur, nalar sehat manusia Papua rusak akibat penjajahan yang terstruktur dan sistematis. Menghidupkan akal budi Tahun ini kita dituntut untuk memulai hidup baru yang murni bukan palsu. Kemurnian dan kepalsuan manusia selalu berjalan dalam hidup kita. Itu kita tak bisa pungkiri karena nalar kita selalu dipengaruhi oleh yang baik dan jahat. Tentang hal ini memang sangat berpengaruh erat dalam hidup harian kita. Dalam hidup kita sebagai manusia yang berpikir atau yang punya akal budi selalu berseberangan untuk memaknai nilai-nilai dan tata cara hidup yang menjadi budaya dalam kehidupan, selalu ada yang menjaga rahasia dan ada yang menjadi wasit di antara kita. Kalau menjadi wasit untuk meruntuhkan nalar murni manusia lebih baik setop dan tidak usah buat onar. Kepada semua yang menjadi wasit untuk mengerdilkan akal sehat setop sudah, lebih baik urus diri sendiri. Mulai dengan diri untuk memurnikan akal sehat itu dalam kehidupan sebagai makhluk yang berpikir. Dalam kehidupan kita mesti berpikir dewasa dan tidak perlu saling membatasi kreativitas sebagai makhluk yang berpikir. Menjadi terpenjara dalam tembok nalar yang rusak yang dibangun pula oleh kolonialisme, pejabat, dan para kapitalis. Keruntuhan akal sehat menjadi terlihat di mana-mana, lebih terlihat itu saat pesta demokrasi atau pemilu. Masa kini manusia yang berpikir murni untuk memilih dan memelihara akal sehat itu hanya segelintir orang saja. Jika demikian apa yang kita hidupi sebagai makhluk berpikir yang “ada” sejak alam semesta ini ada? Mengapa? Akal budi disita oleh nilai rupiah, suara pun menjadi korban dan mulut terpenjara. Tahun 2021 mesti butuh perenungan bersama untuk mengakhiri hal-hal yang meruntuhkan nilai kemanusiaan orang asli Papua (OAP). Ini yang menentukan kita untuk menghidupkan akal sehat kita yang sudah lama dimatikan oleh kolonial Indonesia. Rupiah Indonesia menjadi racun untuk membunuh akal sehat manusia Papua. Jangan kita tertipu dengan tawaran kolonial yang tidak manusiawi. Kita harus hidup di atas modal alam kita yang sangat kaya ini. Dengan demikian nalar manusia OAP dapat bertumbuh dengan baik dan tidak mudah disita oleh nilai rupiah itu sendiri. Masa kini memang ditandai oleh arus perkembangan dan perubahan hidup. Perubahan yang terus berlangsung ini kita tidak bisa tahan atau hilangkan tetapi otomatis berlangsung dan itu nyata. Alam Papua, penduduk asli menyebutnya “surga kecil yang jatuh di bumi”, dan juga orang lain di dunia menyebut demikian. Namun, semenjak Papua diintegrasikan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), negara memulai suatu misi pembunuhan di semua aspek. Dalam refleksi ini penulis juga mau mengajak kita, baik OAP, maupun non-OAP, untuk menata kembali alam Papua yang sudah berantakan. Mereka yang merusak alam Papua adalah mereka yang jual tanah, membangun jalan trans, membuka perkebunan kelapa sawit, mendulang emas secara ilegal seperti di Degeuwo, Paniai, dan lain-lain. Akibat penjualan tanah adalah pembangunan perkantoran, rumah indekos atau rumah kontrakan yang notabene bukan milik OAP. Kita punya alam Papua sangat kaya. Kita punya modal alam untuk memproduksi sesuatu, mengapa kita cepat terlena dengan tawaran sesaat sampai akal sehat kita seakan disita oleh rupiah? Dari hari ke hari orang Papua semakin tidak menyadari kenyataan dan seluruh problematika yang ada. Maka hal yang dituntut untuk kita semua adalah kembali menyadari diri dan mengobati akal budi yang terluka ini. Semoga kita tidak mudah ditipu hal-hal ini. Dengan demikian akal budi kita sehat dan kita bebas menentukan kehidupan sendiri sebagai satu bangsa Melanesia. Merawat akal budi dalam pagar hidup Papua Tanah Papua sudah dipagari oleh Allah, dan yang boleh hidup adalah manusia yang berada di dalamnya, yakni manusia yang memelihara kemurnian akal sehat, yang tidak mudah ditipu nilai rupiah lalu mengorbankan dan menjadikan rakyat sebagai objek. Selain manusia yang ada di dalam tidak boleh ada manusia yang masuk sembarang, kecuali ada mengizinkannya. Tetapi oknum-oknum pendatang dari berbagai daerah masuk ke Papua secara sembarang atau ilegal untuk menghabiskan semua ciptaan yang ada di dalam pagar hidup Papua. Akibatnya hubungan kita dengan seluruh alam ciptaan-Nya retak. Saudara/i yang datang dari luar Papua merasa nyaman dengan kita, suka dengan kita, mencintai kita, tetapi sebenarnya mereka mencari keselamatan, kekayaan, dan kenyamanan. Mengapa demikian? Karena orang yang memasuki pagar hidup Papua, dengan sendirinya hidup dan mencari kemuliaan Allah bersama manusia Papua. Namun, yang menjadi persoalan ialah orang-orang non-OAP maupun OAP terkadang belum puas dengan apa yang sudah ada. Mereka ingin mencari yang lebih demi kepuasan jasmani semata sampai akal sehat menjadi runtuh. Hasil dari ketidakpuasan hanya merusak alam ciptaan Allah yang ada di Papua. Oleh karenanya, Allah menuntut kita untuk hidup dengan apa yang ada pada kita, bukan mencari hidup yang lebih, sebab selebihnya berasal dari iblis. Allah menuntut kita tidak mencari yang lebih. Orang yang mencari lebih merupakan manusia yang rakus dan sedang dirasuki oleh iblis (roh jahat). Dengan demikian akal budi sebagai sang pengarah dalam proses

Natal umat Ndugama dan Intan Jaya yang suram

papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi (Sebuah refleksi kemanusiaan di balik Natal 2020) Oleh: Sebedeus G. Mote Cara merayakan Natal tahun 2019 dan 2020 umat Ndugama, Intan Jaya, Puncak dan daerah konflik lainnya sangat berbeda. Derita dan kematiaan melanda sekaligus meredupkan semangat Natal. Tidak ada yang salah dengan umat Ndugama, Puncak, Intan Jaya, dan daerah konflik lainnya. Tak seorang pun dapat memahami mengapa derita dan pembunuhan oleh kolonial Indonesia bisa menerobos masuk sampai kampung-kampung terpencil dan saling membunuh. Saya mengikuti seluruh realitas hidup dari umat Ndugama dan daerah konflik lainnya serta mempelajari daftar kejadian yang begitu panjang, menit demi menit. Saya berpikir  “rakyatku mengapa diperlakukan demikian”. Natal di tahun yang kedua (2020) pun mereka merayakannya dalam suasana kematian dan penderitaan. Mungkinkah itu sebuah takdir yang harus dilewati? Sejak kolonial Indonesia (TNI/Polri) masuk di Ndugama, Puncak dan Intan Jaya, saya membaca rakyat sipil—korban di atas korban dan penyakit akibat mengungsi, sehingga menambah penderitaan yang panjang. Semua kisah, pertanyaan, dan jeritan membangkitkan semangat sedih yang aneh dalam benak sejak 1960 sampai kini secara menyeluruh di Tanah Papua. Mengapakah pembunuhan dan penderitaan ini terus dialami? Mengapa Allah itu terus-menerus mengizinkan mereka sampai kejahatan kolonialnya terus merajalela atas rakyat Papua? Kebaikan atau apa gerangan yang bisa dihasilkan dari kejadian-kejadian sadis ini? Marilah kita bergumul bersama dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Hutan-hutan dan gunung-gunung yang berselimutkan salju yang bernuansa keemasan dibelai cahaya di Tanah Papua, semoga itu menyembuhkan hati dan keinginan untuk merayakan Natal. Derita Ndugama, Puncak, Intan Jaya, dan daerah konflik lainnya mengenang wajah-wajah sedih demi persatuan dan kesatuan. Ah, dimanakah mereka? Hati pun terus bertanya, apakah arti Natal bagi mereka? Memang suram tapi penderitaan itu tidak untuk selamanya, dan pasti ada cahaya kemenangan nanti. Kesedian memang dialami untuk semua berkumpul seperti umat-umat di daerah lain, tetapi itulah kehidupan yang tak bisa kita bantahkan. Kolonial Indonesia (TNI/Polri) merusak hari raya Natal umat Ndugama, Intan Jaya, dan daerah konflik lainnya. Seharusnya mereka merayakan Natal dengan penuh sukacita. Namun Natal justru menjadi momen duka dan derita bagi mereka. Hati pun seakan menolak Dia, yang datang sebagai Sang Penyelamat dan berkata: ah, Ko kembali sudah! Perlombaan yang dibuat oleh kolonial Indonesia dengan cara mengheningkan cipta yang tidak manusiawi membuahkan duka, kematian, dan penyakit berkepanjangan. Ndugama, Intan Jaya, dan daerah konflik lainnya dijaga dengan begitu ketat dengan cara militerisme hingga menyebabkan kematian dan duka, serta melukai hati anak negeri Papua. Penyakit luka yang dahsyat pun mengguncang rakyat Ndugama dan sulit diatasi. Terima kasih untukmu yang rela membantu keluarga Ndugama dan Intan Jaya yang kena luka, derita dan kematian. Semoga pelaku kejahatan yang menyebabkan semua itu, dapat diampuni oleh Allah leluhur Papua, dan dengan itu memasuki suatu proses rekonsiliasi dan pertobatan yang hakiki. Pertanyaan tentang duka, derita, kematiaan, dan penyakit yang umat alami tidak mungkin terlepas dalam hidup harian saya untuk menggumuli itu semua. Terlalu suram, tapi ya begitulah hidup manusia yang selalu memangsa hati anak negeri. Semoga tetap ada cahaya bintang kejora dari ufuk timur untuk melihat dan menyembuhkan luka mereka sampai menikmati hidup bebas abadi di Tanah Papua tercinta ini. Kita itu sebenarnya hidup di suatu planet yang rapuh dan rusak oleh penyakit nalar sampai membunuh rakyat Ndugama dengan sikap tidak hormat. Apakah dengan tindakan kekerasan ini Ndugama bisa mengalami kehadiran penyelamat yang seharusnya dihormati secara mulia? Penderitaan ini memang Salib Kristus, dan kebenaran pasti nyata di tengah rakyat yang merindu. Hampir tiap hari kita memperoleh laporan kematian, pengungsian, sampai mendapat luka yang sulit disembuhkan. Apakah gerangan keterlibatan Allah dalam situasi semacam ini? Kami sangat sadar bahwa tidak ada satu pun buku tulis yang mampu ”memecahkan” masalah kepedihan ini, tapi bisa berbagi dan terdorong untuk berefleksi tentang penderitaan tentang Natal yang suram ini. Penghiburan bagi umat Ndugama yang terluka harus mulai sekarang supaya luka mereka segera sembuh, Seluruh lembaran hidup umat Ndugama dan Intan Jaya pada Natal tahun kedua ini membuatku sedih. Kakek-nenek senang bersama orang yang mereka cintai untuk merayakan Natal—kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus. Natal kedua pun mengubah rencana bersama keluarga. Sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus, kita memiliki hak istimewa untuk membungkus kebutuhan kita, kekhawatiran, dan kesepian kita, memberikannya kepada Yesus pada Natal ini. Dia menunggu paket kita sehingga Dia bisa memberi kita hadiah kedamaian-Nya untuk bebas, yang tentu berada di luar pemahaman kita. Semoga melalui peristiwa Natal 2020 ini Allah berkarya untuk memulihkan kematian, duka, derita, dan penyakit yang menimpa umat Ndugama, Intan Jaya, dan daerah konflik lainnya, dan semoga Allah memulihkan wajah kehidupan kolonial yang rusak akibat kuasa dosa—penembakan-penembakan yang mengakibatkan kematian. Allah memulihkan wajah kehidupan umat manusia tidak ditempuh dengan pengiriman bala tentara malaikat untuk membinasakan setiap orang yang jahat dan berdosa. Walau Allah mahakuasa dan adikodrati, Dia memilih cara yang tidak populer namun rendah-hati. Melalui Sang Firman-Nya, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Inkarnasi Firman Allah menjadi manusia berarti Allah berkenaan memposisikan diri-Nya yang tidak terbatas menjadi terbatas, misteri ilahi yang tersembunyi menjadi suatu wujud manusiawi yang kelihatan. Misi inkarnasi Kristus sangat jelas, yaitu: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Saudaraku rakyat Ndugama yang terkasih, kedatangan Sang Terang ke dunia membawa damai bagi kita untuk mengampuni kolonial. Damai itulah yang harus kita bawa bagi orang lain. Kita telah menerima terang Kristus melalui Natal ini, berarti juga kita dituntut pula untuk membawa terang itu bagi orang lain, terutama mereka yang tidak suka kita model apa pun. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus menampakkan cara hidup yang bersumber dari Terang itu. Kalau dahulu kita hidup dalam genggaman kolonial Indonesia dalam situasi gelap., semoga kita menjadi pembawa kebenaran bagi dunia, dan meneladankan serta mewartakan kebaikan-kebaikan itu kepada orang lain. Dengan demikian lewat keteladanan hidup kita yang penuh dengan derita, duka, kematian, dan penyakitan ini, mengajarkan nilai hidup kepada semua orang, dengan demikian kita telah membawa terang, baik bagi diri kita sendiri, maupun yang terutama bagi orang lain, demi melihat dunia yang tidak ada penderitaan. Semoga kolonial Indonesia menjadikan momen Natal menjadi saat yang tepat, untuk berubah sikap supaya tahun 2021 bertobat—tidak membunuh dan menganiaya orang Papua. Semoga

Korupsi dan relevansi Pancasila kini!

Ilustrasi korupsi Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Aliapsyi Ade Seberan Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan, krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial yang pada puncaknya melahirkan krisis kepercayaan. Agenda reformasi ketika itu adalah pergantian kepemimpinan, yang dipandang sebagai pangkal persoalan-persoalan kehidupan demokrasi di Indonesia. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan memberikan arah baru dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ditetapkannya Menteri Kelautan dan Perikanan (Edhy Prabowo) sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya, dan juga Menteri Sosial (Julian P. Batubara) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap bantuan sosial di Kementerian Sosial, semakin memberikan kesan, bahwa regulasi tidak menjadi jaminan. Korupsi tentunya menjadi indikator paling utama yang menjadikan pilar-pilar bangsa Indonesia akan runtuh (decline). Budaya korupsi telah merusak sistem dan birokrasi di Indonesia, sehingga berpengaruh negatif pada kinerja dan moral manusia Indonesia. Karena itu, dalam memberantas korupsi dan proses penegakan hukum diperlukan Pancasila sebagai sumber tertib hukum. Praktik korupsi itu dilakukan secara terorganisir. Praktik korupsi dapat dilakukan secara mulus dengan cara-cara kolusi melalui rekan terdekat. Praktik korupsi terkadang dilakukan oleh pejabat pemerintah, dengan memberikan kesempatan untuk memenangkan suatu proyek atau tender dari program-program di kementerian negara, yang mana proyek itu diberikan oleh teman terdekat atau koncoisme. Suburnya budaya korupsi di dalam sistem pemerintahan di Indonesia, disebabkan beberapa faktor internal manusia Indonesia. Pertama, persoalan korupsi sejatinya terletak dalam mentalitas diri manusia. Mentalitas manusia yang buruklah, yang selalu merasa kekurangan (unsatiabale mentality). Hidup manusia di dunia ini tidak akan pernah puas. Itu sifat manusia. Budaya korupsi dilakukan karena pejabat publik dan elite politik tidak pernah menghargai kerja keras, disiplin, dan rasa tanggung jawab, sehingga menyebabkan tumbuhnya mentalitas nrabas dan instan. Dengan begitu, akan menyeret pelaku dalam perilaku korupsi. Mentalitas nrabas telah menjadikan pejabat publik tidak memiliki rasa malu (shameless), atau perasaan dosa, kualat atau karma yang akan divoniskan Tuhan pada orang yang mengkorupsi uang negara. Nilai-nilai itu telah lenyap dan hilang dalam pikiran mereka. Mereka lebih mementingkan nafsunya untuk membahagiakan (diri, keluarga, dan kelompoknya); Kedua, persoalan korupsi itu terletak dari rendahnya manusia dalam menjaga moral dan martabatnya. Pejabat publik dan elite politik telah kehilangan batin dan nalar sucinya untuk dapat membedakan mana perbuatan yang benar dan buruk. Moralitas pejabat terkikis akibat dirasuki oleh hasil keringat yang tidak halal, sehingga murka dan kebiadaban manusia mengarah pada tindakan atau praktik korupsi. Moralitas adalah benteng terakhir dalam membangun kejujuran. Apabila pejabat publik dan elite politik tidak memiliki pertimbangan moral dalam menjalankan tugas pengabdian negara, maka akan rentan melakukan korupsi. Apabila Pancasila tidak pernah dijadikan pijakan dalam setiap mengambil keputusan atas persoalan kebangsaan, maka runtuhlah pilar-pilar demokrasi di Indonesia; Ketiga, persoalan korupsi itu muncul karena elite politik dan pejabat publik tidak pernah mempedulikan, menghargai dan menghormati nilai-nilai Pancasila yang telah diusung oleh para founding father. Pejabat publik dan elite politik tidak cukup memahami Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga sila-sila yang lain sejatinya dapat membangun kesadaran kritis bagi wakil rakyat untuk tidak melakukan korupsi. Mereka yang melakukan praktik korupsi berarti telah mencederai keberadaan Ketuhanan Yang Maha Esa, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta rasa kerakyatan yang dipimpin dalam permusyawaratan/perwakilan dalam hikmat kebijaksanaan, dan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia memiliki falsafah hidup Pancasila, tetapi perilaku korupsi masih tumbuh subur dilakukan para pejabat publik dan elite politik. Sungguh paradoksal sekali dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup (weltanschauung) manusia Indonesia sebenarnya telah memberikan petunjuk hidup. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan filsafat hidup bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan suatu nilai dasar yang bersifat fundamental, sistematis dan holistik. Pemikiran filosofis yang terkandung dalam setiap sila bahwa Pancasila sebagai filsafat yang mengandung arti dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan yang berdasar pada nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah lima dasar yang digunakan sebagai cerminan kepribadian bangsa. Indonesia memiliki sebuah cerita romantisme soal sosok pemimpin yang memilih hidup seperti seorang asketis. Kasman Singodimedjo menjulukinya sebagai sosok “Leiden Is Lijden”. Sosok itu tak lain adalah Haji Agus Salim, sebagaimana diceritakan oleh Mohamad Roem dalam bukunya “Bunga Rampai Dari Sejarah”. Haji Agus Salim adalah seorang pemimpin, dan pejuang kemerdekaan yang hidupnya identik dengan penderitaan. Ia hidup bersahaja bersama keluarga kecilnya. Penderitaannya lebur dalam kepemimpinannya dan kepemimpinannya lebur dalam penderitaan. Kepemimpinan dan penderitaan tokoh yang juga jurnalis ini menyatu dalam “Leiden Is Lijden” bahwa memimpin adalah menderita. Oleh karenanya, pemimpin dan tokoh bangsa, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus bisa menjadi contoh atau anutan masyarakat dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila. Hal ini penting karena dari keteladanan pemimpinlah yang dapat menunjukkan bahwa mereka itulah pancasilais sejati, baru setelah itu rakyat akan mengikutinya, karena pada hakikatnya kepemimpinan adalah keteladanan. (*) Penulis adalah staf Bawaslu Kabupaten Jayapura, Papua Editor: Timoteus Marten

19 Desember: Sejarah aneksasi bangsa Papua Barat

papua-demo-tolak-New-York-Agreement

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Dominikus Sorabut Aneksasi dalam hukum bangsa-bangsa adalah meluaskan wilayah negara dengan cara kekerasan (terkadang dengan traktat). Biasanya dengan dalih: kekeluargaan bangsa serta hubungan kenegaraan atau kebudayaan. Jika pemerintah daerah yang dianeksasi itu ditiadakan dengan peperangan, maka aneksasi itu dinamakan dengan peperangan, maka aneksasi dinamankan debellitio (Lat.). Contoh debellitio: Korea oleh Jepang (1910), Albania oleh Italia (1939), Ceko oleh Jerman (1939). Jika daerah yang dianeksasi tidak mempunyai status (tak bertuan) dinamakan occupation (lat.). Contoh occupation: Montenegro oleh Serbia (PD.I), Indonesia oleh Jepang (1942-1945) (Ensiklopedi). Kebenaran tentang adanya aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua Barat dibagi dalam dua tahap, yaitu: Pertama, aneksasi dengan traktat (perjanjian); tahap kedua, aneksasi melalui kekerasan militer negara Republik Indonesia. Aneksasi dengan traktat/perjanjian Upaya aneksasi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat oleh pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah diawali dengan perdebatan dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 31 Mei 1945 mengalik pada soal wilayah dan bentuk negara Indonesia. Dalam sidang BPUPKI, pada bagian akhir pidatonya, si Bung (Ir. Soekarno) menegaskan, “Maka oleh karena itu, di dalam sidang ini saya akan memberikan suara saya kepada paham bahwa negara Indonesia harus meliputi pula Malaya dan Papua”. Dalam perdebatan tentang wilayah negara Indonesia ada perbedaan cara pandang atau perbedaan pendapat yang sangat tajam antara kubu Ir. Soekarno dan Dr. Mohammad Hatta dengan kawan-kawan. Soekarno menghendaki Malaka dan Papua juga masuk sebagai wilayah Indonesia atas alasan yang spekulatif dari sejarah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Sedangkan Muh. Hatta lebih suka Malaka merdeka sendiri. Dan gagasan tentang Papua, Hatta justru mengkhawatirkan tumbuhnya pikiran imperialisme di kalangan kolega-koleganya, sehingga menginginkan nasib bangsa Papua diserahkan kepada rakyat Papua sendiri. \ Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, pikiran imperialisme Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) dan kawan-kawan (kolega-koleganya) tidak dapat dibendung. Pemerintah Indonesia terus berupaya lewat diplomasi politik untuk memperluas wilayah negara sampai ke wilayah Nederlands-Nieuw-Guinea. Diplomasi memperluas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan traktat atau perjanjian dilakukan dalam beberapa kali pertemuan dan perundingan dengan pemerintah Belanda. Persetujuan-persetujuan antara Belanda dan Indonesia antara lain, Persetujuan Linggarjati (1947), Persetujuan Renville (1948), dan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 terjadi kompromi antara Belanda dan Indonesia. Dalam pasal 2 kompromi, charter of the Transfer of Sovereignty yang dihasilkan KMB menetapkan antara lain menyebutkan: “That the status quo of the residency of New Guinea shall be maintained with the stipulation that within a year from the date of transfer of Sovereignty of the Republic of the United States of Indonesia, the Question of the political status of New Guinea be determined through negotiation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands”. (Managasi Sihombing: Aspek Hukum Keberadaan irian Atau Papua Dalam Republik Indonesia dan Isu-Isu) Aneksasi dengan traktat atau perjanjian melalui pertemuan diplomasi dan perundingan-perundingan antara pemerintah Indonesia dan Belanda terus mengalami kegagalan. Terutama, perundingan yang bersifat kompromi dalam KMB (1949) yang gagal total karena tidak diimplementasikan oleh Belanda, telah direspons oleh Presiden Sukarno (Presiden pertama RI) melalui sebuah perintah yang dikenal dengan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961, di alun-alun utara kota Yogyakarta. Komando dengan nama sandi Mandala Trikora merupakan awal dari perintah agresi militer Indonesia (TNI) di atas tanah dan orang asli bangsa Papua Barat. Kompromi politik antara kedua negara kolonisator yang masing-masing berambisi menguasai wilayah dan bangsa Papua Barat terus berlanjut, setelah perebutan Papua dengan agresi militer pada awal 1962 oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 dibuat lagi suatu perjanjian, yang dikenal dengan nama New York Agreement (Perjanjian New York) antara pemerintah kerajaan Belanda dan Republik Indonesia di kota New York, Amerika Serikat. Perjanjian New York adalah salah satu persetujuan antara Belanda dan Indonesia yang sukses, setelah PBB dan Amerika Serikat terlibat secara langsung untuk pertama kalinya dalam persoalan status politik dan hukum bangsa Papua. Tetapi, bangsa Papua tidak dilibatkan dalam perjanjian New York itu. Sebagaimana juga telah terjadi dengan persetujuan-persetujuan sebelumnya. Dengan demikian terlihat jelas, bahwa PBB, Indonesia dan Belanda serta Amerika Serikat telah mengabaikan atau kasarnya telah meniadakan right of self-identification dan right of self-determination dari bangsa Papua Barat. Dalam Sidang Umum PBB 1961 orang asli bangsa Papua tidak berbicara untuk menentukan nasib masa depan mereka walaupun Nicholas Jouwe, Tanggahma, dan Womsiwor berada di Amerika Serikat saat itu. Perdebatan di PBB pada waktu itu mengecewakan. “Pada rapat luar biasa Dewan Papua November 1961, Jouwe, Tanggahman, dan Womsiwor tidak hadir. Trio ini persis waktu itu sudah berangkat ke Amerika sebagai ahli pada delegasi Belanda di PBB. Seperti kita ketahui, hal ini bukanlah keberhasilan. Luns dipaksa menarik kembali rencananya dan harus puas dengan resolusi Brazzaville, dimana bukan saja yang diungkapkan dukungan terhadap azas menentukan nasib sendiri, tetapi Belanda juga dianjurkan untuk sekali waktu bicara dengan Indonesia. Juga dalam arti lain kunjungan ini bagi Jouwe dan rekan-rekannya merupakan satu kekecewaan besar. Orang-orang Papua sama sekali hampir tidak dibutuhkan. Mereka merasa terguncang oleh iklim di Sidang Umum PBB, yang menurut penilaian mereka ditentukan oleh emosi-emosi dan perasaan-perasaan antikolonial. Lebih khusus lagi mereka dengan heran dan kaget bertanyakan diri, dari mana semua orang-orang itu mendapatkan hak untuk tanpa pengetahuan sedikit pun tentang urusan perkaranya berani memberikan penilaian terhadap Papua dan penduduknya. Satu-satunya hiburan mereka adalah wakil-wakil kelompok Brazzaville. Jouwe terutama terkesan oleh menteri luar negeri Nigeria Wachuku, yang berani melawan orang-orang Rusia, dengan menyatakan mendukung dekolonisasi yang perlahan-lahan dan satu persahabatan yang tetap antara kolonisator dan yang dijajah. Hal itu sesuai dengan isi hati Jouwe. Namun, harus dipertanyakan juga apakah Belanda akan mampu bertahan melawan tekanan internasional ini. Berita-berita tentang perkembangan di New York memperkuat pemikiran di antara orang-orang Papua, apabila harus, mereka mesti memikul sendiri tanggung jawabnya. Pemikiran untuk memproklamasikan kemerdekaan di hari-hari ini mulai turut berperan dalam diskusi-diskusi di antara orang-orang muda yang sadar politik di Hollandia dan tempat lain di luar negeri. Gemanya masuk juga sampai ke PBB. Pada pihak lain perkembangan-perkembangan baru di Papua dipandang dengan prihatin, yang mendorong Subandrio mengatakan dalam sidang umum bahwa negaranya tidak berpikir untuk bertindak sambil menggunakan senjata selama urusan ini tetap ada melulu antara Belanda dan Indonesia. Hal itu akan menjadi lain kalau Indonesia

Benny Wenda dan Joko Widodo, dalam perspektif spiritual Alkitab dan conflict resolution

papua-benny-wenda

Papua No. 1 News Portal | Jubi Ole: Pares L. Wenda Raja Firaun di Mesir memandang rendah nabi Musa, hingga 10 tulah harus dilakukan Tuhan kepada bangsa Mesir, hingga tulah terakhir bahwa setiap anak sulung bangsa Mesir; mulai dari anak sulung manusia hingga anak binatang mati. Dengan kata lain, Tuhan pada akhirnya menurunkan 10 tulah untuk melunakkan hati Firaun. Tuhan memerintahkan malaikat maut membunuh anak-anak sulung manusia hingga binatang milik kepunyaan bangsa Mesir. Tuhan menghancurkan masa depan bangsa Mesir dan mengguncang hati bangsa Mesir sampai ke titik terendah. Raja Firaun tak mampu berbuat apa-apa kecuali hanya punya satu pilihan, biarkan bangsa Israel itu pergi dari tanah perbudakan di Mesir untuk selamanya pulang ke tanah perjanjian–tanah Kanaan (promised land). Firaun dan segala kekuatan sebagai kerajaan adidaya pada masa itu, tidak mampu menghalangi kuasa Tuhan, yang paling dahsyat dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam peradaban bangsa Mesir, hingga pada masa Musa membuat 10 tulah menjadi kenyataan. Tuhan melalui Musa menawarkan resolusi konflik tanpa harus para pihak berkorban, tetapi semua tawaran Musa ditolak dengan segala argumentasi politik-ekonomi. Kemampuan sumber daya manusia bangsa Israel, sepertinya tidak ada tandingannya hingga semua itu dapat meyakinkan pendirian Raja Firaun menolak seluruh proses resolusi konflik dua arah dan Tuhan sebagai negosiator kedua belah pihak yang berkonflik. Tuhan sebagai negosiator di sini maksudnya Tuhan mendorong Musa untuk mengirimkan beberapa sinyal agar Firaun paham kuasa Tuhan, dan maksud Tuhan menyelamatkan bangsa Israel. Pada saat yang sama Tuhan mau agar Firaun percaya Tuhan dan menerima tawaran Tuhan melalui Musa. Tetapi Firaun tidak mengindahkannya, walaupun semua ini harus terjadi dalam rencana dan kehendak-Nya, tetapi bagian lain Tuhan memberikan kepada bangsa Israel hikmat dan akal budi, diberi kebebasan penuh untuk memilih ataupun memutuskan sesuatu. Di sinilah Firaun menolak Allah. Karena itulah di sini saya mengatakan Tuhan sebagai negosiator. Namun, Firaun memandang Musa sebagai sampah, tidak penting. Firaun justru meningkatkan kekerasan fisik dengan satu program dan kebijakan unggulan. Program pertama adalah mendirikan Kota Pitom dan Raamses dengan mendirikan berbagai piramida, yang sekarang kita lihat bukti sejarah peninggalannya. Kebijakan kedua adalah pembunuhan setiap anak bayi laki-laki Israel yang lahir, dan bila bayi perempuan dibiarkan hidup. Program ini tidak membiarkan bangsa Israel punah. Tuhan mendengarkan doa dan tangisan mereka, mereka terselamatkan dari bahaya genosida yang dirancang secara sistematis oleh negara melalui Raja Firaun. Penderitaan bangsa Israel pada waktu itu hanya diperhatikan oleh Tuhan melalui seruan doa, dan teriakan, tangisan pilu, minta tolong bangsa bangsa Israel karena kejamnya penindasan dan pembunuhan yang luar biasa. Penderitaan, perjuangan, dan pengorbanan bangsa Papua hari ini didengar oleh Tuhan, bahkan Tuhan menyaksikan langsung semua kekejaman yang terjadi di negeri ini. Teknologi informasi dan perkembangan media sosial yang pesat saat ini, telah memberi ruang kepada dunia secara langsung menyaksikan peristiwa kemanusiaan yang nyaris terjadi setiap hari di Papua, dipublikasi tanpa disensor pemerintah. Apakah posisi pemerintah Indonesia yang dinahkodai Jokowi akan seperti pemerintahan Raja Firaun? Ataukah sikap pemerintahannya akan lunak? Setidaknya ada beberapa kemungkinan yang akan membuat bangsa Indonesia terdesak untuk melepaskan Papua. Pertama, Tuhan mendatangkan musibah terbesar dalam sejarah Indonesia yang belum pernah terjadi sebelumnya? Kedua, Indonesia akan mengizinkan Papua bebas atas desakan masyarakat internasional melalui PBB, bisa tanpa referendum atau melalui referendum? Ketiga, atas desakan bangsa Indonesia setelah memahami betul sejarah proses integrasi dan penderitaan orang Papua yang belum selesai secara tuntas. Paling tidak suara permasalahan di Papua sudah dipublikasi melalui suatu riset mendalam dari LIPI, yaitu empat akar masalah Papua (Sejarah dan Status Politik Papua, Pelanggaran HAM, Marginalisasi Orang Asli Papua, dan Kegagalan Pembangunan). Jauh sebelum itu, Mohammad Hatta, salah seorang founding father negara Indonesia sudah menyatakan secara jelas saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) bahwa bangsa Papua berhak mendirikan negara, karena mereka berbeda ras dengan Indonesia saat itu, orang Papua adalah ras Melanesia. Anak-anak muda Indonesia hari ini seperti Surya Anta Ginting, Dandhy Laksono, dan sejumlah generasi muda Indonesia secara terbuka mendukung Papua membentuk negara sendiri. Benny Wenda, dkk. tidak bisa membuat mukjizat seperti Musa, tetapi kerja-kerja mereka hari ini membuat Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan energi dan dana yang tidak sedikit. Step by step Benny Wenda dan kawan-kawan, tua, dan muda, terus berjuang menunjukkan eksistensi dan konsistensi mereka dalam perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua. Benny Wenda, Cs. akan membuat mukjizat-mukjizat kecil tetapi Jakarta akan tetap pada dalilnya bahwa Papua sudah final di dalam NKRI melalui  Act of Free Choice pada tahun 1969, itu tidak masalah karena itu jalan Tuhan dalam konteks perspektif spiritual. Benny Wenda tidak akan dianggap seperti Jokowi atau setara dengan pemimpin nasional pemerintah Indonesia hari ini. Benny Wenda adalah seorang buronan Pemerintah Indonesia, bahkan kemampuan intelektualnya mungkin akan dianggap tidak sebanding dengan founding fathers dari Indonesia. Benny Wenda tidak sekelas dengan seorang Soekarno, Bung Hatta, dkk, dan kemungkinan akan dibanding-bandingkan seperti itu oleh Indonesia. Dalam semua perspektif Indonesia terhadap OAP (orang asli Padang) tetap dianggap terbelakang. Dalam perspektif seperti ini resolusi konflik yang ditawarkan oleh Benny Wenda, dkk. tidak akan didengar Jakarta, setidaknya sama seperti Musa dan Firaun. Dalam konsep spiritual ada dua hal yang dilupakan orang Kristen Indonesia dan tidak berhasil mengingatkan pemerintah Indonesia di tengah “gencarnya” agama Kristen mewartakan bahwa pemerintah adalah wakil Allah, dan karena itu harus taat kepada pemerintah sebagai wakil Allah. Apa yang dilupakan gereja-gereja di Indonesia? Spiritual concept yang saya maksudkan pertama adalah “apa yang dianggap dunia ini hina, sampah, tidak berguna dipilih Allah untuk mempermalukan mereka yang dianggap berhikmat, berbudaya, bermoral, dsb”. Dalam konteks ini Indonesia menganggap OAP tertinggal dan terbelakang, tetapi setidaknya tampilnya Benny Wenda, Cs. telah melampaui batas wilayah NKRI. Ia telah menembus negara adikuasa, negara maju dan negara-negara yang konsen terhadap isu-isu kemanusiaan universal kita di atas segalanya. Benny Wenda, dkk. mendapatkan simpati terbaik di seantero dunia. Spiritual concept yang kedua adalah, “mereka yang dianggap terbelakang, terbodoh, mereka akan menjadi terkemuka dan yang terkemuka akan menjadi yang terbelakang”. Orang Papua hari ini masih dianggap terbodoh dan terbelakang. Hal itu bisa kita lihat dari Human Development Index yang tidak pernah naik kelas dan tidak pernah turun kelas. Tetapi dalam spiritual concept, ketidakberdayaan mereka orang Papua ini, Tuhan mengatakan “jangan takut Aku ada”.

