Rela tak bertemu keluarga demi rawat pasien COVID-19

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Timika, Jubi – Wabah pandemi COVID-19 mulai melanda Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, pada sekitar pekan ketiga Maret 2020. Sejak 29 Maret, Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 setempat mengumumkan secara resmi bahwa dua warga Timika terkonfirmasi positif terinfeksi COVID-19, setelah beberapa hari sebelumnya kedua pasien menjalani perawatan di RSUD Mimika. Dalam pekan-pekan berikutnya setelah itu, laju penularan kasus COVID-19 di Mimika kian tidak terkendali. Hingga Minggu (19/4/2020), jumlah warga Mimika yang terinfeksi corona sudah mencapai 32 orang. Dari 32 pasien positif COVID-19 itu, tiga pasien sudah meninggal dunia, empat pasien dinyatakan sembuh, dan sisanya hingga kini masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit setempat seperti RSUD Mimika, RS Tembagapura, dan Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika. Data pada Posko Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Mimika memaparkan bahwa saat ini juga terdapat sebanyak 52 Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang menjalani isolasi baik di shelter Wisma Atlet Mimika maupun melakukan isolasi mandiri, juga terdapat 152 Orang Dalam Pemantauan (ODP), dan 259 Orang Tanpa Gejala (OTG). Semakin banyak jumlah pasien positif COVID-19 yang dirawat di RSUD Mimika membuat pekerjaan para tenaga medis terutama di ruang isolasi pun semakin bertambah berat. Apalagi jumlah tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi yang setiap hari berhubungan dengan para pasien positif COVID-19 sangat minim, hanya beberapa orang. Maka tidak heran, petugas medis yang hanya sekian orang itu terpaksa harus terus melayani pasien, dengan waktu istirahat yang hanya beberapa jam saja saat pergantian shift kerja. Kisah perjuangan petugas medis yang bertugas di ruang isolasi RSUD Mimika itu diungkapkan oleh Karlina Kasim melalui unggahan video lewat akun facebook pribadinya pada 9 April 2020. Saat itu, Karlina hanya bisa memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada putri sulungnya, Mishadina Naila Askar, yang genap berusia 12 tahun melalui media sosial, tanpa bisa bertemu secara langsung. Karlina mengaku bertugas sebagai perawat pada ruang isolasi khusus pasien COVID-19 RSUD Mimika sejak 4 April. Sejak bertugas di ruang isolasi, ia memutuskan tak lagi pulang ke rumah, walau hanya sekejap saja untuk bisa bertemu suami dan kedua buah hatinya. Suami Karlina bertugas sebagai anggota Polri di Polres Mimika yang juga setiap saat selalu berpatroli untuk mengimbau warga agar tetap tinggal di rumah guna menghindari diri dari penularan COVID-19. “Sekarang anak-anakku kutitip sama tantenya. Saya menginap di RS (RSUD Mimika). Suami patroli terus. Kami berempat benar-benar terpisah,” tutur Karlina, yang mengunggah video dalam akun facebooknya sambil mengenakan pakaian hazmat ketat yaitu Alat Pelindung Diri (APD) yang dikenakan oleh para petugas medis dalam penanganan pasien COVID-19. Karlina mengaku dirinya bersama rekan-rekan petugas medis lain yang juga bertugas di ruang isolasi khusus pasien COVID-19 RSUD Mimika semuanya dilarang untuk melakukan kontak dengan keluarga. Selama tinggal di rumah sakit, ia dan rekan-rekannya bahkan merelakan diri tidak dibezuk oleh para kerabat. “Risiko sekali kalau keluarga mau jenguk saya,” ujarnya. Selain penanganan teknis medical, para petugas medis juga membantu para pasien tetap kuat melawan ganasnya COVID-19. Para pasien yang sebagian besar merupakan ibu-ibu rumah tangga seringkali