Dimana ‘Undang-Undang Hutan Konservasi’ Tambrauw?

papua-hutan

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fransiskus Xaverius Sie Syufi Kabupaten Tambrauw, Papua Barat merupakan kabupaten yang diwacanakan oleh pemerintah daerah sebagai kota (daerah) konservasi. Dilihat dari letak geografis luas wilayah 11.529,18 km2 (id.m.wikipedia.org) dengan hamparan hutan yang sangat luas dan masih perawan, sehingga lahirlah Perda (Peraturan Daerah) Kabupaten Tambrauw Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Kabupaten Konservasi. Tambrauw merupakan salah satu kabupaten pertama di Papua Barat yang memutuskan diri sebagai kabupaten konservasi, yang ada bersama di bawah naungan Provinsi Papua Barat yang memiliki Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) Nomor 10 tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Berkelanjutan, sebagai tindak lanjut komitmen mereka atas deklarasi menjadi provinsi konservasi lima tahun lalu (www.forestdigest.com). Berdasarkan perda di atas belum adanya suatu hasil kajian ilmiah yang menyosialisasikan poin-poin inti yang dihasilkan tim perumus hutan konservasi tersebut. Pemkab dan DPRD Tambrauw sebagai wakil rakyat harus dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat tentang hutan konservasi. Namun hingga kini belum ada kepastian hukum yang legal tentang hutan konservasi itu. Wacana hutan konservasi ini belum diakomodasi secara sempurna, sehingga hal ini menjadi kendala yang perlu disikapi secara serius dan tegas oleh pemangku kekuasaan (bupati, DPRD, dan Dishut) di Tambrauw. Yang menjadi kesan buruk pemerintah, baik eksekutif, maupun legislatif adalah terjadinya pembodohan publik dalam memberikan informasi mengenai kejelasan hukum yang dihasilkan untuk melindungi hutan konservasi. Alam Tambrauw masih alami dengan hamparan hutan tropis, sungai, flora dan fauna endemik dan sangat berbeda dengan sebagian besar wilayah hutan di Tanah Papua dan Indonesia. Fenomena alam Tambrauw sangat menjanjikan dengan sumber daya alam yang melimpah ruah, baik persebaran flora dan fauna, maupun hutan tropisnya. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik ini, harus mempunyai undang-undang yang mengatur tentang hak-hak masyarakat dan kepastian hukum untuk pemerintah, serta masyarakat yang menjaga, melindungi, dan melestarikan alam, agar kelak anak cucu dapat menikmati hasil alam, yang masih utuh dan mutu tanpa ancaman pengerusakan alam oleh tangan-tangan manusia yang serakah. Sebagai tindak lanjut dari adanya kawasan hutan konservasi, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat hanya melakukan aksi pelarangan berupa sasi adat di setiap kawasan hutan yang memiliki potensi sumber daya alam sasi-sasi ini seperti; pelarangan perburuan liar, perburuan dengan menggunakan senjata api (senapan angin/cs, senapan gas, dan senjata otomatis). Dari pelarangan ini, seperti yang dikatakan masyarakat Tambrauw, Milda Wabia, 22 November 2020, “yang saya tahu cuma ada beberapa daerah saja yang mereka lakukan pelarangan, entah (baik) laut, maupun hutan, untuk membatasi mata pencaharian orang setempat atau mereka (yang berasal) dari luar daerah.” Pernyataan ini menandakan bahwa Wabia turut prihatin dengan kebijakan Pemkab Tambrauw yang belum prorakyat secara utuh dan tuntas melakukan semua proses dari wacana hutan konservasi tersebut, untuk menjadi suatu perda dengan legalitas hukum yang tegas dan mengikat semua komponen masyarakat setempat, agar tetap melindungi kelestarian alam sekitarnya. Yang dapat dilihat dari beberapa distrik di Kabupaten Tambrauw tentang tanda-tanda larangan, baik yang dibuat oleh pemerintah, maupun masyarakat sekitar, misalnya, dua kampung di Distrik Miyah, yaitu, Kampung Affair dan Mouk, yang ditanamkan papan nama tentang daerah kawasan yang dilindungi agar tidak melakukan perburuan liar, baik oleh masyarakat setempat, maupun masyarakat luar. Selain itu ada Kampung Wefiani, Distrik Amberbaken, pemuda dan masyarakat membuat larangan untuk para nelayan di laut dan pemburu di darat. Seiring perkembangan dunia dan persaingan pasar ekonomi global yang semakin ketat, pemerintah perlu menangani masalah hutan konservasi ini dengan membuat perda yang mengacu pada sasaran kebutuhan hidup masyarakat daerah, demi melindungi hak hidup, baik hak milik, maupun hak pakai masyarakat dalam suatu tatanan kehidupan sosial, agar masyarakat tahu batasan-batasan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, untuk melakukan aktivitasnya. Kalau dalam hal ini pemerintah tidak cerdas (reflektif) menyikapinya, maka semua harapan masyarakat akan sirna, karena secara leluasa kapitalis besar akan masuk ke Tambrauw untuk melakukan investasi dan ini akan menjadi ancaman bagi hutan dan makhluk hidup di dalamnya. Pemkab Tambrauw dan Provinsi Papua Barat bisa belajar dari daerah lain, seperti perusahaan Korindo di Merauke dan PT Freeport Indonesia di Timika, yang dengan leluasa menebang habis hutan untuk menanam kelapa sawit dan menggali hasil tambang emas tanpa melihat kehidupan masyarakat atas hak ulayat, sehingga terjadi banyak ketimpangan dalam masyarakat melalui pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan) yang tidak memadai. Pemkab Tambrauw bisa belajar lebih bijak mengambil peran dalam pembangunan daerah melalui hutan konservasi, sebab hutan konservasi menghasilkan oksigen sekaligus pendapatan daerah yang besar. Hutan konservasi dapat dipahami secara tradisional sebagai tempat keramat atau pemali, yang mana telah dimuat dalam buku Meneropong Suku Mpur (Yafet Syufi, eds 2015). Secara tradisional sudah ada pemahaman mengenai hutan konservasi lokal, hanya saja tak ada legalitas hukum tertulis yang mampu melindungi sebagaimana mestinya. Kalau dibiarkan, maka pemerintah gagal dalam mewujudkan harapan dalam pembangunan jangka panjang bagi masyarakat dan anak cucu. Pemda dan legislatif belum maksimal dalam memberikan rasa aman dalam kepastian hukum yang mengatur dan mengikat. Pemerintah daerah sudah membentuk tim perumusan hutan konservasi yang diketuai Dr. Sepus Marten Fatem. Namun, sejak dibentuknya, tim ini belum menghasilkan suatu badan hukum. Entah tingkatan lobinya sudah sampai sejauh mana, supaya tidak memakan waktu yang lama dan memboros anggaran. Untuk itu, pemda bisa memikirkan Via media aurea set (jalan tengah adalah jalan emas) sebagai solusi, untuk memudahkan proses percepatan perumusan ini. Saya yakin masih banyak intelektual Negeri Penyu Belimbing, yang dapat mempertanggungjawabkan ini, hanya saja belum diberikan kesempatan oleh pemerintah. Proses perjuangan Kabupaten Tambrauw yang besar ini bisa berdiri dan hadir di tengah-tengah masyarakat, maka akan terasa aneh kalau tidak ada Undang-Undang (Perda) Hutan Konservasi. Ini menjadi catatan penting yang perlu ditinjau kembali oleh Pemkab dan DPRD Tambrauw, agar segera menindaklanjuti wacana hutan konservasi, supaya ada instrumen hukum yang legal. Percuma (DPRD) banyak mengeluarkan argumen tidak berisi dan pesannya kosong kalau tidak menghasilkan peraturan ini. Pemkab Tambrauw juga segera memfasilitasi DPR Papua Barat jalur otsus dan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, untuk mengevaluasi sekaligus melobi kepada pihak akademisi Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), agar bisa menjadi tim perumus undang-undang tersebut. Kalau ini dibiarkan, maka akan menjadi pekerjaan rumah untuk pemimpin selanjutnya, dan masyarakat akar rumput tetap menjadi korban. Pemerintah yang baik adalah pemeirntah yang mampu berkonsep dan mempertanggungjawabkan konsepnya hingga

Papua butuh persatuan yang menyeluruh

papua-perdamaian-dunia

Papua No. 1 News Portal | Jubi (Sebuah refleksi kemanusiaan di balik fenomena hidup) Oleh: Sebedeus G. Mote Arti persatuan dalam konteks judul ini adalah untuk orang-orang yang mungkin menyebut diri (kaum) spiritual tetapi tidak religius. Itu untuk mereka yang merasakan kedalaman keberadaan mereka sendiri dan merayakan kesadaran akan kekuatan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Ajaran tentang persatuan menyatukan kebijaksanaan kuno dengan interpretasi baru tentang apa artinya hidup dan manusia di Tanah Papua. Persatuan mengilhami manusia dengan berbagai cara untuk berpikir tentang kekuatan cinta dan kecerdasan, yang oleh banyak orang disebut “Tuhan”. Meskipun prinsip-prinsip penyembuhan dan kemakmuran yang diajarkan di masyarakat kini telah dijelaskan secara ilmiah, gagasan tersebut pasti tampak radikal ketika dikemukakan oleh Charles dan Myrtle Fillmore mulai tahun 1880-an. Sejak Tanah Papua “ada” seruan tentang pembebasan dan perdamaian pun dimulai supaya manusia Papua hidup dalam persatuan yang dilandasi dengan cara duduk bicara bersama. Namun, di antara masyarakat yang tinggal di Papua, yakni non-OAP (orang asli Papua) dan OAP masih saling mencurigai, misalnya, antara kelompok pro “Papua merdeka harga mati” dan “NKRI harga mati”. Letak keruntuhan hidup dalam persatuan persis terletak di situ. Jaringan Damai Papua (JDP) berusaha menyatukan semua kelompok supaya di Bumi Cenderawasih tercipta hidup yang bebas dan damai yang abadi, tetapi persatuan hidup antara pejuang perdamaian, masyarakat dengan masyarakat masih saja terjadi. Dengan demikian apakah hidup bebas dan damai itu terjadi? Kebiasaan hidup zaman leluhur setiap manusia belajar bagaimana berelasi, termasuk bagaimana menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam hidup orang Papua. Untuk melihat suatu gaya konflik cenderung manusia gunakan ketika mengalami hidup persatuan sebagai sesama meruntuh. Sekian banyak orang yang beranggapan lebih baik mengalah daripada ribut dan memecah-belah persatuan. Dengan demikian persatuan pun terpelihara dan diredam. Cara mengalah bukan berarti tidak mampu tetapi justru mereka yang memiliki pikiran dan akal sehat yang bisa mempersatukan semua orang. Harus mengorbankan tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan secara sepihak, supaya melalui itu tercipta persatuan yang menyeluruh, sehingga keinginan untuk Bumi Cenderawasih sebagai Tanah Damai itu benar-benar tercipta. Mengalah itu baik dan mengalah juga menjadi cara praktis yang harus ditempuh agar tidak terjadi konflik-konflik yang mengorbankan persatuan. Kalau itu terus dilakukan, dalam suatu proses dari hari ke hari mengalami relasi yang tidak sehat dan pihak lain menjadi korban di atas korban. Memang setiap orang mengungkapkan opini adalah hal yang wajar. Masalahnya bagaimana hasilnya? Maka dibangunlah relasi yang baik karena leluhur kita sedang marah. Untuk itu, menjaga persatuan demi Papua Tanah Damai amatlah penting. Dalam kehidupan di pulau paling timur Indonesia ada yang tidak mau terlibat dalam menyelesaikan konflik dengan mekanisme-mekanisme yang ada. Mereka selalu berpikir bahwa hal itu tidak nyaman atau hanya membuang-buang energi. Misalnya Si Matahari mau membicarakan masalah yang berkaitan dengan keluarga Si Bulan. Namun kerap kali Si Matahari sengaja menghindar dengan alasan ada urusan lain lalu pergi, atau mengatakan “mengapa hal yang memecah-belah persatuan harus ditinggikan?” Ada manusia Papua sekarang yang merasa super dan selalu ingin menang dalam setiap keputusan, baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan atau di dalam organisasi tertentu. Mereka akan berusaha dengan segala upaya dan mungkin meninggikan nada suaranya, bahkan dengan saling mengancam kalau perlu. Memang tidak mudah mempersatukan semua orang supaya menikmati tanah damai, tetapi percayalah bahwa dengan pertobatan setiap orang yang tinggal di Tanah Papua, Allah leluhur mempersiapkan kerajaan damai itu sendiri. Bangunlah dan sadarlah! Kita jangan lagi mengorbankan relasi yang sudah dibangun sejak Tanah Papua itu “ada”. Semoga tidak menyisakan luka pada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan. Janganlah menghidupkan kompromi yang berkepanjangan dalam mempersiapkan kebebasan dan damai itu, yang menyeluruh untuk manusia Papua. Seluruh perbedaan pendapat dan kepentingan hendaknya dipersatukan dan kita mau mengorbankan sebagian keinginan dan sebagian yang lain terpenuhi. Memang benar bahwa sikap kompromistis seakan dirasa bahwa tidak ada yang dikalahkan atau rasa harga diri kedua belah pihak tetap terjaga. Namun semua orang yang ada di Papua perlu menyadari apakah itu suatu ketidakpuasan secara terpendam dan sulit mendapat solusi? Semoga kembali terbangun sikap konsekuen dan konsisten dengan pikiran murni demi mempersatukan semua orang yang hidup di Papua menuju suatu hidup yang damai, bebas, alami, dan abadi. Saat ini persatuan antarmanusia yang hidup di Papua sudah baik, di tingkat konsolidasi pun mantap. Namun itu menjadi terkikis karena kita tidak konsisten dengan diri kita, saling menuding, tidak melepaskan ego, dan lain sebagainya. Maka untuk menghidupkannya perlu rekonsiliasi supaya mulai sadar dan menyambut “bintang kejora” yang diam dalam ruang mulia itu. Hemat penulis, untuk membangun persatuan yang menyeluruh di Tanah Papua, baik persatuan dengan diri, sesama, dan kepada Allah leluhur Papua, maka harus dilakukan dialog antarsemua organ yang ada, baik dalam negeri, maupun luar negeri, supaya kita tidak saling menuding atau menyalahkan satu sama lain, tetapi bersama-sama mencari solusi, untuk merehab kembali hidup persatuan sebagai satu rumpun bangsa Melanesia. Semoga pintu hati dan persatuan kita menyatu kembali demi pembebasan dan perdamaian untuk semua orang di tanah leluhur kita, Tanah Papua. (*) Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur, Abepura, Jayapura Editor: Timoteus Marten

Upaya mewujudkan dunia yang damai

papua-perdamaian-dunia

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Maryo Senap Kata damai digunakan dimana-mana atau sebagai bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Damai tersebut ialah kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, damai ialah tugas utama bagi setiap individu, keluarga, dan kelompok. Guna membangun dan menciptakan kedamaian itu mulai dari pribadi, keluarga, dan kelompok dengan tujuan membangun hubungan atau persaudaran yang harmonis, sehingga visi yang dibangun untuk hidup damai itu akan terwujud, maka rasa damai yang diciptakan itu dapat dinikmati dalam kehidupan sehari-hari. Damai merupakan hal yang paling penting dalam hidup manusia. Setiap orang berusaha mencari kedamaian dalam diri, keluarga, dan lingkungan hidupnya. Tidak ada kebahagiaan kalau tidak ada damai. Kedamaian seperti harta terbesar yang ingin dicapai. Damai sangat sulit untuk didapatkan. Berbicara tentang damai, banyak orang tidak berada dalam (situasi) damai. Kedamaian selalu dicari di dunia. Tetapi bukan kedamaian roh yang dicari. Kebanyakan, damai dicari hanya untuk keinginan semata. Orang ingin berdamai dengan keinginan daging. Keinginan daging sama artinya dengan kepuasan. Keinginan daging bersifat hanya sementara. Kedamaian itu tidak bertahan lama. Oleh sebab itu, kepuasan selalu dicari berulang-ulang. Untuk memenuhi keinginan daging, tidak cukup dengan hal positif. Di ujung tindakan perdamaian daging, pasti ada hal negatif, karena pemenuhan keinginan daging selalu melibatkan hal negatif. Mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk dunia sekarang ini tidak mudah. Saya sungguh merasakannya. Biasanya saya mencari ketenangan. Di situ, saya berharap bisa berdamai dengan diri sendiri dan situasi yang ada. Namun kenyataannya terbalik. Susah mendapatkan ketenangan di tengah kenyataan dunia ini. Karena ketenangan tidak ada, maka damai susah didapatkan. Apalagi, untuk mendapatkan kedamaian batin sangat sulit. Hidup damai dan saling mengasihi merupakan kerinduan semua manusia yang hidup di bumi ini. Dengan terciptanya kedamaian, maka kelangsungan hidup manusia pasti berjalan dengan baik. Kerinduan untuk hidup dalam damai terlihat jelas dari berbagai usaha manusia untuk menciptakan damai itu sendiri. Damai dan bahagia rupanya seperti bunga bersemi di ladang. Bunga bersemi tanpa ladang, rasanya percuma. Begitu juga damai tanpa bahagia, tetaplah percuma. Bak dua pasangan kekasih, yang hendak kawin tapi belum ada kesempatan. Kesempatan hilang diterjang badai Dengan demikian kita mengutamakan damai dalam kehidupan untuk mambangun damai itu dengan menghormati martabat manusia sebagai ciptaan Allah. Jika kita menghargai martabat manusia sebagai wajah keallahan, maka hidup damai itu, dengan sendirinya akan dialami, karena kata damai sering kita pahami bersama untuk senantiasa hidup aman, damai, dan sejatera tanpa perasaan takut, gugup, dan susah. Pada masa kini banyak negara mengalami penderitaan karena pandemi virus korona. Oleh karena itu, kata damai yang selalu diungkapkan oleh setiap orang itu seperti sebuah khayalan/impian/cita-cita. Pertanyaannya siapa yang akan menciptakan dunia ini jadi damai? Ya, mungkin saja para penguasa dunia, seperti pejabat-pejabat negara (presiden dan jajarannya) dan pejabat-pejabat keagamaan sebagai pembawa damai mampu hidup baik dengan negara sebagai sesama manusia, sehingga kita perlu bergumul, merenung, dan refleksi bersama sebagai umat Allah di dalam ibu bumi, karena kita sebagai satu rahim dalam ibu bumi. Menghargai martabat manusia, karena manusia adalah sejati demi merebut manusia yang sejati hanya satu jalan, yaitu dialog, yang digagas Dr. Neles Tebai, imam projo Keuskupan Jayapura. Melalui dialog itulah kita akan mendapat jawaban yang pasti untuk mencapai cita-cita umat Allah yang merindukan, menanti-nantikan dan meninginkan umat yang mau menjadi Papua Tanah Damai. Oleh karena itu, dialog itu sangat jelas bahwa kedua pihak yang bertikai berbicara demi menggantikan kekerasan dengan kedamaian karena dialog yang digagas Pater Neles dan rekan-rekan itu untuk menyiapkan tempat (instrumen), agar kedua pihak itu, berbicara dan berdamai, sehingga umat Allah di dunia dapat menikmati zona dan damai dalam kehidupan. Dengan hormat kepada para pejabat negara di seluruh dunia ini, mari kita tanamkan dialog sebagai nilai kehidupan kita besama untuk membuka hati, untuk mendukung perjuangan mewujudkan perjuangan dialog tersebut, demi menggantikan kekerasan antarnegara berkembang. Untuk mewujudkan Papua Tanah Damai dibutuhkan irama hidup bagi umat beriman. Hal ini menjadi kekuatan bersama untuk membangun ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian bagi kehidupan umat yang mendiami dunia ini membedakan satu dengan yang lain tidak harus dilihat sebagai pertentangan, apalagi permusuhan. Gereja hadir untuk mempersatukan umat dari perbedaan suku, agama, dan golongan orang kaya dan miskin. Oleh karena itu, dalam kehidupan umat beriman membutukan kerja sama, saling menghargai satu dengan yang lain, terlebih khusus pemimpin agama-agama, dalam negara-negara itu, untuk mewujudkan dunia sebagi tempat kita bersama, agar selalu damai untuk menghentikan kekerasaan yang selalu terjadi dalam kehidupan. Cita-cita dari para tokoh agama dalam negara-negara itu selalu mengajarkan yang baik untuk menciptakan damai dapat tercapai, sehingga para tokoh agama dengan berbagai cara guna berupaya mencari jalan demi menciptakan perdamaian bagi umat dalam negara lewat agama, karena agama ialah alat Allah (instrumen Allah). Melalui agama kita menciptakan perdamaian. Agama menjadi sarana mutlak dan perlu mewujudkan dunia menjadi damai inilah keuntungan bagi warga negara di dunia yang fana ini sebagai tempat realitas kehidupan kita bersama. Dewasa ini kita hidup dalam zaman globaliasasi yang penuh persaingan. Kita diharapkan mampu mempertahankan iman kita dengan melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan iman umat. Secara khusus kita terlibat secara aktif untuk membangun dan membela keadilan sosial dan perdamaian. Kita hendaknya mempunyai ketegasan dan keberanian untuk membela keadilan bila ada ketidakadilan, dan mempertahankan kebenaran bila ada penyesatan. Semuanya ini dapat tercapai jika kita memiliki komitmen yang teguh, yang dibangun atas dasar cinta Kristus, sebab dalam cinta Kristus-lah, kita diperdamaikan dengan Allah. Damai itu indah jika kita mengalaminya. Oleh karena itu, tugas utama kita (orang Katolik) sebagai calon imam, yaitu membawa damai bagi semua orang. Di mana kita berada, di situ kita membagikan damai, agar semua orang dapat merasakan kehadiran Kristus dalam kehidupan mereka. Saya selalu mencari kedamaian. Dimanakah kedamaian itu? Selama hidup ini belum pernah ada damai yang kekal datang kepada saya. Kesadaran akan kelemahan manusiawi selalu ada. Harus saya akui, bahwa saya adalah manusia lemah, tetapi tidakkah damai itu datang terus dan kenapa damai itu tidak selalu ada? Dalam perutusan ketujuh puluh murid, Yesus berkata, “dan di situ jikalau ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal di atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu akan kembali kepadamu” (Luk.10:6). Orang yang menerima salam itu berarti menjadi pengikut-Nya. Mengapa

Penanganan kasus HAM dan korupsi

papua-gerhamber-manokwari

Papua No. 1 News Portal | Jubi Uang hilang lebih penting dari pada manusia mati Oleh: John NR Gobai Pengantar Penyelesaian kasus korupsi jelas. Tata cara beracara juga jelas dan tegas dan sederhana, pengadilannya juga jelas. Kalau kasus HAM masih setengah hati dilaksanakan, terlihat jelas dalam tiga kasus HAM di Papua yang masih mengendap di Papua dan juga vonis-vonis kasus HAM yang terlalu rendah, yang tidak membawa keadilan bagi korban dan keluarga korban, serta regulasi yang lemah. Korupsi dan kasus HAM Ternyata uang yang hilang (korupsi) jauh lebih penting daripada manusia yang mati, padahal dua hal ini sama sama pentingnya. Harus ada undang-undang khusus Acara HAM agar pengaturannya jelas. Dia tidak mengikuti KUHAP seperti yang ada dan terjadi selama ini, sesuai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kewenangan yang sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dikhususkan untuk kasus-kasus yang ditetapkan kategori pelanggaran HAM berat sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Misalnya, Kasus Paniai 8 Desember 2014, Wasior Berdarah (2001), Wamena Berdarah (2003) di Papua dan kasus-kasus kategori pelanggaran HAM berat lainnya di Indonesia. Uang yang hilang, masih ada kemungkinan aset dari seseorang yang terduga korupsi disita untuk menggantikan uang yang diambil, misalnya, kasus korupsi Bank Century, kasus Hambalang, dan lain-lain aset-asetnya bisa disita, untuk negara sesuai jumlah yang mereka ambil. Analisa regulasi Kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus sama dengan kewenangan KPK bisa menangkap orang yang terduga pelanggar HAM. Perwakilan Komnas HAM RI di Papua harus diubah menjadi Komnasham Papua untuk itu Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 harus diamandemen, termasuk juga frasa “perwakilan” dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 harus dihapus dan menjadi Komnas HAM Papua. Mengingat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 yang mengatur bahwa dalam beracara menggunakan KUHAPidana. Ini yang harus diamandemen dengan sebuah pengaturan baru atau ada pengaturan khusus dengan kitab acara HAM sebagai dasar beracara bagi kasus HAM harapannya adalah kewenangan Komnas HAM Republik Indonesia mesti sama dengan KPK. Penutup Ke depan diharapkan agar penegakan hukum untuk Pelanggar HAM harus sama pola dan undang-undangnya dengan pelaku tindak pidana korupsi, jangan uang hilang jadi terlalu penting daripada manusia yang mati. Hal ini penting dalam rangka menjaga citra negara. (*) Penulis adalah Sekretaris II Dewan Adat Papua Editor: Timoteus Marten

Pilih karena kenal: Catatan penting menyambut Pilkada Serentak 2020

papua-ayo-memilih

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Felix Degei “Jika tak kenal maka tak sayang. Dikenal maka disayang adalah ungkapan yang dirasa sangat cocok untuk mengawali tulisan ini. Orang saling memberikan reaksi bahwa ia sayang terhadap sesama, tentu dengan berbagai cara. Salah satu cara yang lazim adalah dengan praktik memilih dan dipilih. Tentunya, aktivitas ini adalah hak asasi dari setiap orang, tanpa dipaksakan ataupun karena keterpaksaan. Sehingga tulisan ini mengulas idealnya pesta demokrasi yang menjunjung tinggi nilai Langsung Umum Bebas dan Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil)”. Dalam konteks menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Serentak pada 9 Desember 2020, tentu aktivitas mengenal dan memilih menjadi hal yang harus diputuskan oleh setiap pemilih terhadap setiap pasangan calon (paslon) untuk masa kepemimpinan 2020-2025. Sederetan calon yang pemilih harus kenal dan pilih adalah baik yang mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur (cagub dan cawagub), walikota dan wakil walikota, serta bupati dan wakil bupati (cabup dan cawabub) di seluruh Republik Indonesia. Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia 2020 ada sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020. Rencana pelaksanaan Pemilukada sudah semakin jelas setelah ada pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Jadwal dan Program, Surat Edaran KPU dan Bawaslu terkait pelaksanaan Pilkada di tengah Pandemik COVID-19. Sehingga sudah sekitar tiga bulan lamanya, secara resmi para paslon telah memperkenalkan diri dengan visi dan misi yang hendak mereka wujudkan jika terpilih sebagai kepala daerah selama lima tahun ke depan. Proses perkenalan mereka terhadap publik telah dilakukan dengan berbagai cara meski dalam situasi pandemi covid-19. Misalnya dengan cara memasangkan baliho, spanduk, pamphlet, dan berbagai atribut kampanye lainnya. Baik itu melalui media massa maupun pemajangan langsung di sepanjang pinggiran jalan raya. Bahkan penyampaikan visi dan misi para calon telah disampaikan dalam metode debat kandidat. Komisi Pemilihan Umum dari setiap daerah telah melaksanakan setidaknya dua kali debat kandidat. Setiap kali debat dipandu oleh para pembawa acara yang berpengalaman. Debat tersebut menjadi lebih istimewa karena setiap pertanyaan yang ditujukan pada para bakal calon disusun langsung oleh tim panelis. Tim panelis dalam debat pemilukada berasal dari berbagai kalangan seperti para praktisi pendidikan atau akademisi, politikus, ekonom, sosiolog, serta budayawan atau seniman. Tentu melihat, membaca serta mendengarkan pemaparan visi dan misinya sepintas orang bisa berkesimpulan bahwa mereka adalah para paslon yang pantas, sehingga layak dipilih sebagai kepala daerah selama lima tahun. Alasannya tentu karena dengan membaca, mendengarkan dan memahami setiap kata indah, bermakna yang dimuat pada aksesoris kampanye mereka. Kata-kata yang dimuat adalah menyangkut pangakuan terhadap diri pribadinya sendiri. Padahal, idealnya penilaian itu biasanya datang dari orang lain atas semua yang telah dilakukan oleh seseorang. Berikut ini beberapa contoh pengakuan diri yang lazim tersurat pada setiap atribut kampanye. Misalnya, ada yang mengaku dirinya peduli dan prorakyat. Ada yang mengaku dirinya pejuang keadilan. Ada yang mengaku dirinya beriman. Ada yang mengaku dirinya anti-KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Ada yang mengaku dirinya amanah. Ada yang mengaku dirinya pintar. Ada yang mengaku dirinya tegas, dan lain sebagainya. Tentu itu semuanya hanya bertujuan untuk mencari simpati dari warga. Selain pangakuan diri, di sana juga terlihat berbagai janji yang katanya mereka akan realisasikan jika kelak terpilih jadi kepala daerah selama lima tahun kedepan. Serentetan janji mereka itulah yang selanjutnya dipahami sebagai visi dan misi yang hendak mereka wujudkan. Oleh karena janji adalah utang, sebaiknya ada yang mencatatnya untuk menjadikan bahan protes saat setelah mereka terpilih. Apalagi kini dengan berbagai kemudahan dalam media teknologi dan internet, setiap orang dapat meliputnya. Meski hal demikian dipahami sebagai lagu lama yang hanya diputar kembali untuk mencari dukungan belaka. Khusus para wartawan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mesti menjalankan fungsi kontrol terhadap setiap program pemerintah: apakah pemerintah secara konsisten telah melaksanakan program pembangunan sesuai visi dan misi serta rencana strategi (renstra) dari pemerintah pusat atau belum)? Karena kedua elemen ini sesungguhnya berperan sebagai anjing penjaga (watch dog) atas setiap kebijakan pemerintah. Adapun beberapa contoh dari janji-janji yang lazim terlihat seperti, ada yang berjanji akan memperhatikan dan memperjuangkan nasib rakyat. Ada yang berjanji akan memberantas KKN. Ada yang berjanji akan memperjuangkan aspirasi rakyat kecil. Ada yang berjanji akan membangun bangsa dan negara tanpa ada diskriminasi. Dan, masih banyak lagi janji yang sesungguhnya menggugah hati warga supaya memilihnya. Kendati terlihat pengakuan diri mereka yang baik dengan janji-janji yang gemilang, masyarakat hendaknya bijak dalam pemilihan nanti. Kebijaksanaan dari warga harus ditunjukkan setelah merenungkan kembali pengalaman hidup. Sebagian besar dari paslon adalah para pemimpin dimasa sebelumnya (incumbent). Sebagian lagi pernah menjabat dengan berbagai jabatan lain. Sehingga kinerja mereka selama itulah harus dijadikan sebagai tolak ukur (barometer) dalam menentukan pilihan. Ingat pengalaman adalah guru yang baik (experience is the best teacher) bagi setiap orang. Sehingga, tentu setiap kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda dengan figur para calon kepala daerah yang saat ini sedang mencari sensasi. Jangan terbuai dengan badai pandemi Covid-19. Karena pilihanmu akan sangat berdampak pada roda pembanguan daerah selama lima tahun mendatang. Memilih petahana yang tidak memiliki jiwa membangun adalah sama halnya dengan jatuh tergelincir di tempat yang sama dimana kita perna jatuh sebelumnya. Ada dua pertanyaan yang harus direnungkan kembali sebelum setiap pemilih masuk di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pertama: Apakah memang benar para paslon ini, selama hidup mereka itu sesuai dengan pengakuan diri mereka pada setiap aksesoris kampanye mereka atau tidak? Kedua: Apakah janji-janji mereka yang nan-gemilang itu memang benar dan terlihat dalam keseharian hidup mereka sejauh ini atau belum? Kedua pertanyaan refleksi singkat di atas adalah hal yang sangat penting untuk menentukan nasib hidup Anda dan saya selama lima tahun ke depan. Ingat proses pemilihan kita di balik meja TPS hanyalah kurang lebih selama 1 menit. Tetapi jika kita salah memilih, maka hal penyesalan yang akan menaungi kita selama lima tahun kedepan. Resepnya hanya satu yakni: kita ikut memilih secara Langsung Umum Bebas dan Rahasia (Luber) dengan menjunjung tinggi nilai Jujur dan Adil (Jurdil). Untuk mengakhiri tulisan singkat ini, penulis hanya mau menekankan bahwa