bercengkrama dengan para petugas medis bahwa mereka sudah rindu untuk berkumpul bersama kembali dengan anggota keluarganya di rumah. “Rata-rata pasien ibu-ibu bilang rindu ke pasar, rindu memasak untuk keluarga, rindu keluarga dan tetangga. Kami hanya kasih semangat dan bilang pasti bisa sembuh dan bisa pulang. Semangat ya bu? Ibu sehat kami bangga dan bahagia. Mereka bilang Tuhan Yesus memberkati,” cerita Karlina. Karlina mengaku sempat mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen. Penglihatannya jadi gelap dan sekujur tubuh langsung berkeringat dingin. Untung rekan-rekannya cepat membantu. “Saya bahagia dengan teman-teman di ruang isolasi, saling dukung dan membantu. Saya bahagia sekali punya tim seperti mereka. Saya mencintai pekerjaan ini,” katanya. Berjibaku dan berhadap-hadapan dengan risiko jadi korban penularan COVID-19, Karlina hanya meminta hal sederhana yaitu warga tetap berada atau tinggal di dalam rumah. Berada di dalam rumah, katanya, menjadi cara paling efektif alias obat paling manjur atau mujarab untuk memutus rantai penularan COVID-19. “Tidak ada lain, stay at home (tinggal di rumah). Bantu kami putuskan rantai (penularan COVID-19) ini. Tolong jangan keluar-keluar, virus ini tidak main-main,” pesannya. Tambah tenaga medis Juru Bicara Tim Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Kabupaten Mimika, Reynold Ubra, mengakui tugas para tenaga medis di ruang isolasi khusus pasien COVID-19 di RSUD Mimika semakin berat dengan penambahan banyak PDP yang dirawat. Apalagi rumah sakit milik Pemkab Mimika itu merupakan salah satu rumah sakit rujukan penanganan COVID-19 di Provinsi Papua. “Memang ada kendala ketika jumlah pasien dalam pengawasan meningkat, terutama yang menjalani isolasi di rumah sakit maka harus ada penambahan tenaga agar mereka bisa secara bergantian bekerja. Ketika yang lain bekerja, yang lain bisa memanfaatkan waktu untuk istirahat, demikian pun sebaliknya,” kata Reynold yang juga menjabat Pelaksana Tugas Kepala Dinkes Mimika itu. Sejauh ini, kata Reynold, hampir seluruh tenaga medis yang bertugas di RSUD Mimika maupun pada fasilitas pelayanan Call Center 119 masih sehat, meskipun beberapa petugas medis termasuk dokter di Mimika ada yang sudah berstatus PDP, ODP, OTG lantaran pernah menjalin kontak dengan pasien positif COVID-19 saat penanganan awal kasusnya di fasilitas kesehatan. “Dalam melakukan evakuasi dan penanganan pasien, entah yang sudah positif ataupun masih berstatus PDP, ODP maupun OTG, maka yang ditekankan yaitu pencegahan dan pengendalian infeksi dengan menggunakan APD secara baik dan tepat. Kami tetap berharap seluruh tenaga kesehatan baik di puskesmas, rumah sakit, dan klinik kesehatan di Mimika tetap terjaga kesehatannya,” ujarnya. Reynold mengatakan sejak kasus COVID-19 positif di Mimika ditemukan, semua faskes sudah menerapkan prinsip bahwa seluruh pasien yang datang ke faskes harus dianggap sebagai pasien infeksius sehingga semua petugas kesehatan harus mengenakan APD standar satu hingga standar tiga. Dalam perang melawan penularan COVID-19, para tenaga medis sejatinya ada di pertahanan terakhir. Garda terdepan dalam perang pandemi ini adalah warga sendiri dengan mempertahankan sikap dan tindakan tetap berada di dalam rumah, dan jika terpaksa keluar rumah hanya untuk urusan yang sifatnya darurat. Para tenaga medis ini juga seperti pasien yang sementara diisolasi, rindu berkumpul dengan keluarga. Dengan tetap berada di dalam rumah maka akan sangat membantu pekerjaan tenaga medis, setidaknya mengurangi jumlah pasien yang harus mereka tangani. (*) Editor: Dewi Wulandari