Persatuan nasional bangsa Papua Barat

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Pius Tenouye Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahamat karunia-Nya, Selasa, 25 November 2020, menyelesaikan artikel ini yang judul “Persatuan Nasional Bangsa Papua Barat”. Adapun topik pembahasan dalam artikel ilmiah ini meliputi, gambaran umum tentang Papua dan bangsa Papua Barat, pengertian persatuan, pengertian nasional dan pengertian persatuan nasional bangsa Papua Barat. Gambaran umum tentang Papua dan Bangsa Papua Barat Papua merupakan salah satu provinsi terluas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sedang berjuang untuk mendapatkan nasib sendiri (self-determination) sebagai negara merdeka di tanahnya sendiri, Papua Barat, dari kolonialisme Indonesia. Secara geografis Papua Barat adalah benua (samudera) Pasifik. Namun kolonialisme Indonesia menyebut Papua Barat adalah bagian dari wilayah ASEAN, padahal Papua bukan wilayah ASEAN, melainkan bagian dari kepulauan Pasifik. Jutaan tahun lalu Australia, Papua Barat, dan Papua Nugini adalah satu pullau yaitu pulau Pasifik. Tapi, karena adanya revolusi zaman (time revolution) atau pemanasan global (global warming) terjadilah perpisahan antara pulau Papua dan Australia. Pada saat itu pula, karena adanya perpindahan antara pulau-pulau tersebut, beberapa hewan dari benua Australia lari (migrasi) ke Papua Barat, seperti kanguru, dan lain sebagainya. Beberapa tahun silam Papua adalah satu provinsi. Namun kepentingan politik ekonomi di atas tanah Papua mengakibatkan pada 2013, Papua dibagi ke dalam dua provinsi yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 km2 dan merupakan salah satu pulau terbesar di kawasan Pasifik yang telah dipaksa masuk ke dalam wilayah NKRI di bawah kepemimpinan pemerintahan Soekarno secara tidak sah, hanya merujuk pada kepentingan ekonomi di Papua Barat. Pepera 1969 adalah sejarah palsu dan catat hukum, karenanya pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu membanggakan diri dengan klaim, bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia yang sudah final melalui Pepera 1969, dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga otomatis masuk dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaan ialah (1) mengapa penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima Pepera 1969, tapi sebailknya secara konsisten melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Malanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? Jawaban dari tiga pertanyaan ini adalah perlawanan rakyat Papua yang menuntut rasa keadilan. Perlawanan ini beralasan karena dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia sudah terlihat dalam dokumen militer “Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor : TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2- 1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA (Irian Barat) tahun 1969 (Yoman: 2012, 152). Sedangkan bangsa Papua Barat adalah suatu bangsa yang ada di Papua, sebelah barat Papua Nugini. Bangsa Papua Barat adalah ras Malanesia. Beda jauh dari ras Melayu, Indonesia, India. Papua Barat mempunyai lebih dari 250 suku. Dari sekian suku mempunyai budaya yang berbeda dilihat dari segi bahasa, filsafat hidup, dan lain sebagainya. Bangsa West Papua merupakan satu bangsa yang terletak di bagian kepulauan Pasifik, tepat terletak pada di bagian timurnya adalah Papua Nugini (PNG). Melalui Soekarno selaku Presiden pertama Indonesia Papua diintegrasi ke dalam wilayah Indonesia secara tidak legal, hanya demi kepentingan politik ekonomi di atas bangsa Papua Barat itu sendiri, sehingga bangsa West Papua Barat pada saat ini berjuang untuk mendapatkan nasib sendiri (self-determination) sebagai negara merdeka, karenanya setiap bangsa di dunia mempunyai sebuah hak besar untuk memisahkan diri dari negara yang dijajah seperti Indonesia. Sesungguhnya, kemerdekaan Papua Barat telah terjadi sejak 1961 secara hukum internasional. Namun Indonesia tidak mau mengakui bahwa Papua sudah pernah merdeka, bahkan tidak mau meluruskan sejarah kemerdekan atas kemerdekaan bangsa Papua Barat, sehingga rakyat Papua Barat sampai detik ini sedang menuntut hak orang Papua Barat untuk mendapatkan nasib sendiri sebagai negara merdeka. Di samping itu, saya melihat bahwa pandangan Indonesia terhadap bangsa Papua Barat adalah orang Papua Barat seperti orang yang sedang berkasih-kasihan (lovebird). Seharusnya bangsa Melayu, Indonesia berterima kasih kepada bangsa Papua Barat karena kolonialisme Indonesia dan kapitalisme Amerika sedang dijamin oleh sumber daya alam Papua Barat itu sendiri. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci wajah-wajah orang Papua untuk memasukkan ke dalam wilayah Indonesia atau sedang berusaha untuk mengindonesiakan Papua ke dalam wilayah Indonesia, padahal bangsa Indonesia dan bangsa Papua adalah sangat jauh berbeda. Bangsa Indonesia (mayoritas) beretnis Melayu, sedangkan bangsa Papua beretnis Melanesia. Oleh karena itu, berikanlah ruang kebebasan bagi bangsa Papua Barat. Dengan kata lain berikanlah bangsa Papua Barat sebagai negara tersendiri. Selama ini penulis telah melihat bahwa pemerintah Indonesia melalui TNI/Polri memperlakukan orang Papua Barat secara tidak manusiawi—membunuh orang asli Papua seperti binatang liar. Banyak hal yang sedang Indonesia perlakukan kepada orang Papua secara tidak manusiawi sampai detik ini. Padahal, NKRI mempunyai banyak institusi yang menjadi pedoman hidup. Dunia tahu bahwa salah satu regulasi yang dimiliki oleh Indonesia adalah UUD 1945: “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.” Dengan dasar itu, bangsa Papua Barat ingin mendapatkan nasib sendiri dari sejarah perjuangan yang jelas, karena kemerdekaan suatu bangsa adalah hak bangsanya sendiri, seperti Indonesia merdeka sejak 1945. Penulis menyarankan kepada pemerintah Indonesia dan pemerintah kapitalis Amerika Serikat, beserta negara lain di dunia pentingnya membuka hati, pikiran untuk menyampaikan rasa berterima kasih kepada orang Papua Barat beserta sumber daya alam Papua, karena Papua sedang membangun kalian punya negara, bukan engkau sedang membangun orang-orang bangsa Papua Barat. Pemerintah Indonesia, dalam hal ini TNI/Polri yang sedang bertugas di Papua Barat, menerima banyak uang dari pemerintah Amerika Serikat (bank dunia) untuk mengamankan perusahaan asing di Papua Barat. Mereka meneror masyarakat lokal di Papua barat dengan menggunakan moncong senjata hanya karena kepentingan politik ekonomi. Presiden pertama Indonesia mengatakan bahwa tidak butuh orang Papua Barat, tetapi sumber daya alam. Dengan adanya statement seperti itu, maka jalan satu-satunya yang harus dimiliki oleh bangsa Papua barat adalah merdeka. Itulah solusi untuk mendapatkan hidup aman, damai, tentram untuk bangsa Papua ke depan.

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 3)

papua-anggot-mrp-bandara-wamena

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Pengadangan terhadap tim RDP dari Majelis Rakyat Papua (MRP) di Bandara Wamena 15 November 2020 oleh kelompok LMA dan BMP atau penangkapan terhadap tim RDP MRP di Merauke 18 November 2020, jelas-jelas telah merugikan keuangan negara, karena perjalanan mereka justru tidak membawa hasil yang maksimal (RDP gagal digelar). Yang menyebabkan kerugian keuangan negara adalah adanya aksi pengadangan oleh kelompok yang mengatasnnamakan diri BMP dan aparat kepolisian yang merupakan penegak hukum. Padahal aparat negara sesuai namanya saja sebagai penegak hukum. Aparat negara sesuai tupoksinya wajib melaksanakan tugasnya untuk mengamankan amanat UU, yang merupakan juga perintah negara. Namun tindakan aparat penegak hukum itu justru keluar dari tupoksinya hingga menyebabkan kerugian pada keuangan negara. Kehadiran MRP di Wamena dan Merauke guna menjalankan agenda negara, amanat undang-undang. MRP adalah pejabat negara di daerah, sehingga dalam situasi seperti itu, polisi berkewajiban untuk segera mengamankan pejabat negara yang melaksanakan tugas negara. Namun, aparat keamanan justru terkesan memfasilitasi para pendemo seperti di Wamena dan Merauke. Di Merauke justru kapolres memimpin pembubaran, penangkapan, pengeledahan, hingga penahanan anggota MRP maupun tim MRP lainnya. Parahnya lagi adalah penggeledahan, penangkapan, hingga polisi memborgol anggota MRP dan tim MRP di Merauke sebelum melaksanakan kegiatan, masih di penginapan/hotel, hingga peserta RDP ditangkap dan ditahan di Polres Merauke. Ini sudah tentu melanggar hukum. Di satu satu sisi perjalanan MRP ke Wamena atau Merauke dalam rangka RDP menggunakan anggaran negara, tetapi kegiatan RDP tidak dilaksanakan karena diadang oknum-oknum yang tidak bertangung jawab itu. Dengan peristiwa itu, MRP tentu mengalami kerugian pada anggaran negara. Pertanyaannya, siapa yang akan bertangung jawab atas kerugian tersebut, apalagi penggunaan anggaran negara itu tanpa hasil? Persoalannya biaya transportasi pergi-pulang dari Jayapura ke Wamena dan Merauke sudah pasti menggunakan anggaran negara, sebab perjalanan mereka merupakan perjalanan dinas yang dijamin undang-undang. Dalam kasus pengadangan di Wamena, pihak-pihak yang harus bertangung jawab atas kerugian keuangan negara itu adalah kelompok pengadang (LMA, BMP, Polres Jayawijaya, Kodim 1702/Jayawijaya, dan Pemkab Jayawijaya), sedangkan pihak yang harus bertangung jawab terhadap kerugian anggaran negara di Merauke adalah Polres Merauke, Bupati Merauke, dan masyarakat binaan yang menolak RDP. Pihak-pihak di atas harus bertanggung jawab karena TNI/Polri sudah berada di tempat kejadian saat terjadi pengadangan di Wamena, tetapi mereka tidak mengambil tindakan pengamanan. Di Merauke justru aparat keamananlah yang melakukan tindakan premanisme. Pemkab Jayawijaya dan Merauke tidak respek terhadap tim RDP dari MRP. Ini membuktikan bahwa pemerintah daerah seenaknya menggunakan anggaran otsus tapi tidak mau mengevaluasi anggaran yang telah digunakan. Lalu dari sisi tupoksi sebagai aparat keamanan, polisi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang diadang adalah pejabat negara di daerah yang melakukan perjalanan dinas sesuai perintah undang-undang. Oleh karena itu, demi efektivitas pengelolaan keuangan negara, pihak-pihak yang menolak RDP harus ditindak tegas. Hukum harus berdiri tegak, sebab MRP sedang menjalankan amanat undang-undang NKRI. Aparat negara wajib menjamin keamanan pelaksanaan RDP Pengadangan MRP di Wamena dan Merauke membuktikan kinerja aparat negara di Papua semakin buruk. Penangkapan di Merauke yang dilakukan kepolisian, apalagi kapolres tanpa membuktikan pelanggaran hukum—hanya karena menduga-duga, adalah sebuah kelalaian dan tentu melawan perintah undang-undang. Apa yang hendak dilakukan MRP dengan RDP bukan perintah pribadi dan demi keuntungan pribadi setiap anggota MRP, tetapi untuk kepentingan negara sesuai amanat undang-undang. Kehadiran mereka di daerah-daerah dengan membuka ruang RDP menyasar orang asli Papua. Pelaksanaannya juga dibatasi jumlah pesertanya. Sebenarnya tidak ada aturan untuk membatasi jumlah peserta yang harus hadir dalam RDP. Undang-Undang Otsus dan PP No.54/2004 yang kemudian diubah PP No.64/2008 tentang MRP juga tidak mengatur tentang batasan peserta RDP. Oleh sebab itu, jaminan keamanan dalam pelaksanaan RDP harus menjadi tanggung jawab aparat keamanan. Aparat wajib memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan pendapatnya dalam ruang yang difasilitasi MRP, bukan malah mempolitisir lalu melakukan tindakan sewenang-wenang. Pengadangan oleh kelompok LMA dan BMP di Bandara Wamena adalah kelalaian besar TNI/Polri di Jayawijaya. Di Merauke aparat keamanan justru melakukan tindakan represif, tidak melaksanakan tupoksi secara profesional, padahal MRP hadir di sana dalam rangka melaksanakan perintah UU. Saat pendemo dari kelompok BMP dan LMA mengadang MRP di Bandara Wamena, aparat keamanan justru ada di sana. MRP terpaksa harus kembali ke Jayapura, padahal ada aparat keamanan yang mestinya mengamankan pejabat negara di daerah yang melaksanakan tugas negara, sebagaimana perintah undang-undang. Namun di Merauke Kapolres malah melakukan tindakan tidak terpuji hingga anggota MRP diborgol secara sewenang-wenang. Ini jelas-jelas telah melangar ketentuan peraturan perundang-undangan. Di satu sisi pengadangan di Wamena terjadi pada hari minggu—hari beribadah umat kristiani, lalu tidak jelas apakah ada izin demontrasi atau tidak, bahkan pendemo tidak menjaga protokol kesehatan. Mereka berkumpul untuk melaksanakan aksinya tanpa menggunakan masker. Hal lain adalah pendemo melakukan aksi pengadangan di areal objek vital, bandara, padahal itu jelas-jelas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang diadang adalah aparat negara yang sedang melaksanakan tugas kenegaraan. Aparat keamanan yang sudah berada di kawasan Bandara Wamena tidak mengamankan area objek vital (bandara) dan tidak mengamankan pejabat negara (MRP) yang melaksanakan tugas. Oleh sebab itu, pembiaran terhadap aksi-aksi demontrasi seperti pengadangan, penangkapan, dan pemborgolan terhadap MRP, merupakan kelalaian aparat negara di Papua, yang sesuai tupoksi mestinya menjaga ketertiban umum atau menjamin keamanan dalam pelakanaan RDP. Maklumat Kapolda Papua mencederai UUD 1945 Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan amanat konstitusi NKRI, yang terangkum dengan sempurna dalam pasal 28 UUD 1945. Lalu secara spesifik diatur pula pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan diatur dalam DUHAM. Oleh sebab itu, maklumat Kapolda Papua tentang pembatasan ruang berpendapat dengan dalih menghindari penyebaran klaster baru Covid-19 di Papua, telah mencederai konstitusi (UUD 1945) atau peraturan perundang-undangan lainnya. Yang jadi soal adalah dalam perisitiwa penangkapan, pengeledahan, serta penahanan hingga pemborgolan anggota MRP –pejabat negara di Merauke, merupakan tindakan sewenang-wenang yang berlebihan oleh Kapolres Merauke. Padahal kegiatan RDP belum dilaksanakan, belum juga ditemukan adanya peserta yang berlebihan dalam ruangan RDP yang dapat berbahaya pada penyebaran pandemi covid-19. Kapolres Merauke hanya menduga-duga dan tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran hukum dalam pelaksanaan RDP yang baru direncanakan itu. Kapolres Merauke juga boleh dikatakan sudah berlebihan dalam tindakannya, sebab isi maklumat kapolda hanya memperingatkan dan membatasi

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 2)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Apapun ideologi orang Papua, RDP adalah ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam RDP mereka dapat mengevaluasi otsus dengan melibatkan seutuhnya rakyat Papua. Oleh sebab itu, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemerintah mestinya memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat/pikiran, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP. Apalagi kebebasan menyampaikan pendapat dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat dimaksud adalah pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Atau Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Lalu Pasal 9 DUHAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.” Oleh sebab itu, jika kemudian pemerintah dengan berbagai alasan yang tidak logis kemudian membatasi rakyat Papua, untuk menyampaikan pandangan/pikiran/pendapat tentang berhasil atau tidaknya UU Otsus Papua, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP, adalah murni pelanggaran atas konstitusi NKRI. Tangung jawab bupati/wali kota memfasilitasi rakyat berpendapat, bukan politisir RDP Jika beberapa bupati dan wali kota di wilayah Tabi dan Saireri mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus pada Agustus 2020 di Jayapura atau adanya penolakan pelaksanaan RDP oleh para bupati/wali kota, maka itu adalah sebuah kekeliruan besar, sebab revisi atau evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus mutlak kewenangan MRP sesuai pasal 77 dan 78 UU Otsus. Apalagi soal perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat misalnya. Dalam pelaksanaan UU Otsus secara jelas pula diatur dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP.No.64/2008 tentang MRP dimana pada pasal 36 huruf (e), MRP memiliki wewenang “memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD, bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua”. Jika para bupati dan wali kota di wilayah adat Tabi dan Saireri mendahului evaluasi UU Otsus, maka pertanyaannya, evaluasi itu atas dasar persetujuan atau pertimbangan siapa? Usulan revisi atau evaluasi otsus dalam UU Otsus mutlak ranah MRP. Jika evaluasi otsus oleh para bupati/wali kota di dua wilayah adat tersebut dianggap final, apakah telah mengakomodasi suara semua komponen rakyat Papua di wilayah adat Tabi dan Saireri? Berapa banyak OAP yang terlibat dan menyatakan bahwa otsus berhasil dan harus dilanjutkan atau berapa banyak OAP di dua wilayah adat itu yang menyatakan otsus gagal dan menolak kelanjutannya? Dalam evaluasi yang keterlibatannya terkesan hanya kelompok elite itu, menyebabkan tidak jelas sikap OAP di dua wilayah adat tersebut. Ini tentu karena tidak adanya niat para bupati/wali kota di dua wilayah adat itu untuk melibatkan OAP dari berbagai komponen, yang seharusnya menjadi subjek dari evaluasi otsus. Hasil evaluasi dan rekomendasi para bupati/wali kota wilayah adat Tabi dan Saireri itu justru terkesan hanya versi para elite, para bupati dan wali kota. Dengan demikian, pola-pola ini mencederai kebebasan rakyat berpendapat. Pengambilalihan kewenangan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa pelaksanaan otsus selama hampir 20 tahun tidak berjalan maksimal, dalam hal kepentingan OAP. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman atas isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP. Sikap para bupati atau wali kota di dua wilayah adat yang menolak RDP ini, juga membuktikan bahwa pemerintah gagal menyiapkan SDM orang Papua, sehingga OAP di lima wilayah adat ini terkesan terbelah, dan karena itu dianggap tidak penting untuk dilibatkan dalam mengemukakan pendapat pada evaluasi otsus. Para bupati/wali kota yang terus mempolitisir RDP menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini karena seorang kepala daerah yang tidak paham tentang isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP ataukah karena memang gagal mengelola 80% alokasi triliunan anggaran otsus yang selama ini diterima oleh kabupaten/kota? Ataukah karena mereka dapat ditekan oleh pemerintah pusat? Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bisa jadi alasannya walaupun kita tidak dapat membuktikannya. Jika karena alasan-alasan seperti dalam pertanyaan di atas, maka ini adalah kekeliruan besar. Ini juga dapat disebut bahwa para bupati/wali kota sebagai dalang utama pembungkam ruang demokrasi rakyat Papua. Ini juga adalah kegagalan pemerintah mendidik OAP tentang kebebasan rakyat untuk berpendapat. Itu merupakan perlawanan seorang kepala daerah terhadap perintah undang-undang negara, sebab RDP adalah amanat UU negara. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota mestinya paham baik amanat UU Otsus itu sendiri, sehingga tidak salah tafsir di kalangan masyarakat. Kelalaian pemerintah kabupaten yang tidak pernah transparan soal anggaran otsus maupun regulasinya dalam pengelolaan keuangan otsus, tentu saja dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat—subjek utama kehadiran otsus. Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan para kepala daerah di kabupaten/kota mestinya terbuka/transparan, sedetail mungkin, sehingga masyarakat penerima manfaat juga puas, apa yang berhasil dan tidak selama hampir 20 tahun otsus di Papua. Usulan atau pikiran masyarakat tentang penting atau tidaknya keberlanjutan otsus di Tanah Papua memang harus benar-benar datang dari nurani rakyat sebagai penerima manfaat, bukan mengumpulkan elite di daerah lalu menyimpulkannya secara tergesa-gesa. Dalam hal evaluasi otsus di 7 wilayah adat di Tanah Papua, pemerintah kabupaten/kota mesti memfasilitasi rakyat secara menyeluruh, terbuka/transparan, dan mengakomodasi berbagai pihak, baik pro NKRI, maupun Papua merdeka, sehingga evaluasinya benar-benar tuntas, sebab RDP yang didorong MRP adalah ruang rakyat untuk berpendapat. Kepala daerah mesti berperan aktif dalam hal ini, bukan mengeluarkan pernyataan kontra produktif, apalagi mendahului kewenangan MRP. Jika ada kepala-kepala daerah yang mendahului evaluasi MRP, maka timbul pertanyaan, apakah karena pemerintah daerah takut disoroti rakyat karena pengelolaan keuangan otsus yang tidak tepat sasaran? Ini harus jelas. Apalagi anggaran RDP tidak dibebankan kepada APBD kabupaten. Semua akomodasi RDP justru dibiayai oleh APBD provinsi melalui MRP. Para kepala daerah seperti menghindari aspirasi masyarakat, padahal kepala daerah di kabupaten/kota merupakan pilihan rakyat yang juga pengelola 80% dana otsus selama ini. Jika selama ini yang dikerjakan para bupati dan wali kota benar-benar demi kepentingan rakyat Papua, maka pemerintah daerah harus membuka diri, buka ruang bersama MRP, lalu menyediakan waktu kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan keluh kesa rakyat akar rumput, sehingga semua pikiran rakyat benar-benar terakomodasi, untuk kemudian menjadi indikator dalam pengambilan kebijakan ke depannya dalam membangun tanah dan manusia Papua.

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 1)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Pro-kontra antara pemerintah dengan orang Papua terhadap sejarah status politik Papua dalam Indonesia, hingga kini menjadi akar beribu problem tanpa jalan penyelesaian. Beragam kebijakan tanpa melibatkan orang asli Papua (OAP) yang jelas-jelas membahas tentang tanah dan manusia Papua itu seperti semakin subur. Mulai dari Perjanjian New York 1962 yang dibicarakan antara Belanda dan Indonesia difasilitasi oleh Amerika Serikat di bawah kontrol PBB, yang intinya membuat sebuah perjanjian tentang status politik Papua – awal OAP jadi objek, lalu diikuti dengan aneksasi Papua ke dalam NKRI pada 1963. Menurut pemerintah Indonesia peristiwa itu terjadi karena adanya niat penggabungan ke dalam NKRI, tetapi OAP menyebutnya sebagai pemaksaan kehendak (aneksasi). Kemudian MoU tentang PT Freeport Indonesia yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 1967 sebelum Pepera 1969, juga tidak melibatkan OAP (orang Papua tetap menjadi objek) yang punya hak kesulungan atas tanah dan areal operasi pertambangan milik perusahaan raksasa Amerika itu, walaupun keduanya paham bahwa status politik Papua belum tuntas saat itu. Gagasan pentingnya Pepera 1969 juga bukan atas kesepakatan bersama antara OAP dengan pemerintah Indonesia, melainkan gagasan tentang perlunya Pepera, tata cara pelaksanaan Pepera, kesemua tentang Pepera disiapkan secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan UNTEA/PBB tanpa melibatkan OAP. Dalam proses itu OAP tetap menjadi objek. Buktinya adalah pelaksanaan Pepera 1969 penuh intimidatif, hasilnya tidak demokratis. Namun PBB masih mengakui hasil Pepera yang inkonstitusional menurut hukum internasional itu. Di era reformasi, pola-pola itu masih diterapkan lagi oleh pemerintah Indonesia. Lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua juga tetap sama. OAP tetap jadi objek. Naskah UU Otsus sendiri dibahas di Jayapura. Walaupun begitu, dalam pembahasan rancangan UU Otsus itu, pemerintah tetap saja tidak melibatkan rakyat Papua dan aspirasinya. Tidak ada satu pun aspirasi OAP yang dapat diakomodasi dari 79 pasal dalam UU Otsus, hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan. Dengan demikian, di era pascareformasi, apalagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kini waktunya membuka ruang sebesar-besarnya kepada OAP untuk memberikan pandangan/pikiran tentang berhasil atau tidaknya otsus selama 20 tahun di Papua, lalu berikan juga ruang kepada rakyat, apa yang sebenarnya rakyat Papua inginkan. Ini seharusnya terbuka/transparan dalam negara demokrasi seperti ini. Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan ruang yang tepat untuk berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama OAP dan pihak pendukung “Papua merdeka harga mati” dengan “NKRI harga mati”. Kedua kelompok adalah OAP yang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat dan RDP-lah ruangnya. Oleh sebab itu, para bupati atau wali kota dan TNI/Polri mesti bertangung jawab dan memastikan dengan benar, bahwa OAP, apapun ideologinya, harus terlibat penuh dalam evaluasi otsus melalui RDP. Jika pemerintah—para bupati atau wali kota, apalagi aparat penegak hukum atas nama Maklumat Kapolda Papua harus menghalangi RDP, maka kesannya adalah OAP terus menjadi objek, padahal dengan kehadiran otsus, OAP justru harus menjadi subjek. Jika pemerintah hanya mengutamakan sikap satu kelompok saja, misalnya, Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau apapun namanya yang mendukung otsus, apakah itu akan dijamin keabsahannya? Atau apakah hanya dengan satu kelompok, apalagi hanya beberapa orang itu, disebut telah mewakili jutaan OAP? Apakah pola-pola lama itu dianggap masih relevan di era pascareformasi ini? Apakah dengan pola itu kemudian beribu problem di tanah ini dijamin akan selesai? Ataukah dengan pola itu juga niat rakyat Papua untuk merdeka akan redup? Kita mesti berpikir logis dalam menjawab beribu problem di tanah ini. Sekarang tidak relevan lagi jika harus memaksakan pola-pola lama. Itu sangat memalukan, justru menentang dan mencederai nilai-nilai HAM sebagaimana dirangkum secara sempurna dalam konstitusi NKRI, yakni pasal 28 UUD 1945 atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights). RDP yang didorong MRP mestinya dilihat sebagai sebuah ruang rakyat untuk berpendapat secara demokratis, yang sama halnya dengan asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas dan asas manfaat sebagaimana juga diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apalagi kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin penuh UUD 1945. Oleh sebab itu, pemerintah dan aparat keamanan di dua provinsi di Tanah Papua mesti berperan aktif, bertangung jawab dan melibatkan berbagai pihak yang belakangan pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua, untuk berpendapat secara demokratis dalam forum RDP yang difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Para kelompok penentang RDP juga harus diberi pemahaman tentang hak rakyat mengemukakan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin konstitusi Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tangung jawab untuk mendidik rakyat pada jalan yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, sebab apa yang dijalankan oleh MRP itu sesuai amanat undang-undang NKRI. RDP adalah amanat konstitusi Indonesia RDP yang kini menjadi perdebatan berbagai pihak di Papua mestinya tidak menjadi sebuah problem. Ini sebenarnya bukan hal yang harus diperdebatkan, sebab yang dilakukan MRP sesuai pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Papua, yang berbunyi “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat di provinsi paling timur Indonesia ini melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pelaksanaan RDP juga merupakan kewenangan yang melekat pada MRP sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasal 51 dalam PP No. 54 secara sempurna telah mengatur tentang rapat-rapat yang wajib dilakukan MRP, di antaranya, rapat pleno, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat kelompok kerja, dan rapat gabungan kelompok kerja. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sedang didorong oleh MRP merupakan rapat yang menjadi wewenang lembaga kultural OAP ini, sebagaimana diamanatkan pada pasal 52 ayat (3) PP No.54 Tahun 2004, “Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP”. Dengan demikian penolakan terhadap RDP merupakan sebuah kekeliruan besar. Pernyataan-pernyataan tolak RDP oleh berbagai pihak menentang atau melanggar amanat UU Otsus Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008. Tidak ada dasar hukum bagi kelompok Barisan Merah Putih (BMP) atau para bupati/wali kota untuk menolak RDP.