Yang terabaikan ketika RUU bermasalah tetap dibahas di tengah wabah Covid-19

papua, RUU penghapusan kekerasan seksual

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jakarta, Jubi – Informasi dari rapat paripurna DPR 2 April 2020 yang digelar terbuka mengejutkan masyarakat sipil. Hal itu sehubungan dengan kabar bahwa RKUHP akan segera disahkan. Padahal sampai saat ini saja, tata tertib DPR tentang tindak lanjut dari Surat Presiden terkait carry over belum diketahui kejelasannya oleh masyarakat luas. Berita tentang rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19 ini akan menambah catatan buruk DPR dan Pemerintah. Sikap terburu-buru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR saat ini menunjukkan aji mumpung di kala pandemic Covid-19 sedang berlangsung. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik Pemerintah maupun DPR untuk serius mengedepankan kesehatan warga negaranya. Tidak hanya RKUHP yang kualitas substansinya akan dikesampingkan, jika disahkan saat pandemi berlangsung. Namun ada beberapa RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Besar kemungkinan bahwa beberapa RUU tersebut diatas akan mengandung ketentuan yang tidak relevan bagi konteks sosial masyarakat Indonesia ke depan. Selain itu, masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang seharusnya dibahas lebih dalam dan menyeluruh, terutama terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal. Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) yang terdiri dari PKBI, Pamflet Generasi, ICJR, ASV, Arus Pelangi, SEJUK, PurpleCode Collective, LBH Masyarakat, SGRC mengeluarkan siaran pers terkait hal itu, Selasa, 14 April 2020. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, perempuan lebih rentan terhadap KDRT; Perempuan juga mengemban beban ganda sebagai pekerja dan pengelola rumah tangga; Tenaga kesehatan perempuan pun menjadi garis terdepan dalam penanggulangan Covid-19 dengan minim proteksi; Transgender perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak kesejahteraannya dari pandemi ini; Kesehatan mental perempuan pun menjadi permasalahan yang belum ditemukan solusi konkritnya. Virus Corona dan Dampaknya Pada Tenaga Kesehatan Perempuan Menurut data dari WHO tahun 2019, jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70 persen dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan. Perawat misalnya, berada di angka 79 persen. Sementara dari seluruh dokter di Asia Tenggara, 61 persen adalah perempuan. Di Indonesia, 71 persen atau 259.326 orang adalah perempuan (PPNI, 2017). Fakta ini menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan perempuan berada di garda terdepan yang berisiko terinfeksi virus. Oleh karenanya pemerintah perlu memperhatikan pemenuhan kebutuhan spesifik tenaga kesehatan perempuan. Kebutuhan yang harus dipenuhi bukan hanya peralatan seperti APD, namun kebutuhan spesifik lainnya seperti kebutuhan menstrual hygiene dan kebutuhan dukungan psikologis kepada tenaga kesehatan perempuan. Salah satu kendala yang dihadapi tenaga kesehatan berada di garis terdepan penanggulangan Covid-19 adalah kelangkaan APD dan harga yang meningkat tajam. Hal ini menyebabkan beberapa tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis perempuan memberikan layanan tanpa APD yang sesuai dengan standar. Dampak lainnya adalah, beberapa tenaga kesehatan perempuan memberikan layanan konsultasi online dan tidak berpraktek secara fisik. Salah satunya adalah klinik PKBI yang memberikan layanan kesehatan khusus bagi klien yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi, seperti: layanan kontrasepsi, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS, onstetic/gynekologi (pemeriksaan kehamilan), konseling remaja, pemeriksaan SGBV, dan layanan konseling kesehatan reproduksi lainnya. Dampak lain dari kelangkaan APD, harga yang meningkat tinggi dan fokus layanan kesehatan kepada Covid-19 salah satunya adalah semakin sulitnya akses layanan kesehatan bagi problem-problem kesehatan lainnya. Seperti layanan kesehatan reproduksi yang semakin menurun. Di beberapa klinik ataupun puskesmas, klien sulit mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV, dan belum bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk terlibat dalam pengurangan dampak dan resiko penularan. Layanan lain yang menjadi menurun adalah layanan PMTCT (Penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya), hal ini disebabkan karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak lagi memberikan layanan sehingga pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya lambat untuk terdeteksi. Bahkan tanpa adanya pandemik Covid-19, mereka adalah kelompok yang dimarjinalkan, dan dengan adanya pandemik, maka pelayanan bagi merekapun semakin menurun, ditambah lagi dengan kerentanan yang mereka miliki. Akses perempuan hamil juga sulit terutama untuk mengetahui perkembangan kesehatan janin dan perempuan hamil itu sendiri, karena perempuan hamil hanya akan memeriksakan kehamilannya jika ada indikasi kedaruratan medis. Hal itu tentunya akan berdampak juga dalam penanganan KTD berbasis konseling. Dengan usia kehamilan yang semakin membesar namun tidak selaras dengan pemberian layanan konseling yang komprehensif, akan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri baik secara fisik, psikis dan sosialnya. Selain itu juga, kelangkaan APD dapat menjadi alasan terhentinya program pemerintah terkait layanan kespro. Contohnya, saat ini program Keluarga Berencana yang digagas BKKBN dan PKBI belum dapat diterapkan dengan maksimal untuk layanan kontrasepsi permanen. Layanan itu, sementara ini tidak dapat berjalan sehingga akses laki-laki dan perempuan usia subur untuk mendapatkan layanan kontrasepsi secara gratis tidak dapat terlayani. Maka dari itu, pemerintah juga didorong oleh DPR perlu mengatur regulasi terkait penentuan harga jual APD dan memperioritaskan penggunaannya untuk tenaga kesehatan. PKBI saat ini melakukan pengurangan jam layanan dan pembagian jam dan hari kerja untuk staf klinik layanan, serta mengoptimalkan layanan dengan media online. Akan tetapi hal yang sama tidak dapat dipastikan dengan layanan yang diberikan oleh pemerintah sehubungan dengan kespro, sehingga diperlukan mekanisme pemberian layanan yang tidak menyulitkan masyarakat umum dalam mengakses layanan kespro. Peran ganda dan kepemimpinan perempuan di kala pandemi Seperti yang telah disebutkan Komnas Perempuan pada 26 Maret 2020 lalu, kebijakan PSBB menambah kerja berlapis terhadap perempuan. Skema belajar di rumah dan kerja di rumah setidaknya membebani perempuan mengambil peran untuk menjadi guru, pengasuh utama anak dan anggota keluarga lainnya, sambil mengerjakan pekerjaan produksi dan domestik. Selain menambah beban kerja, peran sosial yang dilekatkan perempuan membuat perempuan semakin berisiko terkena Covid-19. Aktivitas belanja yang dibebankan kepada perempuan misalnya, meningkatkan kemungkinan kontak secara fisik dengan pedagang atau orang luar. Selain itu, peran sebagai pengasuh dan pelindung membuat perempuan lebih dulu mengutamakan kesehatan anak dan anggota keluarganya daripada kesehatan mereka. Hal ini sedikit banyak berdampak pada bagaimana perempuan merespon gejala kesehatan yang dialami dirinya dan anggota keluarganya. Melihat fenomena ini di tengah pandemi yang semakin tidak menentu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan dapat menyerukan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, khususnya dalam hal beban asuh, beban produksi, dan ranah domestik. Pentingnya kesetaraan gender juga harus diperhatikan dalam penanggulangan Covid-19 yang saat ini sedang dilakukan. Kendati jumlah tenaga kesehatan mayoritas adalah perempuan, namun dalam