Derita dan penjarah (bagian II): Kriminalisasi digunakan untuk membungkam rakyat Papua

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Johan Djamanmona Dalam catatannya Asmara Nababan (1999) mengatakan bahwa ketika rasa takut berkurang atau menghilang, maka yang muncul ke permukaan adalah rasa benci dan dendam, serta hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Sebenarnya bahkan semua warga tanpa disadari selama puluhan tahun hak asasinya tidak dihormati. Hak-hak yang dilanggar menyangkut hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Keadaan demikian itu telah menimbulkan keragu-raguan apakah benar seseorang itu punya hak asasi, bahkan orang tidak tahu bahwa ia mempunyai hak asasi yang tidak dapat dikurangi atau dihapuskan. Tujuan pengesahan konvensi internasional hingga pembuatan undang-undang yang bertujuan untuk perlindungan terhadap HAM secara retorik menunjukkan niat yang baik dari pemerintah tetapi bersifat paradoks dengan kenyataannya. Niat dari perlindungan tersebut tidak terlaksana—pelanggaran terhadap HAM terus terjadi, bagai aliran sungai yang terus mengalir tanpa perubahan kondisi. Pelanggaran tanpa penyelesaian terus dilakukan oleh pemerintah lewat aparat sipil dan militer seperti bagian berikut: Jeritan derita dari Amungsa Dalam buku Perjuangan suku Amungme juga menyatakan bahwa hingga 1999 suku Amungme dan Kamoro telah kehilangan lahan seluas 2,6 juta hektare untuk wilayah eksplorasi perusahaan asal Amerika Serikat, yang adalah gabungan dari beberapa anak perusahaan. Juga disebutkan dalam buku yang sama bahwa aneksasi yang paling parah terjadi ketika berpindah tangannya satu juta hektare lahan untuk para pendatang yang didatangkan dari luar Papua lewat program transmigrasi. Kini suku Amungme hanya tinggal meratapi gunung suci Ngga Pulu (puncak Cartenz) yang dijaga nenek moyang mereka, yang ditelanjangi dan dibongkar demi investasi yang dilakukan dengan dasar UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Eksplorasi yang dlakukan oleh PT Freeport kalau dilihat sebenarnya ilegal, karena saat penetapan eksplorasi di Jakarta tidak ada perwakilan suku Amungme yang dihadirkan dalam perundingan antara pemerintah dan pihak Freeport. Selain itu, penentuan pendapat rakyat (Pepera) yang menjadi dasar bahwa orang Papua secara sah diakui sebagai bagian dari NKRI baru dilakukan pada 1969. Sebelumnya wilayah Papua memiliki status quo (tidak berpemerintahan). Namun pada 1967 sudah dibuat KK (kontrak karya) oleh rezim Orde Baru yang dibantu Amerika untuk mengkudeta presiden pertama Indonesia dan kebijakan KK itu paten berlaku hingga kini. Rakyat Nduga yang mengungsi Pada 2016 Presiden Jokowi mengunjungi Kabupaten Nduga. Dua tahun kemudian terjadi tragedi. Sejak 2018 hingga 2020 rakyat sipil mengungsi. Hal tersebut terjadi karena diduga ada rencana investasi dengan dalih demi kepentingan pembangunan. Sudah ada korban jiwa dari peristiwa ini. Bahkan di antara korban jiwa ada juga anak-anak. Rakyat sipil di Nduga harus mengungsi meninggalkan kampung-kampung mereka akibat merasa tidak aman di wilayah mereka sendiri akibat kehadiran aparat militer, yang bukan hadir sebagai pemberi rasa amanm, tetapi menjadi momok bagi keamanan warga sipil yang merasa tertekan secara psikis. Wakil Bupati Nduga yang menyatakan pengunduran diri dengan menggunakan pengeras suara di depan rakyatnya, karena sopirnya yang mati tertembak tidak diperhatikan oleh negara sebagai persoalan yang sudah seharusnya diperhatikan. Penembakan terhadap aparat militer dan pekerja non-Papua adalah akibat dari penolakan yang dilakukan oleh para tentara OPM yang memang tidak ingin sumber daya alam di Tanah Papua diambil hanya untuk investasi, sedangkan rakyat Papua menderita di atas tanahnya sendiri. Jadi, pemerintah yang harus lebih sadar dalam menanggapi persoalan Papua, bukan menjadi konservatif dengan membangun isu bahwa apa yang terjadi adalah ulah kelompok separatis ataupun GPK, sehingga tentara OPM dan TPNPB yang mayoritasnya orang Papua disalahkan. Marga Kami’ menolak lalu ditangkap Pemerintah selalu seenaknya saja mencaplok hak ulayat dari masyarakat adat untuk dijadikan lahan investasi, padahal mereka tahu bahwa masyarakat Papua adalah satuan masyarakat hukum adat yang secara sah sebagaimana dalam UU 1945 pasal 18B menyatakan, bahwa pemerintah mengakui daerah yang bersifat khusus dan menghormati satuan masyarakat hukum adat. Pada 2017 Pemerintah Kabupaten Sorong mengeluarkan kebijakan untuk menetapkan 500, 23 hektare tanah milik marga Kami’—salah satu marga asli suku Moi yang mendiami wilayah Kabupaten Sorong. Hak ulayat mereka ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang direncanakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 15.000-an orang dengan enam anak perusahaan besar yang akan berinvestasi. Satu diantaranya yang sudah beroperasi, yakni PT Semen Tonasa. Baru satu perusahaan yang sudah mulai beroperasi tapi dampaknya sudah sangat dirasakan. Laut yang menjadi tempat mencari bagi para nelayan sudah mulai terganggu, sehingga ikan dan udang teri (bahan dasar terasi) yang menjadi mata pencaharian masyarakat sudah berkurang secara perlahan. Selain itu, salah satu pangkalan marinir sudah dibangun, entah untuk menjaga keamanan atau untuk menjaga proyek negara yang akan dijalankan. Kalau untuk keamanan sangat tidak mungkin, karena daerah tersebut bukan daerah rawan konflik ataupun daerah perbatasan tetapi dengan adanya KEK maka pangkalan militer harus dibangun. Pada tahun 2017 marga Kami’ menuntut ganti rugi atas 170 hektare tanah yang sudah diambil untuk lahan KEK, dan menolak pembangunan wilayah KEK di keseluruhan tanah mereka yang tersisa 330,23 hektare, karena anak cucu mereka ke depannya akan kesusahan untuk mencari tempat tinggal yang sudah habis dibangun perusahaan. Tapi karena tuntutan ini mereka yang ikut dalam aksi penolakan tersebut (termasuk perempuan dan anak) ditangkap lalu dibawa ke pos polisi atas komando bupati. Setelah itu mereka dipulangkan lagi tanpa alasan, padahal marga Kami’ hanya meminta apa yang menjadi hak milik mereka. Walaupun dikuasai oleh negara tapi tidak bisa mengesampingkan masyarakat adat yang sudah ada sebelum negara ada. Diamanatkan tapi dilangkahi Dengan alasan menentang kebijakan negara mereka akan dikriminalisasi. Entah kebijakan negara itu untuk siapa, tetapi itulah alasan lazim yang sering digunakan oleh pemerintah (aparat sipil dan militer) untuk mengkriminalisasi rakyat. Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28i mengamanatkan setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Jika terjadi perlakuan yang demikian, maka akan melanggar ayat selanjutnya dalam UU tersebut yang mengatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Seperti kata Soekarno dan Soepomo dalam sidang BPUPKI/PPKI bahwa negara justru akan melindungi warga negaranya. Argumen tersebut dikatakan pada saat menentang argumen Hatta dan Yamin yang ingin memasukkan pengakuan dan perlindungan HAM secara tegas dalam UUD 1945. (*) Penulis adalah volunteer di LBH Kaki Abu Editor: Timoteus Marten

Terkait penolakan RDP: LMA, kelompok Pepera, dan para bupati di Papua menampar wajah Indonesia

papua-aksi-rakyat-meepago

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Theo Hesegem Beberapa bupati di Provinsi Papua dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) yang menamakan diri kelompok Pepera menolak dan menyandera kedatangan Majelis Rayat Papua (MRP) yang hendak melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau evaluasi Undang-Undang Otonomi Khusus 2001 di Papua, sesuai amanat dan konstitusi. Namun lembaga yang sangat terhormat itu ditolak dengan cara yang sangat tidak etis. Apa yang dilakukan beberapa bupati dan masyarakat untuk tidak melaksanakan RDP telah menampar wajah negara Rebublik Indonesia di mata internasional, karena undang-undang yang dimaksud dibuat dan disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Aksi spontan yang dilakukan LMA, yang dibekap oleh pihak ketiga pada 15 November 2020, di Kabupaten Jayawijaya, merupakan aksi menampar wajah negara RI di mata dunia internasional, karena aksi yang dimaksud itu dilakukan tanpa surat perintah pemberitahuan kepada aparat kepolisan. Penolakan terhadap anggota MRP yang hendak melaksanakan RDP secara terbuka di wilayah adat Lapago, namun mereka dijemput dengan gerakan aksi massa yang diorganisir LMA yang dibekap oleh oknum-oknum intelijen dan orang-orang yang menamakan diri kelompok pejuang Pepera. Sebenarnya kegiatan RDP di seluruh Papua, termasuk wilayah Lapago, dijadwalkan 17-18 November 2020 sesuai rencana pelaksanaan yang dimaksud MRP tiba di Wamena, Jayawijaya, tepat pada 15 November 2020, sekitar pukul 09:30 waktu Papua. Begitu tiba di ruangan Bandara Wamena, ketika rombongan hendak keluar dari pintu, mereka dijemput oleh massa pro Otonomi Jilid II. Kemudian kelompok tersebut melakukan orasi di depan bandara dan berteriak untuk tidak melaksanakan RDP. Melihat kondisi yang sangat sulit dikendalikan, karena massa semakin banyak, rombongan MRP menyampaikan komitmennya untuk tidak melaksanakan RDP di Lapago. Karena tutuntan kelompok tersebut, rombongan MRP tidak sempat keluar untuk bertatap muka, tetapi tetap bertahan dalam ruangan kedatangan bandara. Penyandera terhadap tim MRP terjadi pukul 9 sampai pukul 16:36. Sekitar pukul 16:37, rombongan MRP kembali bertolak  ke Jayapura. Inisiatif tim MRP untuk kembali ke Jayapura sangat tepat. Setelah melihat kondisi di lapangan dapat terjadi bentrok antaraa kelompok LMA yang menamakan diri pejuang Pepera dan pihak kelompok yang disandera. Dalam situasi itu Bandara Wamena telah diduduki oleh aparat TNI/Polri, dengan peralatan senjata yang sangat lengkap. Di tengah-tengah itu parkir sebuah mobil panzer, yang menurut saya sebenarnya situasi masih dianggap aman dan tenang. Ketika berkoordinasi dengan salah satu anggota MRP saat sedang berada di lokasi penyanderaan itu ia dapat mengatakan sebenarnya siapa saja yang punya hak untuk menyampaikan pendapat terbuka. “Kami sangat menghargai apa yang dilakukan kelompok LMA. Sebenarnya kami sangat mengharapkan mereka yang ikut demo juga ikut dalam proses pelaksanaan RDP, sehingga mereka juga dapat menyampaikan dengan apa yang mereka mau sampaikan, secara terbuka, dan kami sangat menghargai apa yang disampaikan LMA, asal mereka dapat menyampaikan aspirasi mereka dalam pertemuan yang dimaksud,” ujar salah satu anggota MRP. Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001, diundang-undangkan melalui amandemen kontitusi negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, orang asli Papua (OAP), intelijen, para bupati, DPRP, DPRD di Papua, LMA, TNI/Polri, kelompok Barisan Merah Putih (BMP), dan Dewan Adat Papua (DAP), sebenarnya tidak perlu menolak kehadiran MRP melaksanakan RDP, karena evaluasi otsus telah diamanatkan melalui UU Otsus kepada MRP. Menurut saya apabila ruang masyarakat dibatasi atau dilarang untuk tidak melakukan evaluasi RDP isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput, karena otsus Papua lahir karena OAP hendak menentukan nasibnya sendiri. Untuk memadamkan isu Papua merdeka, lahirlah undang-undang yang dimaksud. Seluruh elemen masyarakat dan pejabat di Papua perlu sadar, bahwa rencana MRP untuk melaksanakan RDP telah dibantu dananya oleh pemerintah pusat, dengan anggaran biaya negara untuk melaksanakan RDP atau evaluasi tentang otsus. Kalau terjadi penolakan, kira-kira MRP memiliki mata uang dari mana dan MRP memiliki mata uang sendiri, sehingga mereka merencanakan RDP yang dimaksud? Kita perlu sadar bahwa MRP melaksanakan RDP sesuai amanat dan konstitusi negara RI. Saya baru saja membaca satu artikel tirto.id  “Jokowi: Otsu Berakhir 2021, Evaluasi Apakah Dirasakan Warga Papua”. Jokowi mengistruksikan, tokoh-tokoh adat masyarakat, maupun tokoh agama di Papua dan Papua Barat didengar sebelum merumuskan kebijakan. Jokowi menuturkan perlu ada evaluasi terkait penyuntikan dana otsus kedua provinsi tersebut karena angkanya sangat besar. Selain itu, kata Jokowi, perlu ada detail transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Itu menjadi bagian yang penting untuk menunjang good governance. Penyalurannya, apakah betul-betul sudah ter-deliver ke masyarakat, apakah sudah tepat sasaran, out put-nya seperti apa, kalau sudah jadi barang-barang apa. Jokowi juga mempertanyakan apakah selama ini dana otsus sudah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat di Papua dan Papua Barat? Menurutnya, dampak kebijakan itu harus ditinjau ulang, sehingga Jokowi minta masyarakat atau tokoh-tokoh Papua dan Papua Barat, harus diajak bicara sehingga kebijakan yang dirumuskan murni sesuai kebutuhan mereka. “Saya minta kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat ini dikonsultasikan dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Papua maupun Papua Barat. Ini penting sekali,” ujarnya. Presiden Jokowi menyatakan dana otsus Papua dan Papua Barat akan berakhir pada tahun 2021. Itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dana tersebut muncul usai pemerintah Indonesia mengakui telah salah mengerahkan Papua dari pusat tanpa mendengar warga daerah terkait itu. “Diperlukan sebuah kebijakan baru mengenai dana otonomi khusus ini,” kata Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/3/2020) seperti dilansir tirto.id. Kalau saya membaca artikel ini secara detail apa yang disampaikan presiden sangat jelas dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat untuk dievaluasai terbuka, sehingga melibatkan masyarakat sebagai pengguna atau pemanfaat dana otsus itu sendiri, sehingga masyarakat dapat menyampaikan aspiranya melalui evaluasi yang dimaksud. Oleh karena itu, MRP Papua dan Papua Barat telah berencana untuk melaksanakan RDP dari masyarakat. Komitmen orang nomor 1 di Indonesia sudah sangat jelas, sehingga MRP Papua dan Papua Barat melaksanakan RDP. Namun beberapa bupati dan wali kota menolak RDP yang dijadwalkan MRP dilakukan pada 17-18 November 2020. Menurut saya penghalangan dan penyanderaan yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri LMA atau kelompok Pepera, yang disitir oleh orang-orang tertentu, dapat mencederai harga diri bangsa Indonesia. Istilah yang saya gunakan adalah bangsa Republik Indonesia menampar wajahnya sendiri di mata internasional. Perlu juga ketahui bahwa OAP menerima otsus 2001 karena ditawar oleh pemerintah Uni Eropa dan bekerja sama dengan pemerintah RI, supaya OAP menerima otsus di Papua lebih dulu, sehingga UU Otsus atau evaluasi terkait dengan penggunaan dana

19 tahun kematian Theys dan Otsus Papua (bagian 3)

papua-theys-eluay

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Andai saja Gus Dur tidak dikudeta, masih menjabat presiden kala itu, apa jadinya Papua? Mungkinkah Theys tetap dibunuh? Apakah otsus tetap dipaksakan untuk berlaku di Papua? Atau Gus Dur lebih dengar rakyat Papua untuk merdeka? Ketokohan Gus Dur, tokoh NU yang humanis dan pluralis itu, jika ia tidak harus dikudeta, bukan seburuk kini situasi HAM di Papua. Mungkin juga otsus Papua tidak terjadi pro-kontra. Megawati, PDIP: Awal dan akhir otsus Papua Kehadiran dan respons Presiden Gus Dur di Papua serta isu Papua merdeka sepertinya membuat para elite nasionalis yang korup di Jakarta terganggu, terutama elite-elite yang selalu bersengkokol dengan kapitalis asing atau komplotan antidemokrasi. Ambisi para elite Jakarta melengserkan Gus Dur itu seperti semakin nyata. Megawati misalnya baru tiga bulan menjabat Presiden Indonesia setelah Gus Dur dilengserkan MPR pada 23 Juli 2001. Pada 21 November 2001 produk hukum UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua itu disahkan dan ditandatangani Megawati. Pengesahan UU Otsus Papua itu terjadi setelah 11 hari nyawa Ketua PDP, Theys H. Eluay direnggut. Mungkinkah lengsernya Gus Dur dan kematian Theys ada kaitannya dengan Papua? Ini bisa jadi mungkin, sebab tiga bulan setelah Gus Dur dilengserkan dan 11 hari setelah Theys dibunuh pada 10 November tepat pada 21 November 2001, UU Otsus Papua disahkan Presiden Megawati, yang juga ketua PDIP itu. Dalam pandangan Jakarta, lahirnya UU Otsus Papua itu sebagai solusi kesejahteraan orang asli Papua (OAP) walaupun kita memahami bahwa kehadiran otsus adalah respons atas menguaknya aspirasi Papua merdeka. Namun fatalnya adalah jika otsus sebagai jawaban atas ketertinggalan orang Papua atau didasari atas niat baik pemerintah, mengapa Theys dibunuh? Apalagi sebagai seorang tokoh, pemimpin rakyat Papua saat itu. Bukankah kehadiran otsus termasuk melindungi Theys? Logikanya, jika otsus hadir sebagai niat baik pemerintah dalam menyejahterakan orang Papua, mestinya Theys Eluay sebagai pemimpin orang Papua saat itu menjadi penghubung Jakarta dalam meminimalisir aspirasi Papua merdeka, sehingga kesejahteraan dimaksud dalam kerangka otsus dapat berjalan maksimal. Jika kembali pada 19 dan memasuki 20 tahun otsus Papua, maka kematian Theys sepertinya menjadi awal mula kematian otsus Papua, sebab dalam memasuki 20 tahun otsus, darah rakyat Papua terus mengalir akibat kekerasan aparat Indonesia. Terus mengalirnya darah orang Papua di atas tanahnya sendiri dalam otsus, sepertinya mengikuti jejak kematian pemimpin orang Papua, Theys, 19 tahun lalu. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat mungkin diambil adalah kematian Theys sebagai awal tiadanya niat baik pemerintah Indonesia membangun Papua dengan hati atau menyejahterakan OAP, gagal menjadikan OAP sebagai tuan di atas tanahnya sendiri. Otsus dihadirkan sebagai jawaban ketika ada sorotan internasional tentang berbagai kejahatan kemanusiaan di Papua. Buktinya adalah kematian Theys yang diikuti dengan kekerasan negara terhadap orang Papua tanpa pengadilan. Sisi lain niat buruk pemerintah dalam rangka kehadiran UU Otsus Papua, yang seyogyanya membahas tentang nasib hidup orang Papua itu adalah tanpa melibatkan OAP. Hal itu seperti semakin terus dipraktikkan negara dengan pola-pola lama dalam membahas nasib hidup orang Papua dari waktu ke waktu. Misalnya Perjanjian New York 1962, Kontrak Karya Freeport pada 1967 atau Pepera 1969 dan paket perjanjian lainnya. Tidak adanya niat baik pemerintah itu terjadi pula dalam rancangan awal UU Otsus Papua yang dilakukan oleh para akademisi Uncen dan beberapa pihak lainnya di Papua. Rancangan UU Otsus itu terjadi dalam jangka waktu singkat selama satu bulan di hotel Sentani Indah, Kabupaten Jayapura. Dalam pernyataan salah satu akademisi Uncen yang juga eksponen dalam perumusan naskah akademik UU Otsus Papua, Prof. Melkias Hetharia dalam sebuah diskusi tentang Otsus di Jayapura mengatakan, isi UU Otsus itu sedikit tapi bentuknya luar biasa. “Kami mengalami tekanan dari berbagai pihak saat susun rancangan materi UU Otsus Papua tekanan datang dari teman-teman di Papua tapi juga tekanan dari pusat (penguasa). Rancangannya sedikit lain dengan isinya, ada sedikit diubah lagi setelah rancangan itu ada di Jakarta. UU otsus itu hanya berisi 79 pasal. Jika dibandingkan dengan UU Otsus Aceh, UU Nomor 18/2001, awalnya hanya 38 pasal. Tapi Aceh mengambil langkah lebih jauh dengan revisi yang kemudian melahirkan 270 pasal hari ini. Sementara otsus dari 79 pasal yang sudah di ubah-ubah itu masih tertapi-tapi pada 79 pasal hingga kini, walaupun setelah 13 tahun otsus pada 2014 rancangan revisi diajukan Pemerintah Papua dengan nama UU Otsus Plus yang isinya 380 pasal.” Pada penghujung UU Otsus Papua 2020, status otsus kembali sudah tentu akan jatuh dalam genggaman penguasa yang sama. Jika kehadiran Otsus Papua pada 2001 atau 19 tahun lalu di bawah kekuasaan Megawati dengan partainya PDIP, maka kini 2020 atau setelah 20 tahun otsus di Papua, kewenangan itu tetap jatuh ditangan penguasa republik yang sama, PDIP tentunya Megawati ada di sana. Komando palu sidang parlemen Indonesia kini di bawah kendali partai yang sama dengan orang yang sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa status otsus Papua, entah mau dilanjutkan atau tidak, tetap di bawah kendali partai penguasa saat itu dan kini. Apalagi kursi mayoritas DPR didukung koalisi. Selesai. (*) Penulis adalah anggota AMPTPI, tinggal di Jayapura Editor: Timoteus Marten

19 tahun kematian Theys dan Otsus Papua (bagian 2)

papua-theys-eluay

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Theys pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan berhenti memperjuangkan pengembalian kedaulatan rakyat Papua. “Saya akan berjuang terus sampai titik darah penghabisan atas pengembalian kedaulatan rakyat Papua.” Dalam kesempatan lain, Theys mengatakan, “Jika saya mati karena memperjuangkan kedaulatan Papua dan saya ke surga kemudian ada orang Indonesia di surga, saya akan sampaikan kepada Yesus, saya takut disiksa lagi oleh orang Indonesia.” Ia sepertinya tahu akan meninggal karena perjuangan panjang itu. Sayangnya mimpi besar Theys itu tidak sampai terwujud. Mimpi itu berhenti di persimpangan jalan. Mungkin saja dengan kematian Theys negara berharap gelombang kemerdekaan Papua itu musnah seturut hilangnya Theys, apalagi adanya triliunan rupiah dalam UU Otsus. Namun apa yang terjadi? Selama UU Otsus dengan triliunan rupiah itu pula gerakan kemerdekaan itu bagai jamur di musim hujan, tumbuh subur dan masif di penjuru dunia. Ungkapan “satu mati tumbuh seribu” itu sepertinya nyata kini. Jika Theys adalah seorang diri yang hilang, kini seribu Theys bermunculan dimana-mana. Jika saat itu gerakan kemerdekaan menggema hanya sebatas dalam negeri Papua, dan sedikit di dunia internasional, kini justru hampir di berbagai benua gerakan kemerdekaan itu terus menggaung. Ini artinya bahwa kematian Theys adalah awal dimana produk UU Otsus itu juga turut mati. Logikanya adalah jika Jakarta berpendapat bahwa menguaknya aspirasi merdeka yang disuarakan rakyat Papua 19 tahun lalu disebabkan karena kesenjangan sosial dan otsus adalah jawabannya, maka semestinya gerakan kemerdekaan rakyat Papua tidak seperti kini. Dortheys tinggal nama tanpa pengadilan yang tuntas, kepahlawanan Hartomo semakin memuncak! Theys Eluay kini tinggal nama. Kematiannya meninggalkan air mata yang cukup mendalam bagi rakyat Papua. Sejak kematiannya, perjuangan rakyat Papua bagai sebuah kapal tanpa dinahkodai seorang kapten. Rakyat Papua menganggap kematian tokoh kharismatik itu tidak wajar, itu sebuah pelanggaran HAM secara sistematis oleh negara. Rakyat Papua menuntut para pembunuh itu dihukum seberat-beratnya. Namun dari tujuh orang yang didakwa sebagai pelaku, masing-masing hanya dihukum: Letkol Inf. Hartomo dituntut 2 tahun penjara, Mayor Inf. Donny Hutabarat dituntut 2 tahun 6 bulan penjara, Kapten Inf. Rionardo dituntut 2 tahun penjara, Lettu Inf. Agus Supriyanto dituntut 3 tahun plus usulan dipecat, Sertu Asrial dituntut 2 tahun penjara, Sertu Laurensius LI dituntut 2 tahun penjara dan Parka Ahmad Zulfahmi dituntut 3 tahun penjara plus usulan dipecat. Sedangkan dua orang pelaksana lapangan dalam operasi penggalangan yang menyebabkan terbunuhnya Theys, yaitu Lettu Agus Supriyanto dan Praka Ahmad Zulfahmi dikenai tuntutan 3 tahun penjara dan diusulkan untuk dipecat, sedangkan Letkol Inf. Hartomo dan Mayor Inf. Hutabarat sebagai atasan para terdakwa yang memerintahkan dilaksanakannya operasi dikenai tuntutan 2 tahun dan 6 bulan penjara. Ketujuh terdakwa itu dikenakan tuntutan subsider pasal 351 ayat 3 jo 55 yaitu penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sedangkan dakwaan primer pasal 338 KUHP yaitu dengan sengaja merampas nyawa orang lain (pembunuhan), dinyatakan tidak terbukti oleh oditur militer. Pengadilan militer itu benar-benar mencederai keadilan. Rakyat Papua tidak merasa puas terhadap proses hukum pengadilan militer terhadap pelaku pembunuhan. Di sini jelas bertentangan dengan prinsip imparsial sebuah pengadilan, sebab pengadilan militer itu hanyalah untuk menghindari UU Nomor 26 tahun 2000, yang memberikan wewenang kepada pengadilan HAM untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM. Tuntutan hukuman oditur militer yang sangat rendah kepada para terdakwa, juga menunjukkan bahwa persidangan yang dilaksanakan hanya sekadar memenuhi prosedur hukum belaka, dan jauh dari rasa keadilan. Sedangkan pihak lain di Jakarta menganggapnya sebagai hal yang wajar karena mengganggu kedaulatan negara. Theys dianggap sebagai pemberontak dan wajar dibunuh. Hal seperti itu dikatakan Kepala Staf Satuan Angkatan Darat (Kasad), Ryamizard, yang tidak setuju atas hukuman berat yang diberikan kepada Hartomo, dkk. Jika pun divonis bersalah, ia berharap Hartomo dihukum ringan saja. “Hukum mengatakan mereka bersalah. Okelah dia dihukum. Tetapi bagi saya dia pahlawan.” (tempo.co, 21 April 2003). Bagi Ryamizard, Theys adalah pemberontak yang ingin merdeka dari Indonesia. Ia menilai hukuman yang diberikan kepada Hartomo justru teramat berat. Bagi Ryamizard, “nggak betul itu.” Pemecatan dari dinas militer tentu sangat menyakitkan. Hartomo adalah Letnan Kolonel Infanteri dalam satuan elite baret merah. Hartomo dikenai tuntutan 2,6 tahun penjara, tetapi semua hukuman itu berjalan tertutup, tidak ada orang Papua yang tahu tentang hukuman yang dijalani Hartomo. Ia juga tidak dipecat dari kesatuan militer, tetapi masih aktif sebagai militer walaupun tidak terlalu tampil di publik. Pada era Presiden SBY, Hartomo benar-benar tenggelam. Berdasarkan penelusuran Made Supriatma seperti ditulis Indoprogress, para perwira Kopassus yang terlibat dalam kasus pembunuhan Theys itu tidak kemana-mana. Meski tak begitu bersinar, mereka masih berdinas di angkatan darat. Ada yang jadi perwira intel, komandan kodim, dan batalyon. Hartomo sendiri di akhir masa kepresidenan SBY pernah menjadi Komandan Pusat Intelijen Angkatan Darat (Danpusintelad) dan sudah berpangkat brigadir jenderal. “Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen,” tulis Made Supriatma. Ketika menjadi Danpusintelad itulah Hartomo kembali tersorot. Masa lalunya sebagai perwira yang kesangkut kasus tentu menjadi santapan media massa (Tirto.id, 28 November 2018). Joko Widodo dengan partai PDIP memperoleh suara tertinggi pada pilpres 2014 dan 2019. Jika di zaman SBY Ryamizard “cuma” jadi Kasad, maka di era Jokowi dia ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan pada periode pertama. Ryamizard adalah bosnya Hartomo dan salah seorang jenderal yang dekat dengan Megawati. Pada masa Ryamizard menjabat Menteri Pertahanan, karier Hartomo tetap baik, meski tak terlalu moncer. Pada Juli 2015, dengan pangkat mayjen, Hartomo menjadi Gubernur Akademi Militer. Hartomo menempati jabatan yang dulu diampu mertua SBY, Sarwo Edhi Wibowo. Masa kekuasan partai PDIP, Hartomo setelah menempati jabatan Gubernur Akmil, lalu dimutasi menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) pada akhir 2016. Pada Oktober 2017, Hartono menjadi Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Pusterad), dan 22 November 2018, Hartomo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) TNI dengan menyandang pangkat jenderal bintang tiga. Begitulah jalan karier Hartomo, pahlawan versi Ryamizard Ryacudu. Kini PDIP masih pegang kendali di republik ini. Apakah kemudian karier Hartomo akan memuncak lagi? Apa langkah yang akan diambil Megawati dan PDIP atas karier Hartomo? Bukan tidak mungkin, ingat bahwa jika Hartomo di masa kepemimpinan Partai Demokrat, SBY tidak terlalu muncul ke permukaan, maka kini perlahan karier Hartomo semakin memuncak di bawah kekuasaan PDIP dan Megawati. Hartomo sebagai pahlawan dalam pandangan mantan Kasad TNI

19 tahun kematian Theys dan Otsus Papua (bagian 1)

papua-theys-eluay

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Welis Doga Sembilan belas tahun lalu, 10 November 2001, tokoh pemersatu, pemimpin besar rakyat Papua, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), mendiang Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay dibunuh oleh Tim Mawar, Komando Pasukan Khusus (Kopasus) dibawah pimpinan Hartomo. Theys bersama sopirnya, Aristoteles Masoka dibunuh di Skyline, Jalan Raya Entrop – Abepura, Kota Jayapura, Papua, saat pulang ke rumahnya di Sentani usai menghadiri silaturahmi dalam rangka Hari Pahlawan. Theys diundang dan dijemput oleh Komandan Kopassus, Hartomo, di rumahnya, pendopo Sentani, Kabupaten Jayapura, dan selanjutnya menuju markas kopassus di Hamadi, Distrik Jayapura Selatan. Setelah dibunuh, Theys dibawa dan dibuang ke gua kecil di wilayah Skouw, dan ditemukan tak bernyawa pada malam harinya. Sedangkan Aristoteles belum diketahui keberadaannya sampai sekarang. Pada tahun yang sama, 23 Juli 2001, Presiden keempat RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur, dilengserkan. Tahun yang sama pula Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) berlaku di Papua di bawah kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur. Adakah kaitan kehumanisan Gus Dur dalam merespons aspirasi Papua merdeka dan lengsernya Beliau dari kursi presiden dan pembunuhan Theys dengan otsus Papua? Tentu saja kita tidak punya bukti untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun satu yang pasti bahwa pembunuhan Theys oleh Kopasus dari Tim Mawar di bawah pimpinan Hartomo terjadi tiga bulan setelah Gus Dur dilengserkan. Sebelas hari kemudian, UU Otsus Papua ditandatangani Megawati. Selain lengsernya Gus Dur karena didasari hal-hal lain sebagaimana pendapat berbagai pihak, misalnya, Gus Dur lebih banyak keluar negeri dibanding mengurus negara dalam situasi krisis moneter yang belum pulih. Atau adanya kasus korupsi, padahal dalam proses hukumnya tidak dapat terbukti kasus korupsinya. Kedekatan seorang Gus Dur yang humanis terhadap isu Papua merdeka di bawah kepemimpinan Theys Eluay bukan tidak mungkin menjadi alasan lain lengsernya seorang Gus Dur. Dalam dunia kapitalisme, siapa yang mau rugi dengan aset investasinya yang menghasilkan jutaan miliar dolar dalam setahun, apalagi Papua yang kaya akan sumber daya alam? Sejak tokoh pemersatu itu dibunuh, rakyat Papua kurang lebih hingga dua dasawarsa, seperti anak ayam kehilangan induk. Agenda perjuangan yang ditinggalkannya sempat mengalami gelombang karena tidak ada tokoh yang bisa menahkodai perjuangan panjang rakyat Papua. Namun kematian Theys bukan alasan bagi orang Papua untuk mundur. Selama otsus masih berlabuh di Tanah Papua, gerakan kemerdekan itu justru bertumbuh subur di berbagai lapisan dan penjuru dunia, seperti slogan “mati satu tumbuh seribu”. Padahal pemerintah mengharapkan bahwa tiadanya pemimpin rakyat Papua dan berlakunya otsus Papua membuat isu Papua merdeka mati suri. Harapan itu justru terbalik. Kini gerakan Papua merdeka lebih menggema di berbagai penjuru dunia. Jika demikian, apa langkah penguasa hari ini? Apakah akan tetap sama, harus hilangkan lagi para pemimpin rakyat Papua pro kemerdekaan, kemudian memaksakan otsus dilanjutkan lagi? Ini dilema besar yang akan dihadapi pemerintah. Kematian Theys sepertinya menjadi awal mula kematian UU Otsus produk Megawati Soekarnoputri. Sembilan belas tahun lalu otsus lahir dan kini di akhir 19 tahun nasib hidup rakyat Papua kembali lagi jatuh kepada penguasa republik yang sama, PDIP. Walaupun Presiden RI adalah Joko Widodo, jangan lupa bahwa pemerintahan masih di bawah kendali partai yang sama, PDIP (Megawati). Bagaimana nantinya nasib orang Papua di bawah kekuasaan partai yang sama? Mungkin sulit mengubah arah kebijakan terhadap Papua dengan produk hukum yang namanya otsus itu! Bahkan pola lama meminimalisir persoalan Papua bisa saja diterapkan kini walau itu bukan harapan rakyat. Lalu bagaimana dengan Komandan Kopassus, pembunuh Dortheys Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka yang kini menjabat sebagai Kasad TNI? Mungkinkah ia akan menduduki kursi panas, orang nomor satu di tubuh TNI? Bagi pemerhati kemanusiaan, Hartomo sulit jadi orang nomor satu di tubuh TNI. Tapi bagi para nasionalis, ia adalah pahlawan yang pantas menyandang posisi tertinggi di institusi TNI. Jangan juga lupa bahwa Hartomo setelah tenggelam di masa kekuasaan partai Demokrat (SBY), masih aktif di kedinasan militer. Kini di zaman PDIP berkuasa, kariernya seperti lari marathon. Seandainya Hartomo berhasil menduduki kursi panas di institusi TNI, apakah ia akan dengar-dengaran lagi dengan bosnya, Megawati? Menggunakan pola lama, awal dimana dengan polanya untuk memuluskan otsus Papua di penghujung pro-kontra otsus Papua hari ini? Semua orang yang punya andil dalam memuluskan otsus Papua kala itu, kini sedang menguasai istana. Dortheys Hiyo Eluay: tokoh besar, pemersatu rakyat Papua Kehadiran seorang tokoh dalam sebuah misi besar mempengaruhi jalannya roda pergerakan. Perjuangan rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia, mendirikan Negara West Papua benar-benar menggema di seluruh pelosok West Papua sejak reformasi di Indonesia pada 1998. Menggemanya keinginan rakyat Papua untuk merdeka di bawah pemimpin tokoh kharismatik, Ondofolo Theys Hiyo Eluay tidak terlepas dari ketokohannya yang berani. Theys mampu berdiri sebagai seorang bapak dari rakyat Papua. Ia mampu mempersatukan orang Papua dari berbagai elemen, organisasi, dan suku-suku, dan mampu menghilangkan image, perbedaan antara orang Papua gunung atau pantai. Ia juga mampu memobilisasi gerakan kemerdekaan Papua hingga di kampung-kampung. Ia benar-benar energik, mampu menggoyang ketatanegaraan Indonesia. Kehadiran UU Otsus adalah bukti dari masifnya gerakan kemerdekaan Papua yang dinahkodai They Eluay saat itu. Kehilangan seorang tokoh kharismatik yang dimiliki orang Papua itu boleh dibilang cukup mempengaruhi gelombang dan arah gerakan kemerdekaan Papua. Perjuangan rakyat Papua seperti mengalami kemunduran sejak itu, bara api perjuangan redup seketika. Para pimpinan PDP misalnya, seperti kehilangan seorang nakhoda pada tahun-tahun awal. Gerakan kemerdekaan itu kemudian mundur jauh, harus kembali ke titik awal. Jika mundurnya gerakan kemerdekaan Papua pada angkatan 1960 dan 1970-an dikarenakan gesekan dari dalam, era 2000-an dengan PDP mengalami kemunduran karena faktor eksternal, yakni terbunuhnya Theys Eluay pada 2001. Ketokohan Theys mampu meminimalisir gesekan dari dalam. Hal itu terbukti dengan menggaungnya isu Papua merdeka di seluruh lapisan rakyat Papua dalam satu kesatuan di bawah payung PDP. Ia mampu menjaga keutuhan payung persatuan itu, ia tidak dapat terjebak dengan gesekan kecil yang digoreng dari dalam (ambisi internal). Ketokohan dan kemampuan mengakomodasi seluruh elemen gerakan kemerdekaan Papua yang dimiliki Theys seperti semakin solid. Apalagi setelah Kongres Rakyat Papua (KRP) II di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, 29 Mei – 4 Juni 2000, Theys terpilih sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) setelah sebelumnya sebagai Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) dengan memproklamirkan berdirinya Negara Papua Barat di pendopo, Sentani Jayapura. Gerakan kemerdekaan Papua mulai menggema sejak

Mengapa Pilkada selalu diwarnai konflik?

Papua-pilkada-2020

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Engelbert Dimara Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw mengatakan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan dilaksanakan di 11 kabupaten di Provinsi Papua itu rawan konflik. “Hampir semua daerah yang akan melaksanakan pilkada masuk kategori rawan konflik namun tingkat kerawanannya sedang dipetakan. Dari berbagai pengalaman dalam penanganan keamanan selama pilkada, memang sering kali menimbulkan kerawanan akibat para pihak berupaya dengan segala cara untuk menjadi pemenang,” ujarnya, Kamis, 25/6/2020 (papua.bisnis.com: Pilkada Serentak 2020: 11 Kabupaten di Papua Rawan Konflik). Upaya para pihak untuk menjadi pemenang pilkada seperti dikatakan kapolda di atas, yang dapat memicu konflik. Dimana terjadi benturan kepentingan dari masing-masing kubu politik. Dan itu yang membuat situasi pasca pelaksanaan pilkada tidak aman atau rawan konflik. Situasi dalam kampanye pilkada Situasi dalam pelaksanaan pilkada di setiap daerah berbeda-beda. Ada daerah yang tensi politiknya wajar, tetapi ada juga yang tensinya tinggi. Artinya terjadi ketegangan antarkubu paslon (pasangan calon), karena sejak awal figur-figur yang ingin maju dalam pilkada sudah saling menjatuhkan, dengan melempar isu dan opini tertentu. Isu atau opini itu ditujukan kepada figur-figur yang dianggap akan menjadi lawan politik, terutama kepada figur petahana jika ada. Muatan dari isu atau opini itu bermacam-macam. Mulai dari kelemahan dan kehidupan pribadi, ketidakberhasilan dalam pembangunan,  korupsi, dan lain sebagainya. Upaya saling menjatuhkan itu semakin kencang dilakukan ketika pasangan calon sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Koalisi partai atau tim pemenangan, dan massa pendukung menyebar isu dan membangun opini publik untuk memojokkan lawan politik. Itu semua dilakukan demi kepentingan paslon dan kelompok masing-masing. Setiap paslon mempunyai strategi kampanye untuk mengamankan kepentingan politik di daerahnya. Strategi merupakan cara-cara kampanye untuk memenangkan pilkada, dan itu sangat perlu. Yang dipandang salah adalah jika demi kemenangan, digunakan cara-cara yang tidak beretika dan tidak bermoral. Para paslon bersaing dengan cara-cara yang tidak adil, tidak jujur, tidak wajar, misalnya melakukan money politik, melempar isu-isu yang tidak benar untuk menjatuhkan lawan politik. Mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sangat tidak dewasa, misalnya, mendoktrinasi tim suksesnya dengan ungkapan, “segala cara harus kita tempuh untuk mencapai kemenangan, pele putus, melintang patah”. Pernyataan-pernyataan seperti itu kalau diterima oleh paslon lain dengan tim pemenangan dan massa pendukungnya secara dewasa, tidak masalah. Artinya menanggapi secara positif,  tetap tenang, sabar, dan melakukan kampanye secara dewasa dan bertanggung jawab.  Tetapi jika menanggapi secara negatif dan tidak dewasa, maka sudah pasti akan terjadi gesekan-gesekan yang berujung konflik. Bahkan semua gesekan itu akan mencapai puncaknya pada saat pengumuman hasil dan sampai penetapan. Dan tentu yang terjadi adalah konflik horizontal yang tidak bisa dihindari. Upaya menghindari konflik pasca pilkada Untuk menghindari terjadinya konflik, maka sangat diharapkan, semua paslon dan koalisi atau tim pemenangan bijaksana. Semua wajib memelihara nilai-nilai etika dan moral yang melandasi niat dan tujuan baik untuk maju sebagai pemimpin di daerahnya. Selain itu juga harus menghindari politik uang karena itu cara berpolitik yang kotor dan tidak terpuji. Praktik politik uang menunjukkan bahwa paslon tidak punya kemampuan intelektual, tidak popular dan tidak berintegritas, tetapi sangat ambisius, sehingga bertekad menggunakan politik uang, dengan cara-cara yang kotor untuk memenangkan kontestasi. Pilkada merupakan momentum untuk evaluasi pembangunan, dan ruang politik untuk menawarkan program terbaik bagi pembangunan pada periode berikutnya. Oleh karena itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan memperhatikan nilai-nilai demokrasi, keadilan, kebenaran, kejujuran, serta etika dan moral dalam seluruh proses pelaksanaannya. Para paslon yang sedang bertarung, berikanlah pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, bersikap dewasa dan bijak dalam mengarahkan tim sukses dan masa pendukung. Itu penting agar tidak terjadi konflik antar tim sukses dan pendukung. Dan harus siap menang dan siap kalah. Jangan sampai yang terjadi adalah menang jadi arang, kalah jadi abu, baik yang menang ataupun yang kalah sama-sama menderita kerugian. Niat dan tujuan baik, tetapi karena tidak siap secara mental dan tidak dewasa serta bijkasana, maka semuanya menuai kerugian diakhir perjuangan. Akan sangat bijaksana dan cerdas jika para paslon dan koalisi partai atau tim pemenangan serta massa pendukung berkomitmen untuk bertanding secara benar—mulai dari kampanye sampai pemilihan, dan masa perhitungan suara, serta penetapan suara harus berjalan aman dan damai tanpa konflik. Dengan demikian, pihak yang menang tidak bereuforia dan menghina pihak yang kalah. Sebaliknya pihak-pihak yang kalah juga menerima dengan berbesar hati, tanpa menciptakan konflik. Kalaupun tidak menerima hasil keputusan KPU, maka dapat menempuh jalur hukum sesuai prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Kemudian keputusan akhir yang dianggap final secara hukum harus mampu diterima dengan lapang dada, dan disyukuri. Yang menang bersyukur dan tidak sombong, tetapi berusaha merangkul yang kalah untuk sama-sama membangun daerahnya. Yang kalah tetap bersyukur dan melakukan evaluasi ke dalam. Dan harus optimistis bahwa kesempatan selalu tersedia, jika punya niat dengan tujuan yang murni untuk membangun masyasrakat dan daerahnya. (*) Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Tinggal di Kota Jayapura Editor: Timoteus Marten

Derita dan penjarah (bagian I): Kriminalisasi digunakan untuk membungkam rakyat Papua

papua-freeport

Papua No. 1 News Portal | Jubi Pelanggaran ditutupi demi investasi Rakyat Papua akan terus bersuara karena hak mereka dirampas oleh negara. Negara mengatasnamakan kesejahteraan rakyat sehingga segala sumber daya alam dikuasainya. Anehnya definisi penguasaan dalam ayat (3) pasal 33 UUD 1945 lebih menjadikan negara sebagai pemilik sumber daya alam, bukan hanya menguasai. Padahal definisi kata menguasai bukan berarti memiliki. Dalam pasal berikutnya, dengan jelas disebutkan: dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Berarti jelas penggunaan sumber daya alam ditujukan pada kepentingan rakyat Indonesia. Tapi pada kenyataannya kepentingan rakyat hanyalah dijadikan dalih atas kepentingan pemilik modal. Hal ini mengakibatkan aneksasi wilayah adat dilakukan oleh negara atas dasar kepentingan investasi sebagaimana yang terjadi pada suku Amungme dan Kamoro untuk Freeport, konflik dibuat-buat agar masyarakat dapat eksodus dari wilayah mereka seperti yang dialami rakyat di Nduga sejak 2018 hingga kini, pengalihfungsian lahan tempat hidup bagi masyarakat menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) yang saat ini dibangun di wilayah kabupaten Sorong. Semua ini hanyalah demi kepentingan para pemilik modal. Dengan kekuatan aparat, negara berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Tindakan semena-mena oleh aparat terjadi bukan karena mereka tidak tahu atau tidak mengerti tentang hak-hak dari warga negara, tapi dapat terjadi karena dipaksa secara institusi untuk melakukannya demi kepentingan pemilik modal yang telah menguasai birokrasi negara, bukan kepentingan rakyat. Kalau itu kepentingan rakyat berarti rakyat yang lain tidak harus menjadi korban dari kebijakan publik serta peraturan yang dibuat oleh negara, itu sama saja negara sedang membangun yang satu lalu merusak yang lain. Yang sekarang marak terjadi, karena rakyat menjaga hak atas tanah mereka agar tidak terancam setelah adanya eksplorasi sumber daya alam, dengan segala cara dipakai oleh negara untuk membuka lahan investasi baru. Negara akan lebih dulu menyiapkan aturan, setelah itu pendekatan persuasif lewat kepala suku atau marga yang bisa sepaham. Kalau itu tidak memberi dampak juga, maka konflik horizontal diciptakan agar ada tekanan di antara masyarakat, tapi kalau itu tidak mengubah sesuatu maka tindakan kekerasan akan langsung digunakan oleh negara dengan dasar aturan yang telah dibuat. Kriminalisasi sebagai upaya yang dilakukan oleh negara untuk membungkam rakyat jika melawan. Tindakan yang dilakukan didasari alasan untuk memajukan sistem perekonomian nasional. Pemajuan sistem perekonomian nasional menganut asas demokrasi dan berkeadilan, tapi yang terjadi saat ini negara bukan memajukan ekonomi dengan asas demokrasi serta berkeadilan tetapi menganut asas investasi tanpa diskriminasi yang dimuat dalam prinsip pasar bebas. Hal ini terjadi di banyak daerah di Indonesia tapi yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah pelanggaran yang terjadi di wilayah Papua. Dalam tulisan ini hanyalah sebagian dari sekian banyak pelanggaran yang sering terjadi oleh karena kepentingan investasi yang diskriminatif. Yang dimaksud Papua mencakup wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tetapi hanya digunakan satu sebutan, yakni: Papua. Hanya pelanggaran yang terjadi di wilayah Papua supaya yang harus diketahui adalah realita dari apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua. Pemerintah selalu menutup pelanggaran yang dilakukan terhadap rakyat Papua agar orang di luar Papua dan di luar Indonesia tidak tahu tentang apa yang dilakukan. Dengan begitu pemerintah Indonesia bisa membantah peristiwa ataupun kejadian yang diangkat oleh orang Papua dan orang di luar Papua tentang pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap kemanusiaan, pembatasan ruang demokrasi, dan pengrusakan lingkungan hidup akibat investasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk pemilik modal. Mereka yang diuntungkan Dalam buku Madilog karya Tan Malaka, seorang penulis Amerika pernah mengatakan sekuat apapun Amerika tapi kalau tidak mampu menguasai negara yang kaya seperti Indonesia, maka sia-sialah kekuatan Amerika. Amerika, Inggris, dan para sekutunya melakukan apa yang disebutkan oleh penulis Amerika tersebut sehingga pemerintah Indonesia hanya dijadikan aktor tangan besi untuk memuluskan semua investasi yang akan dibangun di Indonesia sebagaimana kata presiden kedua Indonesia (Soeharto) kala itu dikutip dari buku Perjuangan Suku Amungme, Antara Freeport dan Militer, yang diterbitkan pada tahun 2003 oleh ELSAM pada 3 Maret 1973, bahwa Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia. Pasti banyak pembaca yang sudah tahu tentang persoalan masa lalu di Papua tetapi apa yang terjadi saat ini pada rakyat Papua sangat sering diputarbalikkan kebenarannya karena dikhawatirkan akan mengancam kenyamanan investasi dan kepentingan penguasa yang sedang menikmati hidangannya di atas pelanggaran terhadap rakyat Papua yang karena integrasi, transmigrasi, dan investasi sehingga hak asasi orang Papua terancam. Kesemuanya itu adalah akumulasi dampak yang hadir setelah perebutan Indonesia dan Belanda terhadap wilayah Papua yang ditentukan oleh Amerika. Karena masing-masing dari ketiga negara tersebut sama-sama memiliki kepentingan setelah ditemukannya sumur minyak, gas bumi, dan tambang emas di Tanah Papua, sehingga negosiasi Indonesia meminta bantuan dari Amerika berjalan mulus. Sebagai ganti Amerika diberikan hak melakukan ekplorasi di puncak Ertsberg, wilayah Amungsa. Pembagian keuntungan dinikmati bersama. Amerika mendapatkan untung perdagangan hasil eksplorasi, Belanda mendapatkan untung dari hasil penemuan sumber daya di Erstberg dan Gresberg, Indonesia mendapatkan untung perizinan dan pembelian saham, sedangkan rakyat Papua hanya mendapatkan dampak buruk. Pelanggaran bukan pembangunan Banyak dari kita yang masih berpikir kalau ada investasi masuk di suatu daerah maka akan memberi dampak positif dengan adanya pembangunan yang akan mengurangi angka pengangguran serta akan memberdayakan sumber daya manusia agar terlepas dari kemiskinan dan menunjang tercapainya tingkat kesejahteraan. Pendidikan juga akan semakin maju dan bidang kesehatan akan sangat diperhatikan. Namun sayangnya ada hal yang harus dibayar sebagai ganti. Malah yang dibayar sebagai gantinya akan lebih memberi dampak negatif yang signifikan terhadap eksistensi masyarakat adat dan kelestarian sumber daya alam di suatu daerah yang dijadikan wilayah eksplorasi sumber daya alam. Dengan dalih demi kepentingan umum dan demi kepentingan pembangunan pemerintah akan melanggar HAM, padahal negaralah yang seharusnya bertanggung jawab penuh untuk melindungi hak asasi warga negaranya. Indonesia sudah meratifikasi kovenan internasional tentang HAM dan juga sebagai amanat BAB V UU Nomor 39 tahun 1999 pasal (71) yang mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan HAM. (*) Oleh: Johan Djamanmona Penulis adalah volunter di LBH Kaki Abu Editor: Timoteus Marten

Malapetaka lem aibon di Kota Injil

papua-anak-aibon

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fransiskus Xaverius Sie Syufi Manokwari merupakan Kota Injil yang harus mampu menjadi garam dan terang bagi kota-kota lain di Provinsi Papua Barat dan Papua. Realitas sosial di Manokwari sangat heterogen, karenanya harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral. Kota peradaban yang harus lebih menciptakan suasana yang religius dalam dimensi pengembangan dan pembangunan daerah melalui program kerja yang harus berlandaskan kebutuhan hidup masyarakat setempat. Judul tulisan ini mengacu pada diskusi terpimpin beberapa waktu lalu yang dilakukan kader-kader Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Manokwari Santo Thomas Villanova, Papua Barat. Diskusi ini memberikan sedikit ulasan tentang penyimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat di Manokwari dan Tanah Papua pada umumnya. Seiring pesatnya perkembangan kota dan tingkat kemajemukan masyarakat, Manokwari juga semakin diwarnai penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial yang semakin meningkat dalam aspek kehidupan masyarakat majemuk meresahkan masyarakat. Penyebab adanya penyimpangan sosial ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu, faktor internal faktor eksternal. Pada faktor internal yang terjadi adalah lebih menekankan peranan penting dari dalam keluarga inti seperti ayah, ibu, dan saudara/i kandung, sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pergaulan bebas dan lingkungan sekitar yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sosial. Dua faktor tersebut menjadi topik menarik dalam diskusi terpimpin yang menjadi rangsangan daya berpikir (stimulus) untuk terus bertukar pikiran menyangkut masalah sosial, yang generasi milenial hadapi sekarang ini, baik di Kota Injil, maupun Papua pada umumnya. Berdasarkan dua faktor di atas dapat menjadi indikator sebagai acuan dalam diskusi tentang masalah penyimpangan sosial yang sedang terjadi di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Secara kasat mata (observasi), generasi emas Manokwari terjerumus ke dalam kasus-kasus penyalahgunaan lem aibon, lem fox, dan lem sejenis lainnya. Untuk mengatasi mata rantai penyebaran kasus seperti ini orang tualah yang mempunyai peranan penting dalam membina, mengasuh, dan mendidik anak-anak agar tidak terjerumus ke dalam lingkaran setan. Orangtua adalah agen kontrol untuk anak-anaknya. Tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya untuk terjebak dalam dunia yang gelap atau tidak ada yang mau generasi penerus bangsa memiliki harapan masa depan yang suram. Anak-anak kerap melakukan perilaku menyimpang karena kurangnya perhatian dari orangtua dan ini yang menjadi faktor utama, sehingga si anak merasa bahwa tidak ada belaian kasih sayang. Acapkali mereka merasa minder dengan keadaan rumah yang tidak romantik. Untuk dapat memenuhi kebutuhan mentalitas sebagai seorang anak secara utuh, dalam artian si anak lebih dominan bergaul dengan lingkungan di luar rumah; seperti, pergaulan bebas, narkoba, seks bebas, minum mabuk, lem fox, dan lem aibon. Ketika seorang anak sudah terjerumus dalam melakukan aktivitas yang menyimpang atau dapat dikatakan sebagai mana dalam buku Dea Safira “Membunuh Hantu-Hantu Patriarki, Third Culture Kid” (Anak yang tumbuh dengan budaya di luar budaya orang tuanya). Dengan demikian dapat kita petik makna dari setiap penglihatan kita dan yang sering kita dengar dari teman-teman yang bercerita tentang adanya cap atau julukan (labeling) anak-anak lem aibon atau lem fox. Sebenarnya tidak boleh mengatakan hal itu jika kita ingin agar mereka (pecandu) berubah dalam arti bisa meninggalkan sikap yang tidak etis. Dan harus mengajak mereka untuk berkomunikasi secara baik, sehingga ada rasa persaudaraan yang membangkitkan semangat, memberi motivasi agar tidak melakukan hal serupa. Sebagai contoh kita dapat melihat di sepanjang emperan pasar Sanggeng, Wosi, dan Borobudur. Sangat disayangkan jika hal ini dibiarkan terus merajalela di kota tua ini. Ini bukan tentang apa tapi ini tentang manusia yang diciptakan sesuai citra Allah (Imago Dei). Maka kita harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (www.jogloabang.com). Dari hasil diskusi terpimpin kurang lebih tujuh orang ini menjadi sebuah kesimpulan yang dapat dihasilkan sebagai suatu rekomendasi yang penting untuk dapat ditingkatkan melalui diskusi lanjutan dan sebagai catatan penting untuk DPC PMKRI Manokwari, agar dapat menjadi pekerjaan rumah untuk turun mengambil data primer dengan metode wawancara, dan hasil yang didapat dari lapangan akan dimuat menjadi suatu tulisan berupa laporan yang akan dibawa kepada dinas terkait (Dinas Sosial), Bupati, dan DPRD Manokwari untuk menjadi suatu bahan pertimbangan dan evaluasi kerja. Agar bisa dapat mengatasi masalah yang dimaksudkan. (*) Penulis adalah mahasiswa Unipa Manokwari, Papua Barat Editor: Timoteus Marten

Uskup Mandagi dan harapan orang Papua

papua-uskup-mandagi

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Thomas Ch. Syufi Monsignor (Mgr) Petrus Canisius Mandagi, MSC dipilih sebagai Uskup Agung Metropolitan Keuskupan Agung Merauke (KAME) oleh Paus Fransiskus setelah umat Katolik Merauke menunggu lebih dari setahun. Namun, banyak umat Katolik di Tanah Papua, khususnya di Keuskupan Merauke menanti langkah-langkah spektakuler Uskup Mandagi, terutama misi pewartaan dan suara-suara kenabiaan atas persoalan sosial-kemanusiaan yang terus meliputi masyarakat Papua. Uskup Mandagi yang sebelumnya menjabat Uskup Keuskupan Amboina, Maluku, sejak 27 April 1994, juga Administrator Apostolik KAME sejak 7 Agustus 2019 setelah Vatikan menerima pengunduran diri Mgr. Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai Uskup Agung KAME itu secara resmi menjadi Uskup KAME terhitung 11 November 2020 berdasarkan Surat Nuncio Apostolik tanggal 11 November 2020 nomor 1962/2020. Esensi dari surat tersebut adalah perihal penugasan pemberitahuan kabar sukacita. Jadi, saat yang sama, Uskup Mandagi ditetapkan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Amboina hingga Vatikan menunjuk penggantinya untuk menduduki tahta kosong (sede vacante) di Amboina. Pada prinsipnya, Mandagi ditunjuk oleh Vatikan sebagai Administrator Apostolik adalah memerintah atas nama Paus dan kewenangannya tidak sama dengan Uskup Diosesan. Ia bertindak sejauh mewakili Bapa Suci pada takhta yang kosong. Jadi, kini Mandagi resmi sebagai Uskup KAME, maka ia sebagai Uskup Diosesan yang baru akan bertindak atas nama sendiri dan tidak lagi seperti Administrator Apostolik yang bertindak atas nama Paus. Alumnus Seminari Tinggi Pineleng, Manado, Sulawesi Utara, 1968-1975, yang menyabet gelar MA dari Universitas Katolik Leuven Belgia pada bidang Religious Studies tahun 1979, serta Lisensiat dalam bidang Teologi Dogmatik tahun 1981 ini, adalah Uskup Agung keempat Keuskupan Agung Merauke. Ia menjadi uskup keempat dari ketiga uskup terdahulu, yakni uskup pertama mendiang Mgr. Herman Tillemans MSC (1961-1972), almarhum Mgr. Jacobus Duivenvoorde MSC (1972-2004), dan pada 7 April 2014, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Nicolaus Adi Saputra, MSC sebagai imam pribumi (Indonesia) pertama menjadi Uskup KAME (2004-2020). Selain itu, kiprah Uskup Mandagi dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kemanusiaan tentu tak diragukan lagi. Berbagai persoalan sosial dan krisis kemanusiaan telah dilaluinya. Tentu bagi Mandagi, semua jalan Tuhan itu baik, termasuk jalan salib. Selama 26 tahun menjadi Uskup Amboina, ia dikenal sebagai tokoh yang dihormati dan tokoh perdamaian Maluku, karena secara konsisten memperjuangkan kerukunan, toleransi, persaudaraan sejati, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua pihak. Salah satu jasa perjuangan Mandagi untuk perdamaian dan kemanusiaan adalah ketika meletusnya konflik sosial bernuansa agama yang memorakporandakan Maluku tahun 1999.  Mandagi sebagai salah satu tokoh yang ikut memadamkan bara konflik sosial yang berkecamuk dua dekade itu. Meski populasi umat Katolik di Maluku tak lebih dari 10 persen, suara uskup kelahiran Minahasa, 27 April 1949 itu sangat didengar di sana. Ia dianggap sebagai “Bapak” orang Maluku oleh banyak kalangan di Maluku. Perjuangan Mandagi demi keadilan, perdamaian, dan persaudaraan sejati merupakan nilai kemanusiaan yang sangat fundamental. Ia menerjemahkan arti ajaran cinta kasih gereja dalam kehidupan nyata atau proses perjuangan sosial-kemanusiaan. Dalam pandangan Mandagi, semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh dan diciptakan sama oleh Tuhan Allah. Allah menciptakan manusia itu secitra dengan-Nya. Karenanya, manusia itu layak dihormati, dilindungi, dan diberdayakan kemanusiaannya. Tidak ada alasan apapun, termasuk alasan kepentingan suku, agama, golongan, jabatan, maupun kepentingan negara dan hukum, manusia yang satu harus menjadi musuh bagi manusia lain atau meminjam Thomas Hobbes (1588-179), “Homo homini lupus est” (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain) atau “..bellum omnia contra omnes” (perang semua, lawan semua). Jadi, tindakan apa pun yang merendahkan martabat kemanusiaan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan. Sebaliknya perlakukan  sesama manusia lain lain layaknya kita ingin diperlakukan. Setelah konflik sosial di Maluku yang menelan banyak korban nyawa, berbagai pihak bertanya apa alasan keterlibatan Mandagi dalam proses perdamaian tersebut? Mandagi bahkan menjawab bahwa ia memperjuangkan kepentingan kemanusiaan, bukan kepentingan kekristenan atau kekatolikan. Mandagi telah berlayar di atas semua kepentingan menjadi tiang api moral bagi semua orang di Maluku. Ia bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama lain, dan pemerintah di Maluku berhasil membawa Maluku kembali menemukan jalan perdamaian dan rekonsiliasi permanen. Kini masyarakat Maluku menikmati buah perdamaian yang telah diciptakan oleh Uskup Mandagi dan para tokoh Maluku lainnya.”Oke kita sudah berkelahi, kita sudah bertengkar, tetapi marilah kita saling mengampuni,” kata Mandagi (Hidupkatolik.com, 16 Maret 2018). Uskup Mandagi berprinsip bahwa pengampunan merupakan sumber persaudaraan sejati. Karena persaudaraan sejati itulah Mandagi tak henti-hentinya meneriakkan sikap hormat kepada sesama manusia, termasuk membuka proses dialog untuk mencari jalan damai atas konflik yang telah terjadi. Mandagi sering mengingat kata-kata Martin Luther King Jr. (1929-1968), teolog dan aktivis kemanusiaan terkenal abad ke-20 berkebangsaan Amerika: “Lawan bisa diubah menjadi kawan hanya dengan kasih dan pengampunan.” Bagi Mandagi, seperti Marthin Luther, kedamaian itu bisa hadir kalau ada kasih sayang dan pengampunan. Realitas persoalan Papua Tanah Papua, khususnya wilayah KAME, juga merupakan negeri yang berselimut masalah, terutama dugaan pelanggaran HAM, baik yang sengaja dilakukan (by commission), maupun sengaja dibiarkan (by omission) oleh negara. Pelanggaran HAM yang terjadi sangat variatif, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun kekerasaan militer. Tentu Uskup Mandagi telah mengetahui banyak fenomena sosial kemanusiaan orang Papua sejak menjadi Administrator Apostolik KAME. Berbagai masalah itu antara lain, program yang diusung pada 2010, yakni pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke (MIFEE), pro-kontra isu pemekaran Provinsi Papua Selatan, dan kekerasaan militer. Untuk proyek MIFEE, pemerintah menggunakan dalih bahwa Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional. Hal tersebut dipandang keliru atas terobosan yang dilakukan  pemerintah melalui proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1, 2 juta hektare.  Langkah pemerintah itu tidak membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Merauke dan Papua secara umum. Kehadiran MIFEE bahkan dinilai sebagai bentuk anomali terhadap realitas kehidupan masyarakat asli yang sudah diwariskan secara turun-temurun hidup dengan mengonsumsi makanan lokal, seperti sagu. Format transformasi lahan untuk beroperasinya perusahaan  MIFEE berpotensi mengancam keberadaan hutan sagu, yang merupakan makanan pokok masyarakat lokal, juga identitas budaya orang Papua. Misalnya, penelitian antropolog Australia, Sophie Chao—yang menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama suku Marind-Anim di Merauke—berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat. Menurut Sophie yang pada tahun 2019 mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari Asian Studies Association of Australia bahwa dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program MIFEE terhadap masyarakat setempat.

Darimana dana paslon dalam pilkada?

Papua-pilkada-2020

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Engelbert Dimara Setiap bakal pasangan calon (paslon) kepala daerah membutuhkan dana yang sangat besar untuk kepentingan pertarungan pemilihan kepala daerah (pilkada), tetapi tahukah Anda berapa jumlah dan dari mana mendapatkan dana sebesar itu? Biasanya pada tahap awal, tiap paslon sudah menyiapkan Rencana Anggaran Biaya (RAB), yang kemudian akan dilampirkan di proposal dan digunakan untuk mencari dana. Demi menggapai maksud dan tujuannya, setiap paslon akan berusaha mencari dana sebanyak yang dibutuhkan. Tentu maksud dan tujuan dari setiap paslon untuk maju dalam kontestasi politik di daerahnya itu baik, tetapi sangat disayangkan jika paslon yang terpilih kemudian terikat hutang dari perjanjian-perjanjian dengan berbagai pihak untuk mendapatkan dana. Demi menyelesaikan utangnya, tujuan yang baik tidak tercapai secara maksimal, karena ternyata rakyat terpaksa dikorbankan. Rakyatnya kehilangan tanah atau sumber daya alamnya untuk kepentingan investasi. Pilkada dan tujuannya Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau pilkada merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005). Artinya pilkada harus dilakukan secara demokratis, di mana rakyat sendiri yang memilih pemimpinnya secara langsung. Tujuannya adalah, supaya kepala daerah terpilih harus bekerja dan bertindak atas nama rakyat. Rakyat pun dapat memberi kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri. Marijan (2010:37) dalam Cucu Sutrisno (2017) mengatakan, “Bahwa dilaksanakannya pilkada bertujuan agar kepala daerah benar-benar bertindak atas nama rakyat. Sehingga pemilihannya harus dilakukan sendiri oleh rakyat melalui Pemilu.” Pandangan Marijan ini kemudian ditambahkan oleh Sutrisno, dengan mengatakan, “Penyelenggaraan pilkada untuk memilih kepala daerah merupakan mekanisme demokratis agar rakyat dapat menentukan kepala daerah yang dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.” Pelaksanaan pilkada ini secara umum tentu bertujuan untuk memilih pemimpin yang akan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya, sehingga semua roda pembangunan dapat berjalan dengan baik, dan rakyat hidup sejahtera dalam segala aspek kehidupan, termasuk terjaminnya hak hidup dan hak kepemilikan atas sumber daya alamnya. Untuk itu diharapkan para paslon haruslah figur-figur yang memiliki niat dan tujuan yang mulia, serta benar-benar siap bertarung untuk mewujudkan impian mereka. Kesiapan pasangan calon Setiap figur yang hendak maju dalam pilkada, harus benar-benar siap. Kesiapan misalnya dari sisi kemampuan finansial, kemampuan intelektualitas, mempunyai jaringan sosial yang luas, berintegritas, dan bermoral baik. Kesiapan seperti di atas merupakan modal para paslon, yang oleh sosiolog Prancis Pierre Felic Bourdieu disebut sebagai modal politik. Ia membagi modal politik menjadi modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik (Agus Dinas, Modal Politik dalam dara.co.id, 8 November 2018). Yang menjadi perhatian di sini adalah modal ekonomi, lebih khusus lagi mengenai dana atau  uang—modal yang digunakan untuk membiayai seluruh proses, belanja partai politik atau biaya pengumpulan KTP oleh paslon independen, biaya kampanye, ongkos saksi-saksi di setiap TPS, pengawalan suara sampai penetapan oleh KPUD, serta berbagai biaya lainnya. Untuk itu, setiap paslon harus mempunyai kesiapan dana yang cukup. Berapa besar kisaran dana yang dibutuhkan oleh setiap paslon? Tentang hal ini pelaksana tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Senin (2/12/2019) seperti dilansir kompas.com, 3 Desember 2019 mengatakan, paslon dalam pilkada bias mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pilkada. Biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 – 30 miliar, bahkan ratusan miliar untuk pemilihan bupati dan triliunan untuk pemilihan gubernur. Paslon petahan mungkin memperoleh dana sebesar itu. Bagaimana dengan paslon yang baru mencalonkan diri, darimana mereka memperolehnya? Sponsor dana dari pemodal dan kompensasinya Dukungan dana itu bias darimana saja, tergantung kemampuan paslon untuk mencari atau mengupayakannya. Bahtiar melanjutkan, uang tersebut tidak seluruhnya berasal dari kantong pribadi paslon, tetapi juga pihak sponsor (pemodal) untuk menyokong ongkos politik paslon dalm pilkada. Dari kantong pribadi, paling tidak, sekitar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Jelas bahwa sumber dana dari paslon sendiri nilainya kecil. Tapi nilai yang besar merupakan sponsor dari pihak pemodal. Tentu dengan perjanjian yang mengikat secara hukum, termasuk bentuk kompensasinya. Kalau kompensasinya berupa izin bisnis di daerah, maka bisnisnya bisa berupa usaha perdagangan. Misalnya membangun mal atau supermarket, atau usaha perhotelan, serta usaha properti. Selain itu ada juga izin lokasi untuk investasi di sektor pengelolaan hutan, perkebunan sawit, dan pertambangan. Semua jenis usaha seperti di atas tentu akan berhubungan dengan masyarakat adat. Pembangunan mal, supermarket, hotel, perumahan atau rumah toko (ruko) semuanya butuh tanah. Untuk mendapatkan tanah harus berurusan dengan masyarakat adat sebagai pemilik dalam hal pelepasan tanah. Yang menjadi masalah adalah jika izin lokasi pengelolaan hutan, perkebunan dan pertambangan. Perusahaan mendapat izin lokasi dari kepala daerah tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik sumber daya alam. Hal ini yang akan menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan. Jika terjadi konflik, maka apa yang harus dilakukan atau bagaimana jalan keluarnya? Akan sulit mencari solusi terbaiknya, jika terlanjur dibuat perjanjian dan diberikan izin lokasi, sehingga pihak investor telah masuk dengan usahanya di wilayah milik masyarakat adat. Oleh karena itu, diharapkan setiap figur yang berniat menjadi kepala daerah harus menyiapkan dana sebelum waktunya mencalonkan diri. Tetapi kalau terpaksa menerima dukungan dana dari pemodal, maka perjanjian kompensasinya cukup dengan izin untuk usaha perdagangan, properti, dan perhotelan. Jangan izin lokasi  pengelolaan sumber daya alam milik masyarakat adat, karena tujuan dari pilkada bukan sekadar sukses pelaksanaannya, dan paslon terpilih kemudian menjadi kepala daerah. Tetapi kepala daerah terpilih harus bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya. (*) Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Tinggal di Kota Jayapura Editor: Timoteus Marten

Menilik peran pemda berdasarkan Perppu Nomor 1/2020 dalam perspektif state centered approach

papua-pandemi-covid-19

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Yakobus Richard Murafer Dalam konsep teori negara organis yang dikemukakan oleh para pemikir klasik seperti Aristoteles dan Plato, disebutkan bahwa negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan sendiri (otonom). Artinya negara mengemban amanah kebaikan umum, penjaga moralitas, dan kesejahteraan masyarakat. Negara diletakkan lebih terhormat dan lebih utama daripada kepentingan individu atau masyarakat. Sebagai organisme negara diibaratkan sebagai kepala yang lebih tinggi dari badan. Caporaso dan Levine (1992) melihat arti negara dalam perspektif state centered approach. Perspektif ini memiliki makna tentang kemandirian negara yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri, dan melihat cara negara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut akan berimplikasi terhadap urusan ekonomi dan politik. Caporaso dan Levine menjelaskan bahwa pendekatan yang berpusat kepada negara menyatakan bahwa agenda dari negara dan perekonomian merupakan agenda dari masyarakat. Pemikiran mengenai state centered approach dipertegas kemudian oleh Stephen D. Krasner yang menyebutnya sebagai statist approach. Dalam pendekatan statis, Krasner menyatakan bahwa negara sebagai aktor yang dominan di dalam politik. Krasner memandang bahwa negara memiliki kekuasaan yang relatif otonom dalam bertindak untuk dan atas namanya sendiri. Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Secara moral politik kelahiran Perppu tersebut dapat ditafsirkan ancaman pandemi Covid-19 memberikan dampak secara nyata terhadap situasi dan kondisi perekonomian negara. Negara harus menyiapkan langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi tantangan dan ancaman krisis ekonomi yang akan terjadi akibat dari pandemic Covid-19. Ketentuan Perppu Nomor 1/2020 memberikan kewenangan kepada seluruh pemerintah daerah untuk me-reset APBD masing-masing. Sebagaimana tertuang dalam pasal 3 Perppu Nomor 1/2020, bahwa pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dijelaskan bahwa terhadap daerah yang dilanda maupun yang belum dilanda pandemi Covid-19 dapat menggunakan sebagian atau seluruh belanja infrastruktur sebesar 25% dari Dana Transfer Umum (DTU) untuk penanganan Covid-19, baik untuk sektor kesehatan, maupun untuk jaring pengaman sosial (social safety net) dalam bentuk penyediaan logistik beserta pendistribusiannya dan/atau belanja lain yang bersifat mendesak yang ditetapkan pemerintah. Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Untuk mewujudkan refocusing tersebut juga tertuang dalam Peraturan Mendagri Nomor 20 Tahun 2020. Disebutkan bahwa  setiap pemerintah daerah bisa melakukan revisi APBD untuk penanganan Covid-19. Beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan ada tiga fokus utama yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu meningkatkan fasilitas kesehatan, meningkatkan daya tahan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat ekonomi rentan, serta fokus yang terakhir yaitu adalah membantu dunia usaha untuk tetap hidup. Sebagai aktor negara yang ada di daerah, keseriusan pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sangat diharapkan oleh setiap masyarakatnya, agar dapat menangani wabah covid-19 secara cepat, tepat, dan profesional. Untuk menjawab tantangan publik tersebut beberapa fungsi yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah, yaitu dengan menerapkan beberapa fungsi pengelolaan anggaran. Pertama , fungsi alokasi. Pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola segala problema yang terkait penanganan Covid-19, agar tepat sasaran, secara khusus kepada masyarakat penerima manfaat; Kedua, fungsi sustainibilitas, pemerintah daerah dapat menjamin keberlanjutan dari program penanganan Covid-19 melalui kebijakan anggaran yang telah disusun. Dengan berpedoman kepada kedua fungsi tersebut  kewenangan refocusing telah diberikan kepada pemerintah daerah segera mengatasi permasalahan pandemi Covid-19. Namun harus diakui dalam menyelamatkan kondisi perekonomian nasional di masa pandemi Covid 19 sampai saat ini tidak semata-mata hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterlibatan aktor nonnegara juga sangat dibutuhkan untuk membantu pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun disadari, pendekatan state centered approach hanya melihat dari upaya yang dilakukan oleh agen negara yang bernama pemerintah, sehingga harapan publik tidak terbatas penanganan krisis ekonomi. Namun ekspektasi publik yang sangat besar agar pemerintah bisa mengatasi problem krisis kesehatan pandemi Covid-19, yakni dengan menemukan vaksin untuk mencegah penularan Covid-19. (*) Penulis adalah mahasiswa asal Papua pada program doktor ilmu politik Universitas Indonesia Editor: Timo Marthen

Joe Biden dan masa depan HAM Papua (bagian 2)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Thomas Ch. Syufi Laporan Amnesti Internasional (AI) Indonesia tahun 2018 Don’t bother, just let him die: Killing with impunity in Papua (Jangan repot-repot, biarkan saja dia mati: Membunuh dengan kekebalan hukum di Papua) mencatat hampir 100 orang telah dibunuh secara tidak sah dalam waktu kurang dari delapan tahun (2010-2018)—sekitar satu orang setiap bulan—yang menjadi noda serius pada catatan HAM Indonesia. Dalam laporan itu, setidaknya 95 kematian dalam 69 insiden antara Januari 2010 dan Februari 2018. Jadi, peristiwa mengenaskan ini, 56 di antaranya terjadi dalam konteks kegiatan non-kemerdekaan, sementara 39 lainnya terkait dengan aktivitas politik damai, seperti demonstrasi atau menaikkan bendera kemerdekaan Papua, bintang kejora. “Meskipun jumlah korban tewas sangat mengkhawatirkan, namun pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Tak satu pun dari mereka telah diadili dan dihukum di pengadilan hukum independen, di mana hanya segelintir kasus yang mengakibatkan sanksi disiplin atau pengadilan di pengadilan militer,” kata Usman Hamid, Direktur AI Indonesia. Papua kembali dirundung duka atas tertembaknya beberapa warga sipil. Pendeta Yeremia Zanambani tewas dengan luka tembak di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Sabtu (19/9/2020). Menurut laporan Komnas HAM RI, pelaku penembakan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani diduga salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa berisinial AHM. Tertembaknya tokoh agama itu telah disoroti masyarakat internasional, salah satunya negara di Pasifik, Republik Vanuatu, melalui perdana menteri Bob Loughman saat Sidang Majelis Umum PBB sesi-75 di New York, Amerika Serikat, 27 September 2020. Loughman bahkan mempertanyakan sejauh mana kehendak baik pemerintah Indonesia mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung dan mengamati atau memantau situasi dan perkembangan HAM di kedua provinsi di ujung timur Indonesia (Papua dan Papua Barat). Pertanyaan Vanuatu itu merujuk pada rekomendasi 79 negara anggota Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP) soal krisis HAM di Papua Barat pada KTT Kepala Negara dan Pemerintahan ACP ke-9 di Nairobi, Kenya, Afrika Timur, 9-10 Desember 2019. Resolusi itu sebagai bentuk penguatan atau pembobotan diplomatik atas resolusi yang disahkan oleh Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Agustus 2019. Hakikat kedua resolusi tersebut adalah menyerukan semua pihak untuk melindungi dan menegakkan HAM dan bekerja untuk mengatasi akar/penyebab konflik di Tanah Papua, juga  mendorong Indonesia dan Komisi Tinggi HAM PBB memberikan laporan berdasarkan informasi tentang situasi HAM di Papua Barat sebelum pertemuan PIF 2020. Ini akan sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI jika isu HAM Papua terus dibiarkan berlarut-larut tanpa proses penyelesaiannya. Jadi, darah para korban pelanggaran HAM ibarat air telaga di atas gunung yang begitu tinggi, yang sewaktu-waktu ketika hujan berturut-turut airnya mengendap dan merembes keluar, lalu menyapu habis tembok-tembok kedaulatan dan mengalir masuk ke zona kebebasan. Jadi, internasionalisasi isu pelanggaran HAM bisa saja dicegah dengan cara-cara bermartabat, yakni keadilan dan kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM, karena isu pelanggaran HAM Papua telah menjadi bola liar yang terus bergelinding ke mana-mana, baik di Oseania, Afrika, Karibia, maupun Eropa. Dulu Timor Timur (kini Timor Leste) hanya mendapat dukungan kuat dari satu negara anggota PBB bekas koloninya, Portugal. Berkali-kali Portugal meloloskan beberapa resolusi penting di PBB perihal aneksasi Timor Timur, yang membuat Indonesia terpojok di panggung dunia. Akhirnya, Portugal dan para aktivis Fretilin sukses membawa Timor Timur keluar dari pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999) melalui referendum 30 Agustus 1999. Apalagi Papua kini punya gold opportunity karena membangun aliansi dengan negara-negara Pasifik yang berbasis pada persatuan ras Melanesia dan terhimpun dalam Pacific Island Forum (Forum Kepulauan Pasifik/PIF) akan segera meloloskan resolusi tentang right to self-determination bagi bangsa Papua. Jadi, masyarakat hingga elite politik di kawasan Pasifik banyak yang telah mengetahui kemelut kemanusiaan dan desas-desus gejolak politik di Tanah Papua selama setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari Indonesia. Para aktivis OPM bahkan terus melakukan lobi dan konsolidasi politik ke negara-negara Pasifik, untuk meminta dukungan moral dan politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. OPM akan memainkan peran diplomasi hingga semua negara Pasifik secara total melalui kendaraan politiknya—MSG dan PIF—untuk segera bringing West Papua issues ke level Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB. Para aktivis kemerdekaan Papua tetap berpijak pada sentimen persamaan ras serumpun (brotherhood) Melanesia. Mereka berdalih pada narasi Papua Barat adalah masa depan Pasifik, Melanesia, Mikronesia, dan masa depan Polinesia. Sekutu Papua di Pasifik telah sukses membawa isu Papua ke forum ACP. Ini akan menjadi agenda rutin yang akan terus dibahas dan diangkat oleh petinggi negara-negara anggota ACP. Apalagi kini Joe Biden terpilih sebagai Presiden AS, sehingga isu pelanggaran HAM dan kemerdekaan Papua akan semakin liar dan mendapat perhatian serius dari Amerika. Belum lagi tertembak matinya Rufinus Tigau, katekis Gereja Katolik di Stasi Jalae, Paroki Santo Michael Bilogai, Intan Jaya, Papua. Laporan resmi Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo menyebutkan, Rufinus ditembak mati oleh Tim Gabungan TNI-Polri di Intan Jaya, Papua, Senin, 2 Oktober 2020 (Katoliknews.com, 27 Oktober 2020). Kejadian ini telah menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk para uskup di Tanah Papua dan Kardinal Indonesia yang juga Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Perwakilan tokoh-tokoh Gereja Katolik Indonesia yang diwakili Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM dan Uskup Amboina Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC (kini uskup Keuskupan Agung Metropolitan Merauke dan Administrator Apostolik Keuskupan Amboina) bersama Kardinal Indonesia Mgr. Ignatius Suharyo, Pr. langsung melakukan pertemuan tatap muka dengan Menkopolhukam, Mahfud MD, Minggu (1/11/2020). Dalam pertemuan itu tokoh-tokoh agama Katolik menyampaikan keprihatinannya atas tertembaknya Rufinus Tigau. Tindakan brutal aparat terhadap pelayan Gereja Katolik itu akan berbuntut panjang jika pelaku tidak bertanggung jawab secara hukum. Hal tersebut akan menjadi laporan Gereja Katolik kepada pusat Gereja Katolik di Roma (Vatikan), bahkan menjadi perhatian organisasi-organisasi berlabel Katolik, seperti Fransiskan Internasional, Pax Romana, Pergerakan Mahasiswa Katolik Internasional (IMCS), dan lain-lain akan terus melakukan advokasi internasional terkait kasus ini. Apalagi para petinggi OPM bersama negara-negara pendukungnya di Pasifik akan melakukan manuver politik dan gerilya/diplomasi menemui Paus Fransiskus untuk memberi laporan terkait situasi HAM di Tanah Papua, termasuk tertembaknya katekis di Intan Jaya. Para aktivis Papua bersama negara pendukung seperti Vanuatu akan menggunakan peluang ini untuk melaporkan situasi HAM di Tanah Papua kepada Paus Fransiskus sebelum Joe Biden dilantik sebagai Presiden Amerika, 20 Januari 2021. Dalam “kultur” negeri Paman Sam, siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS, setelah dilantik akan berkunjung ke Vatikan

Joe Biden dan masa depan HAM Papua (bagian 1)

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Thomas Ch. Syufi Kini dunia tergempar atas terpilihnya Joseph Robinette “Joe” Biden (77) sebagai Presiden Amerika Serikat bersama Wakil Presiden Kamala Harris menggantikan Donald Trump-Mike Pence yang telah memerintah AS satu periode, dan Trump dikalahkan saat pencalonannya kembali dalam Pemilu AS, 3 November 2020. Joe Biden terpilih sebagai presiden AS dengan meraup 290 electoral votes (suara publik) di atas rivalnya, Donald Trump yang hanya meraup 214 electoral votes. Setelah melewati kompetisi yang sengit, Biden keluar sebagai pemenang yang dilantik sebagai penghuni baru di “Ruang Oval” the White House (Gedung Putih) pada 20 Januari 2021. Mengapa hampir seantero penduduk dunia setia mengikuti proses pemilihan presiden Amerika Serikat? Amerika merupakan sebuah negara adidaya (super power) yang memiliki pengaruh (influence) besar terhadap geopolitik dunia, baik di bidang ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan, maka setiap pesta demokrasi pemilihan presiden AS menyedot perhatian dunia. Satu tahap perjuangan demokrasi elektoral dan prosedural telah usai, dan langkah-langkah konkret yang dilakukan Joe Biden-Kamala Haris ke depan bagi rakyat Amerika, sekaligus membawa Amerika benar-benar menjadi “polisi” dunia yang ikut menegakkan keadilan, perdamaian, demokrasi, dan kemanusiaan bagi dunia, baik di Timur Tengah, Tibet, Xinjiang, Hongkong, dan Taiwan di Asia, Afrika, Amerika Latin, tentu isu pelanggaran HAM Papua di kawasan Pasifik juga tak luput dari perhatiannya, sebab Biden merupakan presiden dari Partai Demokrat—yang secara historis partai tersebut beridelogi liberal atau liberalisme sosial dan progresivisme, yang lebih menekankan pada pentingnya perlindungan terhadap HAM, proteksi kaum minoritas, mengenakan pajak yang tinggi bagi kelas menengah ke atas, serta mendukung hak-hak kemerdekaan semua orang. Masa depan tatanan global dipertaruhkan. Joe Biden memiliki visi yang secara fundamental sangat berbeda dengan pendahulunya, Donald Trump, soal kebijakan politik luar negeri. Dalam pandangan Trump, dunia adalah salah satu bentuk nasionalisme “America First”, meninggalkan perjanjian internasional yang diyakini merugikan AS, sedangkan Joe Biden jauh lebih tradisional dari sisi peran dan kepentingan Amerika, didasarkan pada lembaga internasional yang didirikan setelah Perang Dunia II, seperti PBB dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), serta berdasarkan nilai-nilai demokrasi yang dianut secara universal ala Barat. Ini merupakan suatu aliansi global, di mana Amerika memimpin negara-negara bebas dalam memerangi ancaman transnasional. Perubahan yang hendak dilakukan dalam kebijakan luar negeri Joe Biden adalah soal pendekatan sekutu, perubahan iklim, dan Timur Tengah, serta mendorong adanya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan terhadap HAM. Biden bahkan akan menggalang kekuatan demokrasi untuk melawan apa yang dipandangnya sebagai peningkatan gelombang otoritarianisme sebagai langkah penyelamatan citra Amerika yang dinilai rusak pada pemerintahan Trump, yang  banyak “berbulan madu” dengan para diktator di berbagai negara yang sudah terlalu banyak mengisap dan menciptakan “sungai darah” dari rakyatnya sendiri. Tindakan yang mengabaikan nilai dan martabat kemanusiaan adalah bentuk dehumanisasi, pelanggaran terhadap HAM itu sendiri. Biden tentu akan anti terhadap kebijakan luar negeri “Paman Sam” di bawah kepemimpinan Trump, yang selama ini dinilai cenderung pragmatis, merusak perdamaian, mengabaikan persaudaraan, dan menggerus nilai serta martabat kemanusiaan. Misalnya, secara sepihak Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sekaligus memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sehingga stabilitas di Timur Tengah semakin terkikis. Trump melalui kementerian luar negeri juga mengizinkan (memberikan visa) kepada Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto (yang diduga memiliki catatan kelam soal HAM di Indonesia) untuk masuk ke Amerika, merupakan  pelanggaran terhadap undang-undang tentang larangan Amerika Serikat memberikan bantuan kepada militer asing yang melakukan pelanggaran HAM tanpa hukuman. Jalan damai untuk Papua Berbagai pernyataan sejumlah politisi dan akademisi berseliweran di media massa tanah air, yang mulai ketar-ketir dengan memberi tanggapan atas terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat, yang dihubungkan dengan pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih yang tak kunjung berakhir. “Sebagai demokrat, Biden akan lebih fokus pada isu-isu terkait dengan hak asasi manusia (HAM). Seperti banyak negara lain, Indonesia sendiri masih berkutat isu pembangunan HAM, khususnya di Papua yang menjadi perhatian banyak negara lain,” kata Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung (nkriku.com, November 2020). “Indonesia harus bersiap jika isu HAM akan disorot oleh AS, terlebih sekarang negara ini (Indonesia) menjadi perhatian karena dianggap strategis bagi rivalitas Washinton dan Beijing,” katanya. “Ketika Biden memimpin (AS), Indonesia harus lebih transparan terhadap isu hak asasi manusia (HAM) di sini (termasuk Papua). Presiden dari Demokrat biasanya cenderung memperhatikan kondisi penegakan HAM di negara lain,” kata Hikmahanto Juwana, pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (tempo.co, 8 November 2020). “Kan mungkin kalau Biden yang akhirnya terpilih nanti, ya Indonesia harus waspada dengan Papua, karena Demokrat ini kan lebih mementingkan hak-hak asasi manusia, kemudian lebih mementingkan hak-hak kemerdekaan, sehingga mungkin Indonesia lebih harus berjuang bagaimana memprotek Papua,” kata Dahlan Iskan, pemilik media Jawa Pos group dan mantan Menteri BUMN zaman SBY (Sripoku.com, 7 November 2020). Sederet pernyataan dari para akademisi dan tokoh nasional tersebut memberi gambaran dan bukti bahwa situasi HAM di Tanah Papua memang tidak menguntungkan (belum beres terurus). Proses pelanggaran HAM memang masih terus terjadi. Belum ada ikhtiar untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak Papua menjadi bagian dari NKRI, 1 Mei 1963 hingga kini. Bersambung. (*) Penulis adalah aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Editor: Timoteus Marten

Rakyat Papua katakan otsus gagal, apa jawaban pemerintah? (2)

papua-demo-tolak-otsus-jilid-II

Papua No. 1 News Portal | Jubi Paparkan terlebih dahulu pencapaian 20 tahun otsus, bukan paksakan otsus lanjut tanpa indikator Oleh: Welis Doga Soal otsus masih dibutuhkan atau tidak mesti datang dari penerima manfaat (OAP), bukan dari pemberi program atau pendonor. Penerima manfaat bukan benda mati atau binatang, sehingga harus terus diatur-atur, tetapi manusia sama seperti orang Indonesia lainnya dan dunia. Mengapa pemerintah enggan memublikasikan 20 tahun hasil otsus Papua, penyalahgunaan triliunan anggaran otsus Papua tetap menjadi bagian lain kekhawatiran adanya desakan rakyat terhadap audit anggaran otsus. Hasil audit BPK terhadap dana otsus Papua dan Papua Barat tahun 2011-2017 membuktikan adanya persoalan. Misalnya pada 5 Maret 2018 BKP RI dalam menyampaikan hasil audit dana otsus Papua menyimpulkan dua persoalan yang ditemukan dari hasil audit, yaitu “regulasi dan pengawasan internal”. Mengapa pemerintah memaksakan otsus dilanjutkan? Terlepas dari tidak ada pasal yang mengatur tentang batasan berlakunya UU Otsus Papua. Apakah karena selama 20 tahun otsus di Papua tidak maksimal dalam mensejahterakan orang Papua? Ataukah khawatir jika dengan tidak diberlakukannya lagi UU Otsus Papua, kemudian sejak itu pula Papua akan merdeka? Ataukah karena pemerintah takut dihujani kritik yang berujung ketidakpercayaan terhadap Indonesia oleh para negara pendonor atau dunia internasional atau rakyat Papua sendiri tentang kegagalan otsus di Papua, juga karena di sisi lain misalnya pelanggaran HAM tumbuh subur di era otsus Papua? Entahlah! Dari beberapa pertanyaan di atas, menurut saya, jika harus kembali pada awal munculnya ide atau awal dimana dasar pemberiaan UU Otsus Papua, maka satu jawaban yang dapat mendekati adalah pemerintah tentunya diselimuti suatu kekhawatiran besar. Kekhawatiran dimaksud adalah jika pemerintah dipaksakan untuk memaparkan kinerja 20 tahun otsus kepada publik Papua dan Indonesia, maka yang akan terjadi adalah pemerintah dihujani kritik dari berbagai pihak. Hujan kritik dimaksud adalah penilaian publik terhadap capaian otsus yang tidak maksimal bahkan gagal, jika itu pemerintah hendak memaparkan kepada publik. Mengapa hujan kritik itu bakal ada, bahwa realitas pelaksanaan otsus Papua selama 20 tahun dapat membuktikan bahwa tidak maksimal bahkan jauh dari harapan sebagaimana amanat UU otsus Papua sendiri. Buktinya 20 tahun Papua dengan triliunan anggaran otsus yang bersumber dari 2% DAU nasional, pemerintah belum mampu menyejahterakan orang Papua. Justru angka kemiskinan terus meningkat dari waktu ke waktu. Kata gagal atau ketidakberhasilan di sini bukan semata-mata karena adanya aspirasi rakyat Papua menolak otsus karena dianggap gagal. Berbagai pihak, termasuk pejabat negara, baik di pusat, maupun daerah malahan mengakui kegagalan itu. Anggota Komisi II DPR RI, Abdul Hakam Naja, pada September 2019 di Jakarta dalam sebuah diskusi mengenai otsus Papua mengatakan, setelah reformasi, UU Otsus Papua adalah yang paling awal dibuat. Disusul oleh Jakarta, Aceh, dan Yogyakarta. Namun dinilai tetap gagal merespons masalah-masalah yang menyelimuti provinsi yang kaya hasil bumi itu, sehingga pendekatannya selalu tidak komprehensif. Naja menambahkan pemerintah tadinya berharap pelaksanaan otsus di Papua dalam dua dasawarsa akan menghasilkan kemajuan pesat di sana. “Apa yang terjadi hari ini? Saya kira kita melihat Papua adalah daerah yang paling miskin dan bahkan kemiskinannya itu, jika dengan standar nasional, kemiskinannya tiga kali lipat di Papua 27 persen (tingkat) kemiskinannya, di nasional 7 persen,” ujarnya (voaindonesia.com, 10 September 2019). Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan, Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, dalam diskusi daring “Otonomi Khusus dan Masa Depan Peace Building di Tanah Papua” yang digelar Jaringan Damai Papua (JDP) dan Jubi, menyatakan otsus Papua telah gagal sejak awal. Perdebatan kegagalan otsus Papua ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir. Namun menurutnya sejak awal otsus Papua sebenarnya telah gagal. Dalam diskusi yang sama, dosen Universitas Melbourne Australia, Profesor Dr. Richard Chauvel, mengatakan otsus sering dianggap jawaban pemerintah terhadap tuntutan merdeka rakyat Papua, tetapi baginya otsus bukan hanya sekadar jawaban terhadap aspirasi merdeka, juga produk yang memiliki nilai kepentingan identitas OAP. “Namun amanat Undang-Undang Otsus belum sepenuhnya dilaksanakan. Parpol lokal dan lambang daerah bisa di Aceh mengapa tidak di Papua?” katanya. “Belum ada KKR, pelanggaran HAM sebagai isu politik terus-menerus, isu-isu yang diharapkan diselesaikan Undang-Undang Otsus namun itu belum terselesaikan,” ujarnya (Jubi.co.id, 3 Agustus 2020). Kekhawatiran lain adalah jika pemerintah memaksakan UU Otsus Papua diberhentikan, walaupun dalam UU Otsus Papua sendiri tidak ada pasal yang mengatur tentang batasan waktu berlakunya UU Otsus Papua, maka yang pemerintah khawatirkan adalah menggaungnya isu Papua merdeka. Meski UU Otsus diberhentikan, belum tentu saat itu pula dengan menguatnya isu Papua merdeka kemudian kemerdekaan Papua itu dapat terwujud mendadak. Jika otsus harus lanjut, apa indikator revisi pasal 34 Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut tak ada perpanjangan otsus Papua. Otsus tak bisa diperpanjang lantaran hal itu adalah sebuah kebijakan yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua. “Saya tegaskan tidak ada perpanjangan otsus Papua karena keberlakuan otsus itu memang tidak perlu diperpanjang. Tidak ada perpanjangan, tidak ada perpendekan,” katanya pada 1 Oktober 2020. Alih-alih perpanjangan otsus, Mahfud menyebut yang tengah dibahas saat ini ialah terkait dengan perpanjangan dana yang akan diberikan dalam pelaksanaan otsus Papua itu, sebab pengaturan dana ini, sesuai UU memang akan berakhir 2021. “Otsus Papua sudah berlaku dan sudah disepakati secara nasional, secara komprehensif. Sekarang kita bicara dananya karena dana itu akan berakhir tahun depan,” katanya. Selain mengatur status kekhususan otonomi, UU Otsus juga mengatur soal pembagian dana antara pusat dan daerah, di antaranya, pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus yang menetapkan bahwa penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otsus yang besarnya setara dengan 2 persen dari platfom DAU nasional. Pasal 34 ayat (6) UU Otsus Papua menyebutkan, dana perimbangan bagian Provinsi Papua, kabupaten/kota, dari bagi hasil pajak berlaku selama 20 tahun (cnnindonesia.com, 2 Oktober 2020). Pertanyaannya, apa indikator pemerintah terus mendorong revisi pasal 34 UU Otsus Papua sebagaimana dikatakan Menkopolhukam, Mahfud MD. Apakah karena 20 tahun anggaran otsus Papua yang bersumber dari 2% platfon DAU yang nilainya mendekati ratusan triliun itu tidak maksimal? Ataukah dengan revisi pasal 34 itu dan lanjutkan penyediaan anggaran dalam rangka pelaksanaan otsus kemudian target pembangunan Papua yang belum selesai selama 20 tahun itu diyakini akan dicapai? Ataukah dengan direvisinya pasal 34 itu kemudian pemerintah menjamin rakyat Papua akan keluar dari ketertinggalan? Jika ia, berapa tahun lagi penyediaan anggaran dalam

Rakyat Papua katakan otsus gagal, apa jawaban pemerintah? (1)

papua-otsus-demo-mahasiswa-tolikara

Papua No. 1 News Portal | Jubi Paparkan terlebih dahulu pencapaian 20 tahun otsus, bukan paksakan otsus lanjut tanpa indikator Oleh: Welis Doga Dalam memasuki tahun kedua puluh pemberlakukan otonomi khusus (otsus), pro-kontra keberadaan produk hukum bernama UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua itu menjadi topik terhangat pertengahan tahun ini. Mayoritas rakyat Papua menyimpulkan pelaksanaan UU Otsus Papua telah gagal total. Oleh karena itu, produk hukum ini dianggap tidak relevan lagi untuk dipertahankan di Papua. Sedangkan pemerintah tetap ngotot, seperti terus memaksakan kehendak, bahwa otsus harus dilanjutkan. walaupun pemerintah tidak dapat mempresentasikan indikator keberhasilan atau kegagalan 20 tahun otsus di Papua. Pelaksanaan otsus di Papua tanpa manfaat yang berarti bagi orang asli Papua selama 20 tahun menjadi dasar penolakan otsus yang terus disuarakan. Rakyat Papua juga menolak keberlanjutan UU Otsus Papua dengan meluncurkan Petisi Rakyat Papua (PRP) Tolak Otsus pada 22 Juli 2020 di Jayapura. Hingga kini, berbagai komponen masyarakat Papua yang tergabung dalam PRP mencapai 90 organisasi, 87 organisasi di antaranya dari dalam negeri didukung tiga organisasi lainnya dari luar negeri. Penolakan otsus Papua juga terus menggema di berbagai kabupaten/kota di Tanah Papua dan luar Papua. Penolakan dilakukan dalam bentuk demonstrasi dan pernyataan sikap dari berbagai pihak, baik melalui media cetak dan online, maupun media elektronik. Bahkan berbagai pihak mendiskusikan kegagalan otsus pada diskusi-diskusi yang diprakarsai berbagai lembaga nonpemerintah. Penolakan otsus murni dilakukan oleh rakyat akar rumput sebagai penerima manfaat UU Otsus Papua, bukan oleh pengambil kebijakan atau pengelola dana otsus Papua di daerah, karena OAP merasa bahwa dana triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah tidak dapat memberikan manfaat. Jika sikap rakyat Papua menyatakan bahwa 20 tahun otsus di Papua tidak dapat memberikan manfaat atau otsus dengan triliunan rupiah itu tidak mampu mengeluarkan orang Papua dari garis ketertinggalan, maka pemerintah mesti meresponsnya dengan memaparkan secara terbuka capaian dana otsus di Papua agar benar-benar jelas, dapat diukur indikator-indikator keberhasilan dan kegagalannya, sehingga ini menjadi alasan apakah otsus dilanjutkan atau tidak. Bukan malah diam dan memaksakan kehendak kepada OAP. Masalahnya adalah orang Papua itu manusia, yang bisa merasakan, melihat, berbicara, dan menilai, serta dapat membedakan yang baik atau buruk. Artinya, OAP juga manusia, yang sama seperti manusia di muka bumi ini atau manusia Indonesia lainnya, sehingga harus saling mendengarkan, apa pendapat rakyat Papua atau apa yang menurut pemerintah mestinya disinkronkan, sehingga tidak dapat menimbulkan saling curiga antara pemerintah dengan rakyat sendiri, sebab saling curiga adalah persoalan tersendiri yang mengakibatkan beda pandangan semakin bertumbuh subur. Jika selama 20 tahun implementasi otsus di Papua dapat disimpulkan gagal menyejahterakan orang Papua setelah dievaluasi atau diaudit penyerapan triliunan anggaran itu, pemerintah juga harus menyampaikan indikator-indikator kegagalan itu. Atau sebaliknya, jika berhasil pemerintah memasarkannya secara terbuka pula kepada publik Papua maupun Indonesia, bukan diam/tertutup dan terkesan memaksakan kehendak kepada OAP. Apa sebenarnya alasan mendasar pemerintah selalu tertutup, mulai dari hasil evaluasi setiap akhir tahun, audit keuangan oleh BPK, serta rekomendasi yang tidak pernah terpublikasi, respons KPK yang tidak ada tanda-tanda setelah temuan BPK, hingga capaian otsus selama 20 tahun sejak otsus berlaku di Papua, yang tidak pernah dipublikasikan hingga memasuki akhir tahun penyediaan 2% platform DAU nasional? Sebelum RDP, dahulukan pemaparan 20 tahun output otsus Jika pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 mensyaratkan “usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dan Pasal 78 mengamanatkan “pelaksanaan undang-undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah undang-undang ini berlaku”. Makna evaluasi pelaksanaan otsus di Papua dianggap telah dirangkum, jika pun harus dievaluasi akhir tahun ke-20 ini, maka hasil yang harus diumumkan adalah hasil evaluasi setiap tahun selama 20 tahun. Dari hasil evaluasi pelaksanaan otsus setiap akhir tahun sebagaimana diamanatkan pada pasal 78 UU Otsus, maka pemerintah mestinya telah cukup kuat membuktikan sejauh mana keberhasilan dan kegagalan otsus selama 20 tahun di Papua. Dengan demikian, sebelum MRP dan MRP Papua Barat menggelar RDP mesti didahulukan pemamaparan capaian otsus di Papua oleh pemerintah kepada penerima manfaat, sehingga ini komplit antara pernyataan penolakan rakyat terhadap keberlanjutan otsus dan respons pemerintah sebagai tanggapannya. Atau seharusnya pemerintahlah yang lebih dahulu memaparkan capaian kemudian memberikan ruang kepada penerima manfaat untuk menilai capaian dimaksud. Anehnya baru 19 tahun otsus di Papua, pemerintah seperti gegabah membahas keberlanjutan otsus, padahal pemerintah sendiri tidak pernah mau memaparkan capaiannya kepada penerima manfaat (orang Papua). Pemerintah kemudian dinilai sebagai aktor pemicu pro-kontra terhadap kelanjutan atau tidaknya otsus Papua. Hal ini juga menggambarkan pemerintah tidak memiliki grand design yang baik terhadap pembangunan Papua dalam kerangka otsus. Dalam setiap pembangunan harus ada perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan, kemudian dievaluasi progresnya. Dalam evaluasi dapat digambarkan, apa tantangan dan kendala atau apa pencapaiannya, sehingga jelas pertanggungjawabannya atas program pembangunan yang terlaksana. Apa jawaban pemerintah? Apakah karena pemerintah malu dengan ketidakberhasilannya melaksanakan amanat UU Otsus Papua? Ataukah jika harus dipaparkan akan ditemukan penyalahgunaan triliunan anggaran otsus? Ini mesti bukan alasan sebab soal anggapan otsus berhasil atau tidak bukan dalam sebuah pertarungan antara rakyat Papua dengan Pemerintah Indonesia. Jika respons pemerintah, misalnya dengan mengajukan sebuah pertanyaan, haruskah pemerintah berkewajiban untuk memaparkan keberhasilan 20 tahun pelaksanaan otsus kepada rakyat Papua atau publik Indonesia? Maka jawabannya adalah, “ya” pemerintah berkewajiban untuk memaparkan pelaksanaan otsus kepada penerima manfaat (OAP), bukan hanya kepada pendonor dana otsus atau yang berkepentingan lainnya. Mengapa capaian otsus Papua perlu dipaparkan kepada publik Papua atau Indonesia, selain pemerintah bertangung jawab kepada pendonor dana otsus Papua? Paparan capaian otsus kepada rakyat penerima manfaat tetap bagian terpenting. Di sini akan ditemukan akuntabilitas dan transparansi perjalanan otsus selama 20 tahun. Tujuannya adalah untuk menunjukkan tanggung jawab negara kepada rakyat Papua sebagai subjek/pemanfaat UU Otsus Papua, seputar penyerapan anggaran pada program-program prioritas sebagaimana diamanatkan dalam UU Otsus, walaupun penerima manfaat tentunya memiliki opsi tentang manfaat yang diterimanya. Namun pemerintah sepertinya terus menghindar, bahkan memilih diam, berpura-pura dalam merespons aspirasi rakyat Papua. Malah pemerintah meresponnya dengan terus memaksakan produk hukum yang namanya otsus itu tetap harus dilanjutkan (Revisi pasal 34 tentang alokasi 2% DAU Nasional). Bersambung. (*) Penulis adalah anggota Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia

Manokwari menyongsong pesta demokrasi

papua-kominfo-ayo-ke-tps

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fransiskus Xaverius Sie Syufi Tahun ini dilakukan pemilihan kepala daerah secara serentak di sejumlah kabupaten/kota di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilihan para calon bupati dan wakil bupati yang telah memenuhi syarat dan ketentuan sudah ditetap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Para bakal calon bupati dan calon wakil bupati harus mempunyai visi-misi yang akan diwujudkan dalam program kerjanya ketika menjabat nanti. Kabupaten Manokwari, Papua Barat memiliki dua bakal calon yang akan bertarung dalam pesta demokrasi 9 Desember 2020. Dengan terselenggaranya pesta demokrasi ini pemilih harus lebih jeli dalam menentukan para bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Manokwari yang baik, agar dapat membangun dan menjawab keresahan masyarakat; Manokwari yang maju, mandiri, dan bermartabat. Kota Injil di Papua Barat ini membutuhkan pemimpin yang takut akan Tuhan dan taat terhadap aturan agama yang dianutnya, agar menjadi fondasi dalam menjalankan semua proses dalam masa kepemimpinannya, bukan hanya mempermainkan isu-isu dan membuat banyak janji. Yang jauh lebih penting mereka harus menawarkan konsep pembangunan yang merata untuk memajukan masyarakat. Dengan penduduk yang majemuk di Manokwari, maka sangat diharapkan kepada para bakal calon pemimpin daerah dan segenap tim suksesnya lebih menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang demokratis selama masa kampanye, supaya terhindar dari isu-isu murahan yang tidak berfaedah atau yang memiliki potensi konflik. Mnukwar (kota lama) memiliki satu suku besar yakni suku Arfak dan kedua bakal calon yang maju merupakan putra-putra Arfak yang sama-sama memiliki potensi dan diutus oleh Tuhan, sehingga diharapkan dapat menghindari politik praktis yang saling mengancam satu sama lain. Seorang pemimpin harus menjunjung tinggi nilai etika moral untuk mengakomodasi seluruh elemen masyarakat Kota Injil di Papua Barat ini dengan penuh rasa persaudaraan dan tetap menjaga keharmonisan di kota buah-buahan tercinta ini. Ada sebuah kutipan dari buku “Politik Katolik” yaitu “jika ingin menjadi seorang politikus maka berpolitik yang bermoral dan jika ingin menjadi seorang politik maka berpolitik yang beretika”. Pernyataan ini menjelaskan kepada kita sebagai “pecandu” sekaligus “pengedar” politik bukan hanya untuk para bakal calon bupati dan wakil bupati, melainkan juga untuk semua lapisan masyarakat yang mengikuti pesta demokrasi, harus menjunjung tinggi nilai moral dan etika, baik secara individu, maupun kelompok agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, karena masyarakat yang turut mengambil bagian dalam hak politik hari ini adalah mereka yang mampu memilih dan menentukan seorang pemimpin masa depan Kota Injil. Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, mengatakan manusia adalah Zoon Politikon (makhluk politik). Dia juga menegaskan bahwa lebih baik buta pendidikan, daripada buta politik, karena buta pendidikan terdapat dua hal, yakni tidak bisa membaca dan menulis, sedangkan buta politik diibaratkan anak tikus mati di atas lumbung padi. Maka sangat penting untuk melakukan suatu pencerahan politik kepada masyarakat khalayak, agar dapat memahami politik secara baik, sehingga tidak menyamaratakan politik sebagai suatu kebebasan belaka namum politik merupakan suatu kekuasaan. Pesta demokrasi ini merupakan pesta rakyat. Rakyat memilih dan menentukan calon pemimpin the best of the best (yang baik dari yang terbaik) sesuai hati nuraninya demi perubahan Manokwari dalam dimensi pengembangan dan pembangunan lima tahun. Untuk itu, rakyat harus menggunakan hak suara secara baik dan benar saat pencoblosan di TPS. Semoga tidak meninggalkan kesan politik yang tidak etis dalam pesta demokrasi tahun ini. Saya berharap tulisan ini dapat menjadi pegangan untuk memilih di Manokwwari khususnya, dan Papua serta Papua Barat pada umumnya, untuk menentukan pilihan bakal calon bupati dan wakil bupati, yang sesuai dengan ketulusan hati masyarakat. Jangan terpaksa atau terburu-buru, dan yang lebih penting adalah bukan memilih karena calon itu selalu memberikan uang. Namun rakyat harus memilih pemimpin yang mencintai rakyat dan takut akan Tuhan, agar dapat menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan amat penderitaan rakyat. Ingat: Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). (*) Penulis adalah mahasiswa Unipa Manokwari, Papua Barat Editor: Timoteus Marten

Setop minta pemekaran provinsi Papua tengah

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Pius Tenouye Saya adalah anak muda yang berasal dari Provinsi Papua. Saat ini saya masih belajar di bangku kuliah dan siap untuk menjadi memimpin Papua pada masa mendatang. Saya bukan seorang gubernur Papua dan Papua Barat, tapi saya anak negeri asli Papua dan lahir di Papua, sehingga saya menulis artikel dengan judul “Setop Minta Pemekaran Provinsi Papua Tengah”, karena kita sudah punya dua provinsi yakni Provinsi Papua dan Provnsi Papua Barat. Adapun yang akan menjadi topik dalam penulisan artikel ini adalah sebagai berikut: Tanah Papua ini seperti negerinya orang non-Papua saat ini; Papua dimasukkan ke dalam NKRI 1969. Tanah Papua ini seperti negerinya orang non-Papua Saya mau bilang sebagai anak negeri Papua kepada elite-elite politik yang memiliki kepentingan ekonomi di tanah Melanesia, setop meminta pemekaran Provinsi Papua Tengah, karena kita sudah punya dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat. Kita juga melihat bahwa tanah orang Melanesia Papua saat ini (seolah-olah) sedang dikuasai oleh orang-orang non-Papua. Itulah tanda-tanda yang namanya pergeseran bagi masyarakat asli dari negerinya sendiri di Tanah Papua. Kini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah pimpinan Presiden Jokowi sedang berjuang untuk menghadirkan satu provinsi lagi, yaitu Provinsi Papua Tengah, dengan tujuan untuk menguasai orang-orang Papua. Elite-elite di Papua setop meminta Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Papua Tengah karena itu bukan aspirasi murni dari masyarakat setempat dan mahasiswa/i , melainkan kepentingan politik elite-elite di Tanah Papua. Sadar atau tidak Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah terus diisi (dijabat) orang-orang non-Papua, baik itu birokrasi pemerintahan, maupun pejabat lainnya. Di kabupaten Mimika, misalnya, mereka yang bekerja di kantor sipil kebanyakan orang non-Papua, sehingga jangan lagi meminta provinsi baru selama berada di dalam NKRI. Saya mau menyatakan bahwa orang Papua asli yang sedang meminta DOB Provinsi Papua Tengah adalah orang-orang bodoh. Kalau mereka pintar, mengapa tidak mencari nama baik dengan berpikir bagaimana menyelamatkan kekayaan alam dan anak cucu kita? Papua dimasukkan ke dalam NKRI 1969 Sejak Papua diintegrasikan dalam NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, Indonesia membuat aneka cara agar Provinsi Papua tetap menjadi bagian dari NKRI, salah satunya dengan melakukan pemekaran wilayah pemerintahan, baik provinsi, maupun kabupaten/kota. Pemekaran provinsi dan kabupaten/kota merupakan perpanjangan kekuasaan pemerintah dalam wilayah kekuasaannya. Keputusan para bupati di wilayah Meepago 6 Maret 2019 dapat dinilai sebagai suatu bentuk perluasan kekuasaan dari Pemerintah Indonesia atas Papua. Para bupati adalah alat negara untuk perluasan penguasaan pemerintah atas rakyat Papua, tidak lain adalah “perluasan” Pepera yang telah dinilai cacat hukum dan HAM oleh masyarakat Papua. Tulisan ini juga hendak menanggapi keputusan para bupati wilayah Meepago pada poin 14 tentang “pemekaran Provinsi Papua Tengah” yang dipersiapkan dan disosialisasikan. Apakah keputusan itu tepat? Bukankah keputusan itu semacam “menyuntik darah HIV/AIDS dalam tubuh manusia Papua?” Semoga tulisan ini menjadi topik diskusi lanjutan untuk menanggapi pernyataan para bupati di wilayah Meepago, sehingga tidak saling mengorbankan satu terhadap yang lain. Asosiasi Bupati-Bupati Se-Pegunungan Tengah Papua menghadirkan sebuah visi dan misi dalam bukunya Pak Lukas Enembe bahwa menangani masalah-masalah kemanusiaan di atas tanah Papua yang selalu dibunuh oleh pemerintah Indonesia melalui TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), tapi bukti menunjukkan bahwa Anda mencari kepetingan perut sendiri, bahkan diam-diam mencari jalan keluar untuk mendapat jabatan politik sebagai gubernur Provinsi Papua Tengah, dan Anda sedang berjuang untuk melawan ikatan-ikatan bupati Meepago hanya merujuk pada posisi jabatan politik, dalam hal ini sebagai gubernur Provinsi Papua Tengah. Sebagai kesimpulan, saya menegaskan bahwa elite-elite politik yang memiliki kepentingan ekonomi di Tanah Papua ini setop meminta DOB. Jangan mencoba untuk meminta pemekaran lagi karena kita sudah punya dua provinsi. Perlu diingat, bahwa Lukas Enembe sebagai gubernur Papua juga dalam sebuah pemberitaan media massa sudah menegaskan agar jangan coba-coba meminta pemekaran provinsi, karena kita sudah memiliki dua provinsi. (*) Penulis adalah mahasiswa Udayana Denpasar, Bali Editor: Timoteus Marten

Orang Papua dilarang bicara otsus

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Yohanis Mambrasar “Orang Papua dilarang bicara otsus.” Kalimat ini bisa menjadi pernyataan yang tepat atas suara-suara rakyat Papua tentang otonomi khusus (otsus) Papua yang terus dibatasi oleh aparat keamanan di berbagai kota di Papua. Namun saat bersamaan pada sisi lainnya pemerintah tetap ngotot melanjutkan kebijakan otsus tanpa mengakomodir aspirasi rakyat Papua. Kondisi ini secara terang-benderang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak mau mendengar aspirasi rakyat Papua dan memaksakan rakyat Papua mengikuti kebijakannya. Perdebatan tentang keberlanjutan otsus sampai sekarang belum ada titik temu antara rakyat Papua dan pemerintah (di) Jakarta. Belum ada ruang bersama yang difasilitasi oleh pemerintah atau masyarakat untuk kedua belah pihak (pemerintah dan masyarakat) untuk membangun konsensus (kesepakatan) tentang keberlanjutan otsus. Realitas dari diskursus otsus saat ini adalah masing-masing pihak, baik pemerintah, maupun masyarakat Papua masing-masing berpendapat tentang otsus, membangun argumentasi saling kontra di publik dan masing-masing melakukan konsolidasi agenda otsus berdasarkan pandangannya masing-masing. Pemerintah pusat dengan pandangannya sendiri menentukan otsus tetap dilanjutkan. Pemerintah kemudian telah melakukan konsolidasi internal di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjalankan agenda otsus dengan simulasi paket Instruksi Presiden Nomor 09 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diterbitkan pada 29 September 2020. Sebaliknya masyarakat Papua juga dengan pandangannya sendiri menyatakan menolak otsus dan melakukan konsolidasi di tingkat akar rumput, dengan menyatukan seluruh aspirasi masyarakat Papua dalam petisi tolak otsus yang diorganisir oleh komponen organisasi politik, maupun komunitas-komunitas sosial masyarakat berbasis masyarakat adat, pemuda mahasiswa lintas kampus, gereja dan komunitas-komunitas berbasis kedaerahan, serta komunitas seniman, yang bersatu dalam kelompok solidaritas yang bernama Petisi Rakyat Papua (PRP). Bahkan konsolidasi elemen-elemen rakyat Papua di Provinsi Papua Barat pun telah menggunakan lembaga pemerintah seperti Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Di tubuh pemerintah pun belum satu suara tentang otsus. Konsolidasi internal pemerintah yang dipimpin oleh pemerintah pusat di bawah komando Wakil Presiden Ma’ruf Amin hanya mampu mensolidkan pemerintah di tingkat pusat, sedangkan di tingkat daerah, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terbagi dalam dua kubu. Kubu Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dan beberapa bupati wilayah adat Tabi masuk dalam gerbong pemerintah pusat, sedangkan gubernur Papua dan bupati-bupati wilayah adat Lapago dan Meepago masuk dalam gerbong Gubernur Papua Lukas Enembe, dengan sikap revisi total UU Otsus yang memberikan otonomi penuh kepada Papua. Pada skema Gubernur Enembe ini pun belum ada titik temu antara pemerintah Provinsi Papua, pemerintah pusat dan rakyat Papua. Ruang duduk bersama untuk membahas otsus bukan saja belum terjadi antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua, tetapi juga belum terjadi antara pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan masyarakat Papua dan antarsesama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Jadi, sejauh ini belum ada konsensus bersama antara rakyat Papua dengan pemerintah, padahal rakyat Papua merupakan subjek dari kebijakan otsus yang kini menuai polemik pro kontra antara pemerintah dan rakyat Papua itu. Semua pihak saat ini, khususnya pemerintah tidak membuka diri untuk berkonsensus dengan rakyat Papua. Rakyat Papua juga terus memperjuangkan aspirasinya dengan mendesak pemerintah, agar tidak melanjutkan otsus secara sepihak dan melakukan gelar Rapat Dengar Pendapat rakyat Papua, untuk menentukan masa depan Papua, apakah melanjutkan otsus atau menentukan kebijakan politik lainnya. Pemerintah tidak mengakomodir aspirasi rakyat Papua Rakyat Papua melalui elemen-elemen gerakan rakyat yang tergabung dalam wadah PRP telah menyatakan menolak dengan tegas kelanjutan kebijakan otsus. Mereka menolak segala bentuk kompromi sepihak yang tidak melibatkan rakyat Papua dan mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan kebebasan kepada rakyat Papua untuk menentukan pilihannya: melanjutkan kebijakan otsus di Papua ataukah memilih pilihan politik lainnya, misalnya, kesepakatan politik bersyarat tertentu, otonomi luas atau referendum. Pernyataan ini disampaikan ke publik pada konferensi pers melalui saluran zoom 5 Juli 2020 oleh 17 organisasi rakyat Papua yang tersebar di berbagai kota di Papua dan Papua Barat. Dalam perkembangannya elemen-elemen rakyat Papua yang menyatakan terlibat bersama PRP bertambah lagi jumlahnya menjadi 90 komunitas atau organisasi. Gereja-Gereja di Papua seperti GKI di Papua, KINGMI Papua, Baptis Papua, GIDI, dan para pastor pribumi Papua, juga telah berulang-ulang kali menyatakan kepada pemerintah agar berbicara dengan orang Papua sebelum mengambil kebijakan. Pernyataan gereja-gereja dan para pastor pribumi Papua ini juga mencakup kebijakan kelanjutan otsus. Mereka mendorong pemerintah untuk berdialog dengan rakyat Papua untuk membangun konsensus politik bersama. Namun hingga saat ini suara-suara rakyat Papua mempersoalkan keberlanjutan kebijakan otsus di Papua ini tidak didengar oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat memilih menjalankan kebijakan otsus sesuai pendapatnya tanpa mendengar aspirasi rakyat Papua, walaupun rakyat Papua telah berulang-ulang kali menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah melalui DPRP yang disuarakan saat demonstrasi. Bahkan Pemerintah Indonesia sengaja memaksa rakyat Papua untuk tidak berbicara tentang otsus. Pemaksaan rakyat Papua untuk tidak berbicara itu pun dilakukan dengan upaya kekerasan dengan senjata. Pembatasan ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dalam membatasi dan membubarkan paksa aksi demonstrasi rakyat Papua dengan kekerasan yang dilakukan di Jayapura, Nabire, Timika, Yahukimo, dan Manokwari. Demonstrasi mahasiswa di Jayapura 28 September dan 27 Oktober 2020 bahkan dibubarkan dengan tembakan senjata, penyiksaan dan penangkapan para mahasiswa. Pemaksaan ini dilakukan dalam rangka memaksa rakyat Papua untuk mengikuti konsep Jakarta dalam menerapkan kebijakan otsus di Papua. Pemerintah Pusat berpandangan bahwa apa yang telah ditetapkan di Jakarta itulah yang terbaik bagi rakyat Papua, harus diterapkan di Papua dan orang Papua wajib mengikutinya. Rakyat Papua harus dilibatkan dalam penentuan keberlanjutan otsus Apapun kebijakan pemerintah di Papua harus lahir dari kebutuhan rakyat Papua, kebutuhan rakyat Papua harus ditentukan oleh rakyat Papua. Kebutuhan rakyat Papua itulah yang merupakan kepentingan rakyat Papua yang dapat diolah menjadi rancang-rancangan dalam berbagai kebijakan yang dapat diterapkan di bumi Papua dalam bentuk kebijakan politik, kebijakan pembangunan kesejahteraan di bidang ekonomi, SDM, dan infrastruktur publik. Begitu pun tentang otsus, apapun kebijakan pemerintah tentang otsus di Papua wajib melibatkan orang Papua. Keterlibatan orang Papua dalam menentukan keberlanjutan otsus adalah hal yang mutlak. Kepentingan orang Papua tidak bisa ditentukan oleh pemerintah pusat atau ditentukan oleh sebagian elite Papua, apalagi elite-elite yang ditentukan oleh pemerintah. Keterlibatan langsung rakyat dalam menentukan kebijakan atau terlibat langsung dalam pembangunan (termasuk otsus) merupakan pemenuhan prinsip partisipasi yang merupakan prinsip fundamental dari prinsip HAM demokrasi yang dianut oleh Indonesia dan negara-negara di berbagai

Pembunuhan katekis Rufinus Tigau: Presiden Jokowi dan antek-anteknya tidak menghargai martabat manusia Papua

papua-rufianus-tigau

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Sebedeus Mote Dilansir Katoliknews.com, 27 Oktober 2020, Keuskupan Timika membantah tudingan aparat keamanan yang beranggapan bahwa korban tembak atas nama Rufinus Tigau di Intan Jaya, Papua bukan seorang katekis di Gereja Katolik. “Rufinus Tigau adalah benar seorang katekis yang bekerja di Gereja Katolik Stasi Jalae, Kabupaten Intan Jaya,” kata Administrator Diosesan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo. Rufinus ditembak mati oleh Tim Gabungan TNI-Polri di Intan Jaya, Papua pada Senin, 26 Oktober 2020, yang mereka klaim sebagai salah seorang anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB). Penembakan ini juga melukai seorang anak bernama Herman Kobagau (6 tahun), yang saat ini sedang kritis dan dirawat di RSUD Kabupaten Mimika. Pastor Marthen juga menyebutkan Rufinus telah bekerja sebagai katekis di Paroki Santo Michael Bilogai sejak tahun 2015. Rufinus dilantik sebagai katekis oleh Pastor Paroki Santo Michael Bilogai, Pastor Yustinus Rahangier, Pr menggantikan katekis yang meninggal, Frans Wandagau. “Rufinus membantu pastor di Paroki Jalae karena pastor yang bertugas di Jalae bukan orang lokal sehingga tidak paham bahasa lokal dan hal-hal lain yang berkaitan dengan konteks  budaya lokal,” jelas Pastor Marthen. Pembunuhan petugas gereja oleh (anak buah) Presiden Jokowi dan antek-anteknya merupakan suatu bukti bahwa negara Indonesia buta akal sehat. Pembunuhan oleh aparat keamanan adalah misi negara bukan misi Allah di dunia ini. Misi negara Indonesia untuk manusia adalah menghabiskan nyawa. Dengan demikian (negara) “Indomie” menguasai seluruh Tanah Papua, sedangkan misi Allah adalah misi keselamatan dan persis itu yang dilakukan oleh manusia Papua. Seharusnya yang dilakukan oleh aparat keamanan adalah melindungi rakyat supaya hidup aman, damai, tentram, dan lain sebagainya. Tetapi negara ini menjalankan misi setan, sehingga akhirnya umat Papua ditindas dimana-mana, termasuk petugas gereja. Presiden dan antek-anteknya dimanakah tingkat kepedulian atas harkat dan martabat umat Papua dan akal sehat kalian? Setiap manusia itu berharga di hadapan Allah dan juga kepada sesama. Siapa pun dia yang meruntuhkan nilai kemanusiaan berarti dialah orang yang bermasalah dengan pencipta-Nya. Dia tidak menyadari bahwa sesama yang lain itu sama-sama berasal dari satu Pencipta. Nilai manusia OAP seakan tidak berharga di mata Presiden dan antek-anteknya di Indonesia. Konflik dan kekerasan di era pemerintahan Jokowi sangat meningkat, pembunuhan terhadap orang asli Papua. Jokowi dan antek-anteknya sepertinya bisa merebut hati pemimpin-pemimpin Papua, rakyat pun patuh di balik semua ini. Mereka tidak menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tetapi membunuh nilai-nilai hidup seakan tidak bermakna. Seluruh ciptaan yang ada di Papua tanpa dirawat tentu mati. Di situlah persis pembunuhan manusia dan alam yang dilakukan oleh penjajah yakni kolonial Indonesia. Dalam Ajaran Sosial Gereja, Paus Yohanes Paulus II menuliskan dan menyatakan dalam Centesimus Annus (CA art. 53): “Satu-satunya tujuan Gereja adalah memelihara dan bertanggung jawab atas pribadi manusia yang telah dipercayakan Kristus kepadanya. Kita tidak berhadapan dengan kemanusiaan yang ‘abstrak’, melainkan dengan pribadi nyata, ‘konkret’, ‘historis’. Kita berhadapan dengan setiap individu, karena setiap orang adalah bagian dari misteri Penebusan, dan melalui misteri ini Kristus menyatukan diriNya dengan setiap orang selamanya. Karena itu, Gereja tidak dapat mengabaikan kemanusiaan, dan bahwa ‘pribadi manusia ini adalah langkah utama yang harus ditapaki Gereja dalam melaksanakan misinya. Langkah yang telah dijejaki oleh Kristus sendiri, satu-satunya jalan menuju misteri Inkarnasi dan Penebusan. Inilah satu-satunya prinsip yang menginspirasi ajaran sosial Gereja.” Di mata Presiden Joko Widodo hak asasi manusia Papua terus dibantai, dibunuh, (siapa yang diduga) menghina dipenjara, diborgol, diseret di atas aspal, jalan-jalan pun terbanjiri dengan darah manusia, tangisan pun tiada henti. Kejadian-kejadian sadis seperti ini mau memperlihatkan bahwa Jokowi tidak bisa melihat secara nyata kematian manusia Papua yang dibunuh oleh oknum-oknum tentara dan polisi. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh Presiden dan antek-anteknya ini murni pelanggaran HAM. Dalam hal ini Gereja tidak akan diam untuk bicara. Hari ini negara Indonesia haus darah manusia Papua, mengapa? Karena setiap pemimpin dan umat Papua dibunuh habis-habis oleh “negara setan”. Presiden jangan mengabaikan pelanggaran HAM yang dibuat oleh TNI/Polri. Beberapa poin sekiranya ditawarkan kepada Presiden Jokowi: Pertama, segera adili pelaku pembunuhan katekis Rufinus Tigau, petugas pastoral Dekenat Moni Puncak, Keuskupan Timika; Kedua, tarik pasukan TNI/Polri dan BIN/BAIS yang ada Tanah Papua dan, khususnya di Nduga dan Intan Jaya; Ketiga, Jokowi setop bawa datang pembangunan (yang berujung) pembunuhan di Tanah Papua; Keempat, Jokowi segera menghentikan seluruh perusahaan negara yang beroperasi di Tanah Papua; Kelima, Presiden Jokowi segera menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM dan status politik bangsa West Papua. (*) Penulis adalah Mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua Editor: Timo Marthen

Injil adalah kabar sukacita

papua-gereja-harapan-abepura

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Yan Christian Warinussy Injil adalah kabar sukacita sekaligus adalah damai Kristus yang mendamaikan suku-suku dan membuka tabir kegelapan di Tanah Papua. Karena itulah Gubernur Papua periode 2000-2005, DR. Drs. J.P. Solossa, M.Si menulis bahwa kedua rasul Papua, yaitu Ottow dan Geissler telah menjadi perintis dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Itulah sebabnya sejak 2004 yang lalu, atau empat tahun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Pemerintah Papua telah mencanangkan Hari Pekabaran Injil sebagai hari libur resmi. Pada perayaan HUT Pekabaran Injil tersebut juga dijadikan sebagai landasan pembangunan dalam segala bidang dengan moto “Pembangunan Papua Dimulai dari Mansinam” dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan semangat juang yang berasaskan spiritualitas dan pelayanan masyarakat yang menyeluruh. Kini setelah Tanah Papua terbagi menjadi dua wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat, perayaan HUT Pekabaran Injil melalui moto tersebut kian mengemuka dalam program pemerintah di kedua provinsi tersebut (Papua dan Papua Barat). Selasa, 26 Oktober 2020 adalah Hari Ulang Tahun ke-64 dari Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. GKI di Tanah Papua adalah buah utama dari hasil persemaian dan pertumbuhan Injil Kristus di atas Tanah Papua selama satu abad, satu tahun (1855-1956). Dalam perjalanan penginjilan dengan membuka lapangan terbang dan pelabuhan laut, untuk menunjang misi Pekabaran Injil melalui pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar kala itu. Injil diwartakan sesuai amanat Bukit Zaitun sebagaimana ditulis Injil Matius 28: 18-20, “Kepada Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Atas dasar perintah Bukti Zaitun itulah maka pada akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1956 di gedung Gereja Kristen Injili (GKI) Harapan Abepura, secara resmi GKI berdiri sebagai sebuah organisasi modern pertama di Tanah Papua. Yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh pendeta orang asli Papua yaitu Pendeta Filep Jacob Spencer (F.J.S) Rumainum. Sejak 26 Oktober 1956 hingga hari ini GKI telah menjadi Gereja Kristen terbesar di Tanah Papua. Bahkan seyogyanya GKI menjadi rujukan bagi pemerintah-pemerintah yang berkuasa di atas Tanah Papua dalam melakukan upaya “mengambil hati” orang Papua dari dulu. Tidak heran, Pdt. Rumainum sempat duduk pula sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun Universitas Cenderawasih (Uncen) yang didirikan sebagai lembaga resmi pemerintah Indonesia di Tanah Papua, yaitu Abepura pada 10 November 1962. Menurut saya, GKI di Tanah Papua menjadi titik perhatian nasional dan internasional sepanjang berbicara mengenai tanah dan rakyat Papua. Ke depan dalam usianya yang ke-64 tahun, GKI di Tanah Papua harus dapat mengimplementasikan isi syair lagu berjudul Siarkan ke Benua, Nyanyian Suara Gembira nomor 18, karya Domine Isaac Samuel Kijne yang berbunyi “Siarkan ke benua sedunia besar, ke kampungnya semua. T’rang Injil yang benar, T’rang Injil yang benar.” GKI di Tanah Papua mesti menjadi garam dan terang bagi tanah dan Orang Asli Papua. Pedoman Perintah Bukit Zaitun masih relevan dan implementasinya dimulai dengan Pembangunan Tanah Papua dimulainya dari Pulau Mansinam. Karena dalam sejarahnya dahulu (1855), Ottow dan Geissler memasuki untuk menginjakkan kakinya di Pulau tersebut, bahkan untuk mempertahankan benih Injil tersebut, keduanya pernah bersama rakyat lokal (suku Doreri) berperang melawan kaum perompak (bajak laut) hingga ke luar Pulau Mansinam hanya dengan memakai perahu bercadik semata. Dirgahayu GKI Di Tanah Papua ke-64 (26 Oktober 1956-26 Oktober 2020). (*) Penulis adalah Direktur LP3BH Papua di Manokwari, Papua Barat Editor: Timoteus Marten

Penyelamat berjati diri penyelamat

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Charles Matly Fenomena umum yang sering terjadi manakala masalah timbul adalah munculnya sosok penawar solusi. Umumnya mereka mengklaim diri dengan sebutan “penyelamat”. Sebut saja misalnya kemunculan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dideklarasikan pendiriannya pada 18 Agustus 2020. Keprihatinan atas gambaran situasi terkini bangsa yang dipandang sebagai sesuatu yang “mengancam” dan berpotensi menghancurkan adalah alasan KAMI berdiri. Atau juga dalam masa-masa menyongsong Pilkada Serentak 9 Desember 2020. Banyak pasangan calon yang tampil dengan cita-cita mengusahakan kebaikan hajat hidup orang banyak demi perubahan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya. Ragam solusi ditawarkan lewatnya kendati terkadang berangkat dari penafsiran keliru atas realita, juga asumsi-asumsi yang disimpulkan sendiri sesuai dengan maksud pribadi. Kepentingan umum pun dijadikan bungkus atas kepentingan pribadi yang diselubungkan dalamnya. Karenanya tujuan utama yang hendak dicapai lewatnya adalah pencapaian keinginan pribadi, baik harta, maupun takhta (kursi kekuasaan). Demi semua itu adalah hal lumrah menjadikan “kelemahan” lawan sebagai senjata ampuh guna menghancurkan segala tembok penghalang pencapaian ambisi pribadi. Atasnya pertanyaan yang dapat diajukan, adalah apakah makna sebenarnya dari penyelamat itu? Kriteria moral apakah yang harusnya dimiliki seorang penyelamat? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata penyelamat sebagai orang yang menyelamatkan. Kata ini berasal dari kata dasar “selamat” yang berarti terbebas dan terlepas dari bahaya, bencana ataupun malapetaka. Karenanya penyelamat dapatlah dipahami sebagai subyek (pribadi ataupun kelompok) yang lewat kehadirannya kelompok ataupun pribadi tertentu dapat terbebas dan terlepas dari bahaya, bencana pun malapetaka. Pengusahaan terhadap kebaikan orang lain yang ditentukan dari bebas dan terhindarnya orang atau kelompok dari masalah adalah orientasi sebenarnya dari seorang penyelamat; bukan koaran kritik. Tidak ada “lawan” langsung, karena yang dihadapi adalah situasi bukan pribadi. Loh, bukannya situasi adalah ciptaan pribadi? Memang benar demikian. Benarlah juga bahwa untuk mengubah situasi, pribadi penyebabnya juga haruslah diubah. Namun satu hal yang hendaknya selalu diingat, yaitu perubahan atas pribadi merujuk pada perubahan kesadaran. Kritikan atas situasi dan upaya penanganan atasnya-lah yang memungkinkan perubahan tersebut tercipta. Pemahaman ini mengandaikan “penyelamat” sebagai subyek yang pertama-tama mampu melihat situasi secara jeli dan memiliki daya solutif atas masalah yang ada. Pola fakta-masalah-solusi adalah hal yang wajib dijadikan sebagai titik pijak perumusan keputusan, sehingga mengabaikan eksistensi salah satu dari antaranya bukanlah hal yang dapat dibenarkan, karena solusi mengandaikan adanya fakta dan masalah. Masalah mengandaikan adanya fakta dan solusi. Fakta mengandung di dalamnya masalah; hal dari padanya solusi lahir. Keterkaitan erat antara tiga hal ini lantas mengandaikan adanya originalitas fakta dan masalah, sehingga solusi yang ditawarkan tidaklah mengada-ada. Penekanan di atas menegaskan hal penting ini, yaitu bahwa orientasi perhatian dari penyelamat adalah fakta, masalah dan solusi itu sendiri. Inilah yang dibutuhkan untuk membuktikan diri sebagai penyelamat sejati. Tanpanya usaha penyelamatan tak pernah akan menyentuh hati orang, karena semata merupakan kata kosong tanpa makna, bak bingkai tak berpigura. Jika memang seorang penyelamat adalah subyek yang berorientasi pada orang lain (others oriented subject), apakah kriteria yang bisa menjadi pijakan dalam menilai kualitas seorang penyelamat? Pendekatan yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam menilai kualitas sejati seorang penyelamat dalam konteks ini adalah prinsip integritas moral. Dalam prinsip integritas moral, hal utama yang ditekankan adalah adanya kesesuaian antara tindakan lahiriah dengan nilai-nilai moral yang diyakini. Prinsip ini mengandaikan kesatuan antara apa yang diyakini dengan apa yang diperbuat. Pijakan atas prinsip ini memberi landasan dalam menilai orang lain dengan menepis “topeng” yang menyelimuti wajah sehingga keaslian diri adalah hal utama yang mendapat penekanan dalamnya. Lantas, apakah yang mendasari integritas moral itu sendiri? Integritas moral dalam etika mengandaikan adanya penghargaan atas kemanusiaan dan otonomi juga kejujuran dalam tindakan. Kemanusiaan mengandaikan penghargaan pribadi manusia sebagai manusia yang bermartabat luhur, diberlakukan dengan hormat dan tidak dirugikan. Otonomi mengandaikan setiap orang diperlakukan dengan baik sesuai hak-haknya. Sedangkan kejujuran mengandaikan tidak adanya manipulasi dan kecurangan demi keuntungan pribadi. Prinsip-prinsip moral tersebut menegaskan pentingnya memandang masalah sebagaimana adanya dan mengarahkan keseluruhan perhatian pada penyelesaian atasnya. Konsekuensinya tindakan nyata sebagai pembuktian atas efektivitas solusi dalam menyelesaikan masalah terlihat. Inilah hal terpenting yang dicita-citakan oleh setiap penyelamat dalam mengusahakan penyelamatannya. Kritik harus dibarengi dengan kualitas tindakan, agar menciptakan daya dorong menuju perubahan. Jika kritik dilayangkan tanpa maksud menciptakan perubahan seturut kebenaran objektif karena penelaahan yang benar atas fakta dan masalah juga obyektifitas solusi, maka yang ditampilkan lewatnya hanyalah subyektivitas inilah yang menutup kemungkinan keterarahan pada perubahan karena ego pribadi menjadi terlalu begitu nampak dan adanya mengalahkan kebaikan kolektif, sehingga menjadi tak berarti di telinga, hati pun otak mereka yang menyaksikannya. Atas semua uraian di atas, teringat perkataan Charles Dickens, seorang penulis roman dan novel kenamaan Inggris, “ada orang besar menjadi besar dengan cara mengecilkan dan merendahkan orang lain. Tetapi seorang besar sejati adalah seorang yang mampu membuat setiap orang merasa dirinya besar.” Pernyataan Dickens ini menegaskan sungguh bahwa seorang penyelamat yang sejati adalah ia yang dengan menggunakan seluruh kualitas dirinya, mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Keselamatan orang lain menjadi tujuan dari hidupnya, pertama-tama bukan agar ia disebut sebagai penyelamat, melainkan demi keselamatan orang lain. Keterarahan eksistensial diri pada kebaikan orang lain dan sikap konsisten untuk hidup dalam kualitas diri yang sejati dimana penghargaan atas kemanusiaan, otonomi dan kejujuran menjadi warna dari setiap perilaku adalah kualitas sejati seorang penyelamat. Dalam konteks politik, inilah yang disebut oleh Paul Wellstone sebagai konstelasi politik yang sejati, dimana para pemimpin senantiasa berusaha melakukan kebaikan untuk masyarakat. Akhirnya biarlah kebaikan yang berbicara tanpa perlu takut didengarkan atau tidak, karena apa yang sejatinya berasal dari hati, akan sampai ke pada hati mereka yang mendengar dan menyaksikannya. (*) Penulis adalah calon imam keuskupan Agung Merauke, Papua, sedang studi S2 di Ambon, Maluku Editor: Timoteus Marten

Politik Roma VS politik Yesus

papua-gereja

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fr. Silvester Hisage Ada beberapa fakta historis yang menjadi penyebab Yesus dihukum mati melalui penyaliban diri-Nya. Penyaliban Yesus di kayu salib pada 2000-an tahun silam menjadi fakta historis yang tidak bisa disangkal, dan ini justru menjadi puncak bagi politik Yesus. Dalam beberapa perikop kitab suci, terdapat banyak perumpamaan-Nya dan ucapan-Nya yang menyiratkan maksud politik Yesus. Perikop injil Lukas 17:21b, misalnya, menyiratkan maksud Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah sedang ada di tengah rakyat Yahudi yang sedang dijajah oleh pemerintah Roma. Bahwa Allah Yahudi kini dan sedang langsung memerintah sebagai raja, dan murid-murid-Nya diajar-Nya untuk meminta supaya Kerajaan Allah terus-menerus berada di tengah mereka (bdk. Lukas 11:2; Matius 6:10). Akta-akta Yesus mendemonstrasikan bahwa bersama diri-Nya, Allah benar-benar sedang berkarya di tengah bangsa Yahudi. Kata Yesus, “Jikalau aku mengusir setan dengan kuasa Allah, sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu!” (Matius 12:28). Hanya Allah yang menjadi Raja mereka. Inilah teokratisme Yesus. Sementara itu, pada pihak lain, bagi orang Romawi, hanya sang Kaisar yang bertakhta di Roma yang merupakan raja baik bagi bangsa Romawi sendiri maupun bagi semua bangsa jajahan mereka. Bagi Yesus, dalam teokratisme Yahudi tidak bisa ada dua raja, melainkan hanya satu; dan raja ini bukan sang kaisar tetapi Allah Yahudi, yakni Yesus senndiri. Dengan demikian, Yesus atas nama Allah dan rakyat menolak dan melawan Kaisar. Perlawanan Yesus dari Nazaret terhadap Roma yang sedang menjajah bangsa Yahudi dengan jelas diungkap secara simbolik. Antara lain, terdapat dalam tuturan sastra injil tentang seorang Gerasa yang kerasukan roh jahat (Markus 5:1-20). Ketika Yesus bertanya kepada roh jahat itu siapa namanya, roh itu menjawab, “Namaku legion, karena kami banyak” (ayat 9). Kata Latin “legion” dikenakan untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah besar antara 3.000 sampai 6.000 orang. Dengan demikian nama ini adalah kiasan untuk penjajahan Roma atas Tanah Israel. Yesus mendemonisasi lawan-Nya, kekaisaran Romawi. Permusuhan dan perlawanan terhadap Roma yang menduduki tanah Israel diungkap dengan jelas oleh Yesus, ketika Yesus berseru kepada setan-setan itu, “Keluar dari orang ini!” Tetapi setan-setan itu meminta untuk diizinkan, tetap tinggal di daerah itu (ayat 10)—inilah persisnya yang dikehendaki Roma, yakni tetap mengontrol seluruh Tanah Israel. Sebaliknya, rakyat Israel menginginkan mereka diusir dan dibenamkan ke dalam danau seperti babi-babi. Yesus tampil sebagai seorang pengusir setan yang adidaya; dan kehadiran-Nya sebagai orang yang dipenuhi Roh dan kuasa Allah (bdk. Markus 1:10b, 12; Matius 12:28; Lukas 11:20). Sesungguhnya kehadiran bangsa Romawi merupakan suatu ancaman nyata bagi kedamaian dan stabilitas masyarakat Israel di bawah rekayasa politis kolonial Roma (Pax Romana): saat Roma, seperti simbol babi pada cerita Injil, mati terbenam dalam air danau hanya menunggu waktunya saja, pembebasan bangsa Israel sebagai bangsa yang merdeka di atas tanahnya sendiri tidak lama lagi akan tiba. Bagi Yesus, Tanah Israel, Eretz Israel, adalah milik Allah Yahudi, Tanah Perjanjian yang oleh Allah Yahudi dulu diberikan kepada Abraham, dan yang kemudian diwariskan kepada keturunannya yang membentuk satu bangsa Israel. Bagi Yesus, Allah Abraham adalah Allah Ishak dan Allah Yakub (Markus 12:26), Allah bangsa Israel. Ikatan perjanjian dengan Abraham ini, dalam pandangan Yesus, tidak pernah dibatalkan: Israel, menurut-Nya, adalah “satu keluarga” yang tidak boleh dipecah-belah (Markus 3:25), dan “anak-anak” dalam satu keluarga harus diperhatikan lebih dulu (Markus 7:27). Untuk menunjukkan bahwa Yesus ingin mempertahankan dan mengembalikan keutuhan 12 suku Israel, Dia membentuk komunitas kecil dalam lingkaran para murid yang terdiri atas 12 orang (Markus 3:14). Jelas, Yesus memperjuangkan kepentingan Israel sebagai satu bangsa. Maka, kalau dikaitkan dengan Tanah Israel, ketika Yesus berkata, “Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah” (Markus 12:17), Dia bermaksud menyatakan bahwa kaisar tidak memiliki Tanah Israel, tetapi Allah pemiliknya, karena itu tanah tersebut kaisar harus kembalikan kepada Allah, pemilik sah tanah ini, dan kepada bangsa Israel, umat Allah, yang mewarisi tanah itu dari Abraham. Dan bangsa Roma harus menyingkir dari tanah yang bukan milik mereka, kembali ke negeri asal mereka sendiri. Doktrin sekular tentang pemisahan agama/gereja dan negara tidak termuat dalam ucapan politis Yesus ini, Yesus yang berwawasan teokratis. Berita yang terus-menerus di banyak lokasi di Galilea disampaikan oleh Yesus bahwa kini Allah Yahudi sedang memerintah sebagai Raja Israel ditafsir lawan-lawan-Nya sebagai suatu proklamasi bahwa Dia sendiri adalah raja Yahudi, dan dengan demikian Dia menolak dan melawan kaisar Roma. Penafsiran semacam ini bisa dibenarkan mengingat bahwa dalam kepercayaan mesianik Israel orang yang berbicara dan bertindak atas nama Allah, seperti Yesus dari Nazaret, adalah wakil langsung dari Allah, representasi Allah sendiri, dan tangan Allah sendiri. Wakil, representator, juru bicara dan tangan Allah dalam kehidupan riil bangsa Israel tidak lain adalah raja atau mesias Israel sendiri. Adalah suatu ketentuan hukum Romawi bahwa barangsiapa menolak dan melawan kaisar, orang itu harus dihukum mati. Persis ketika Yesus mau memasuki kota Yerusalem pada perayaan Paskah Yahudi, perayaan untuk memperingati kemerdekaan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, orang banyak memproklamasikan Yesus sebagai Raja Israel; kata mereka, dalam tuturan injil Markus, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi” (Markus 11:9; par.). Tetapi ada persoalan di sini. Apa yang dicatat dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius dan Lukas) tentang masuknya Yesus dengan jaya dan aman-aman saja ke kota Yerusalem pada perayaan Paskah setelah orang banyak mengumumkan kepada dunia bahwa Yesus adalah sang Raja Yahudi, keturunan Raja Daud, sukar dipercaya sebagai kejadian historis. Jika arak-arakan gegap gempita yang kuat diwarnai pesan-pesan mesianik dan pemulihan kerajaan Daud ini sungguh terjadi, pasti peristiwa ini akan diberi reaksi represif cepat oleh Gubernur Pontius Pilatus (yang sedang berada di Yerusalem) untuk mencegah timbulnya pemberontakan sekaligus untuk “mengamankan” figur yang diproklamasikan rakyat banyak sebagai mesias Yahudi. Tuturan tentang peristiwa yang sama dalam Injil Yohanes (12:12-16) lebih dapat dipercaya, karena, dituturkan, setelah orang banyak memproklamasikan Yesus sebagai “Raja Israel” (ayat 13), Yesus “pergi bersembunyi” (ayat 36b), menghindari para penguasa yang pasti sedang mencarinya untuk menangkapnya. Bagaimana pun juga, tuturan dalam keempat injil tentang kejadian di pintu gerbang Yerusalem ini bermaksud untuk menyampaikan sebuah fakta bahwa rakyat Yahudi memang menantikan kedatangan seorang mesias pembebas dan pemenuhan

Kenapa otsus ditolak, lalu orang Papua minta merdeka?

Papua-demo-tolak-otsus

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Johan Djamanmona “Otonomi khusus (otsus) untuk Papua dan Papua Barat akan berakhir pada 2021” namun belum ada solusi lain yang dapat diberikan oleh pemerintah Indonesia bagi rakyat Papua yang menolak perpanjangan otsus. Otsus diberikan sebagai jawaban atas polemik yang terjadi pada dekade 1998 hingga 2000 dengan adanya pengibaran bendera bintang kejora karena rakyat Papua merasa, bahwa negara hadir hanya untuk mengambil apa yang mereka miliki dari alamnya dan tidak memperhatikan rakyat Papua, sehingga sampai saat ini rakyat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan angka ketertinggalan yang tinggi. Police paper prioritas nasional Papua tahun 2019 oleh Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat bahwa nilai harapan hidup bagi anak yang baru lahir dan perempuan Papua yang baru melahirkan masih sangat rentan dengan kematian. Selain itu, sekolah-sekolah dengan standar akreditas baik sebagian besar berada di pusat-pusat kota, sedangkan sekolah-sekolah di kampung-kampung yang mayoritas murid-muridnya orang asli Papua, bahkan buku mata pelajaran tidak dimiliki secara memadai. Pelayanan di bidang kesehatan pun demikian. Hal ini dikarenakan banyak kampung di Papua yang masih jauh dari kata berkembang, sehingga untuk bertugas di daerah tersebut butuh niat yang tulus. Percepatan pembangunan dan infrastruktur untuk menjadikan Papua terlihat makin baik juga dinilai justru lebih diperuntukkan bagi kemudahan investasi di Tanah Papua, bukan untuk memberdayakan orang Papua. Hal ini menunjukkan bahwa otsus belum bisa menjadi jawaban bagi persoalan Papua. Belum ada dampaknya bagi sebagian besar rakyat Papua, sehingga kalau membaca pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, kita langsung mendapatkan jawaban bahwa otsus ditolak karena tidak memberikan manfaat bagi orang asli Papua. Dana yang ditujukan untuk memberdayakan orang Papua malah dinikmati oleh segelintir orang, sedangkan mereka yang memang membutuhkan dana tersebut tidak pernah merasakan ataupun menikmatinya. Memang itulah masalah utama yang menjadi alasan rakyat Papua lewat para generasi mudanya menyatakan penolakan terhadap otsus. Mereka menilai dana otsus hanya dinikmati oleh segelintir orang, bukan dinikmati oleh seluruh rakyat Papua. Tapi, apakah ada alasan lain yang lebih rasional agar penolakan terhadap otsus itu bisa diterima oleh semua pihak? Kalau hanya seperti pernyataan di atas, maka otsus hanya dipandang dari dananya, bukan aturan dan kekhususan yang diberikan terhadap rakyat Papua, karena hal ini yang kadang-kadang menjadi klaim bagi Pemerintah Indonesia untuk mengatakan, rakyat Papua harus berterima kasih karena sudah diberikan hak untuk memimpin daerahnya sendiri, juga sudah diberikan dana otsus untuk membangun infrastruktur di wilayah Papua. Jadi, kalau otsus tidak berhasil berarti orang Papua yang menjadi pejabatlah yang salah. Sekarang kita coba melepaskan diri dari pandangan bahwa otsus hanya dikenal dengan adanya pemberian dana perimbangan bagi Papua dan Papua Barat. Mari kita memandang otsus sebagai sebuah aturan yang menjadikan Papua dan Papua Barat memiliki kekhususan, sehingga kalau pengakuan terhadap kekhususan tersebut dilanggar oleh si pemberi pengakuan, yakni pemerintah Republik Indonesia, maka otsus patut untuk ditolak karena implementasinya selama hamper 20 tahun sia-sia. Kalau kita lihat dalam konsideran yang menjadi dasar pertimbangan UU Otsus dibuat mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia bagi rakyat Papua. Itulah pertimbangan awal di tahun 2001, maka jelas di sini bahwa otsus bukan saja tentang dana perimbangan tetapi ada hal lain, sehingga yang terjadi selama ini, otsus memiliki kerangka berpikir yang terbalik dalam pelaksanaannya. Banyak sekali bab, pasal, dan ayat yang masih bersifat umum sehingga intervensi pemerintah pusat terhadap sistem pemerintahan di Papua dan Papua Barat masih terbuka lebar, padahal Undang-Undang Otsus memiliki asas lex spesialis derogat legi generalis, sehingga UU Otsus dapat mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Itulah kekhususan yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Undang-Undang Otsus jelas-jelas memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah sebagaimana dalam pasal 1 poin (b) dan dalam pasal 4 bahkan disebutkan bahwa gubernur adalah wakil dari pemerintah pusat di daerah (Provinsi Papua dan Papua Barat). Jadi, ketika rakyat Papua menyuarakan aspirasi tentang ketidakadilan mereka hanya menyuarakannya secara langsung kepada gubernur yang akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Namun hal yang terjadi malah kewenangan tersebut dikebiri oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah provinsi harus tunduk kepada pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah dalam UU Otsus hanya pasal tanpa pelaksanaan meski kewenangan tersebut belum diatur dalam Perdasus ataupun Perdasi tetapi paling tidak, kewenangan tersebut telah disebutkan dalam UU yang disahkan oleh pemerintah Indonesia, untuk menjadi jawaban atas polemik ketidakpuasan rakyat Papua terhadap negara 19 tahun lalu. Yang terjadi selama ini, orang Papua yang menjadi korban pelanggaran HAM, korban diskriminasi dan korban kriminalisasi tidak dilihat sebagai sebuah masalah untuk diselesaikan, tetapi semua kebijakan tergantung pemerintah pusat, pertimbangan yang disebutkan dalam UU Otsus pun belum menjadi hal prioritas bagi pemerintah Indonesia, sehingga pemberian dana dan pembangunan infrastruktur yang selalu dijadikan sebagai solusi, padahal bukan itu yang diinginkan rakyat Papua. Yang diinginkan rakyat Papua adalah bentuk penghargaan yang sebenarnya kepada orang Papua. Karena sudah jelas bahwa orang Papua adalah salah satu rumpun melanesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri tetapi rasialisme pun masih sangat sering ditujukan terhadap orang Papua. Sampai di sini jelas bahwa persoalan UU Otsus tidak berjalan secara efektif dikarenakan orang Papua diberikan pengakuan tetapi tidak dihargai. Kalau UU Otsus sudah memberi rasa adil bagi orang Papua, maka otsus akan diterima, tetapi selama 19 tahun otsus tidak memberi dampak bagi orang Papua, sehingga mereka menolak dan meminta diberikan hak menentukan nasib sendiri, merdeka secara penuh. Namun, orang Papua bagai burung cendrawasih yang ditangkap lalu ditempatkan dalam sangkar, padahal cendrawasih hanya bisa hidup di tempat dimana ia dapat hidup bebas-merdeka. (*)  Penulis adalah volunter di LBH Kaki Abu Editor: Timoteus Marten

Status kolonial Indonesia di West Papua (bagian 2/2)

papua-massa-aksi-prp-nabire

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Immount de Djthem Indonesia sebagai negara rasialis dan diskriminatif Buku Surat-surat Gembala dari FKOGP, karya Benny Giyai dkk menyinggung tentang rasisme kolonial Indonesia terhadap pelajar dan mahasiswa West Papua yang kuliah di Indonesia. Sudah lama orang-orang asli Papua disamakan dengan “binatang” dengan ucapan rasis “monyet, kera” oleh orang Indonesia ketika studi di Pulau Jawa. Mereka juga telah mengangkat isu rasisme dari negara yang sama terhadap klub, manajemen, dan pemain asal West Papua. Salah satunya Persipura Jayapura. Saat mereka main tandang, misalnya di Jawa, para suporter di sana sering menghujat pemain, dan manajemen, bahkan melemparkan mereka dengan kulit pisang (makanan monyet). Kasus rasisme dalam konteks olahraga, secara nyata pecah pada 2017 lalu. Grup Jawa Pos, memuat berita sangat sensasional dan rasis dengan gambar logo Persipura dan Arema Malang. Radar Malang menaruh judul “Kera ini Kandang Singa”. Orang-orang Papua protes ini, tetapi negara tidak bertindak tegas atau menjerat hukum kepada pelaku (reporter, editor dan redaktur). Saat pemilihan presiden (2014), Natalius Pigai mendapat ujaran rasisme oleh sejumlah oknum masyarakat Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Indonesia mengeluarkan uang pecahan baru untuk sepuluh ribu rupiah. Di dalam gambar itu, terdapat wajah Frans Kaisiepo, pahlawan nasional Indonesia asal Biak, Papua. Banyak orang dari kubu kolonial Indonesia menolak gambar tersebut. Pigai dan Kaisiepo dihina dan dijatuhkan martabat dan harga diri mereka tanpa sedikit pun mempertimbangkan kontribusi dan nasionalisme mereka terhadap kolonial Indonesia. Kedua tokoh asal Papua ini bakalan disamakan dengan monkey (kera) pula. Meski demikian, negara masih membiarkan pelaku. Tidak pernah berusaha untuk menjerat hukum kepada pelaku rasis. Kemudian, kasus rasisme yang paling menghebohkan dunia, pecah pada Rabu, 16 Agustus 2019—minus satu hari menjelang HUT ke-74 kemerdekaan RI. Pelaku rasisme (aparat keamanan dan militer bersama RT dan Satpol PP kota Surabaya, Jawa Timur) mengepung asrama mahasiswa Papua, Kamasan III. Aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia bersama ormas milisinya melancarkan ujaran rasisme di sana. Mereka menyuruh mahasiswa di dalam asrama keluar dan pulang dari negara kolonial Indonesia dengan seragam kenegaraan dan simbolisme kolonial Indonesia (atribut negara kolonial). Tindakan rasisme ini menarik perhatian, bahkan amarah dari kaum budak kolonial Indonesia menjelang pelantikan presiden Jokowi pada Oktober setelah memenangkan pemilihan presiden pada 2019 yang dilakukan secara bersamaan-serentak dengan pemilihan legislatif. Hampir semua kota di West Papua protes terhadap rasisme kolonial tersebut. Mereka melakukan demonstrasi secara spontan. Banyak ruko dan mal yang dibumihanguskan oleh para demonstran. Pada saat yang sama, banyak orang ditembak mati oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap hingga menjalami proses hukum yang dianggap rasis meski sudah dinyatakan bebas. Semua tahanan politik rasisme kolonial Indonesia kurang lebih ada 63 orang. Pada saat yang sama kolonial Indonesia menerapkan sistem aneksasi dalam proses hukum makar. Bahkan dengan jelas-jelas menerapkan sebuah diskriminasi politik rasial terhadap orang Papua. Indonesia perusak lingkungan hidup “Perusak Lingkungan Hidup & Kemanusiaan juga kebudayaan,” tulis Aji Adhinatha Laksmana melalui Mesangger (Facebook) pada Rabu (1/4/2020). Dia mengatakan West Papua yang identik dengan sumber daya kekayaan alam itu seharusnya mampu membebaskan kaum budak kolonial Indonesia setempat dari kerja-kerja yang sifatnya menindas kaum budak pribumi West Papua. “Kalau gunung emas di Papua itu menghasilkan emas, seharusnya emas itu sebagai material untuk membuat teknologi alat produksi yang membebaskan manusia di bumi. Bukan hanya di Papua. Seharusnya di situ manusia sudah dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas—dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas sesama Manusia.” Eksploitasi sumber daya alam oleh kolonial Indonesia bersama para kapitalis dan imperialis global, cukup merusak keutuhan alam semesta, ekosistem, lingkungan hidup, dan mencemarkan sumber-sumber air tanpa ampun dan rasa kepedulian sama sekali. Bahkan menghancurkan dan memusnahkan seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan pertambangan atau perusahaan apa saja. Tentu ini tak hanya membuat bumi kepanasan. Tetapi di samping itu, kolonial Indonesia bersama antek-anteknya menghancurkan seluruh tatanan makhluk hidup, meluluhlantakkan struktur sosial masyarakat budak yang berakar pada potensi lingkungan hidup. Banyak orang merasa kehilangan mata pencaharian, seperti berburu, berkebun, dan bernelayan karena negara klaim tanah dengan kekuatan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Pendekatan seperti ini tak hanya membuat masyarakat budak pemilik tanah adat ketakutan, tetapi juga membunuh psikologi masyarakat sipil yang menolak dan melawan. Banyak orang West Papua menjadi korban akibat kehadiran perusahaan yang dibekingi oleh kekuatan tangan besi. Hal ini bisa dilihat dari perusahaan kelapa sawit, pertambangan, batu bara, dan lain sebagainya di tanah koloni ini. Indonesia sebagai negara “penyebar hoaks” Semua orang sudah melihat perlakuan melawan hukumnya sendiri, hukum Tuhan dan prinsip dasar yang tertuang dalam berbagai macam kovenan internasional. Lalu bersaksi dusta tentang pelanggaran HAM berat dan pembatasan ruang demokrasi Papua di hadapan media massa dan diatas mimbar PBB. Sudah jelas berujar rasis pada 16 Agustus 2019 terhadap mahasiswa Papua di asrama Kamasan III, Surabaya, Indonesia; sudah jelas melakukan operasi militer di Nduga yang mengakibat sekitar 10000 jiwa/warga sipil mengungsi di hutan-hutan hingga daerah tetangga dan masih banyak contoh kasus penyangkalan lainnya. Baru bilang semua itu tidak benar? Katanya kasus rasisme di Surabaya itu bukan rasis. Sedangkan orang Papua yang memprotes  kasus rasisme itu dicap atau disebut orang atau kelompok yang termakan isu hoax hingga menyebut mereka penyebar hoax. Kemudian mengaburkan gerakan penegakan demokrasi (demonstran) itu dengan label anarkis, bentrok dan kerusuhan (vandalistik). Sementara operasi militer di Nduga dikatakan bukan operasi militer. Tapi bilang TNI/Polri melakukan penegakan hukum. Dimana bedanya antara operasi militer dan TNI/Polri melakukan penegakan hukum? Lalu seluruh pelanggaran HAM berat disebut bukan pelanggaran HAM berat. Tetapi pelanggaran ringan. Pembohongan publik seperti ini tumbuh dan berkembang pesat atas nama keutuhan atau “NKRI harga mati” di Papua. Kebenaran dipermainkan seperti boneka. Data ditutupi dengan kata. Fakta dibungkus dengan omong kosong. Kenyataan diinternalisasi dengan senjata, perempuan, uang, jabatan, dan kekuasaan. Tak ada dosa apabila kolonial Indonesia disebut 100% Penyebar Hoax. Roberta Agumuyai Muyapa, seorang aktivis, perempuan yang anti feminism, dan inisiator Solidaritas Pasar Mama-Mama West Papua di Nabire, menyebut kolonial Indonesia memanfaatkan teknologi dan media massa untuk membangun kesadaran palsu. Kesadaran masyarakat, khususnya kaum budak marginal di mata kolonial Indonesia pun ikut dialienasi. “Dia (kolonial Indonesia) bangun kesadaran palsu melalui alat media dll. Jadi gaya berpikir dan kesadaran kita juga dialienasi. Bahkan