Seruan Departemen Perempuan GIDI, memaknai Paskah dengan meneladani Doa & Puasa Ester

Seruan Departemen Perempuan GIDI, memaknai Paskah dengan meneladani Doa & Puasa Ester 1 i Papua

Salam Damai Dengan mengikuti informasi terkait penyebaran virus corona yang telah merenggut ratusan nyawa, dan bahkan ribuan orang yang telah terinfeksi di beberapa negara seperti Cina, Italia, Amerika, Rusia, Inggris dan Indonesia secara khusus di Papua dan Papua Barat serta beberapa negara lainnya; Menyadari bahwa kecemasan dan ketakutan mulai merasuki jiwa dan akal sehat kita, diperparah lagi dengan minimnya upaya-upaya pencegahan baik dari diri perorangan, keluarga, komunitas bahkan pihak-pihak yang bertanggung jawab, maka tidaklah bijaksana untuk saling menyalahkan dalam menghadapi hari-hari sulit, Oleh Sebab itu, Kami, Para Pemimpin Perempuan Gereja Injili Di Indonesia merasa sadar dan sangatlah penting untuk menyampaikan kepada seluruh perempuan GIDI di seluruh Indonesia untuk Berdiam diri di rumah, Merendahkan diri & hati dan Mencari Wajah TUHAN dan menilai diri sendiri dalam  menjalani kehidupan melalui membaca Firman TUHAN. Melalui Doa Beberapa Hamba Tuhan di Wamena dan Doa Malam Serentak oleh beberapa Perempuan di Jayapura,  Ada Tiga Nats Firman TUHAN Zefanya 2:1-3 ; Yunus 3:1-10 dan Keluaran 12:1-14 ; yang menjadi dasar untuk menggerakkan perempuan berdoa. Dengan menyadari Sistem layanan kesehatan di Papua yang masih sangat terbatas. Keputusan Bapak Gubernur Provinsi Papua dan Forkopimda yang sangat bijaksana sebagai upaya pencegahan terhadap penyebaran virus Corona di Tanah Papua namun mendapat tanggapan seorang pejabat negara yang dinilai sebagai diskriminasi kebijakan. Dengan demikian Kami memohon kepada seluruh perempuan GIDI untuk BERDOA dan BERPUASA Memohon Belas Kasihan dan Pelindungan TUHAN yang sempurna atas umat-Nya di seluruh dunia dan secara khusus rakyat Papua. Memaknai Paskah pada tahun 2020 di Papua, Perempuan GIDI meneladani DOA & PUASA ESTER, Pada tanggal 8, 9 ,10 April 2020 sebagai gerakan selamatkan manusia Papua dari roh kematian atau tulah kemusnahan yang ditunggangi oleh virus corona. Demikian Seruan ini dibuat dengan penuh kerendahan hati, Keputusan hati akan menuntun kita kepada Sikap dan Tindakan yang akan kita lakukan secara bersama-sama. TUHAN sanggup bahkan lebih dari sanggup untuk memulihkan kita, menyelamatkan kita dari malapetaka, menaungi kita dengan damai-Nya, namun TUHAN membutuhkan KERJASAMA dari kita sebagai Tangan & Kaki-Nya yang ada di bumi. Waktu yang kita sisihkan untuk berlutut memohon KASIH TUHAN merupakan salah satu gerakan selamatkan manusia PAPUA, INDONESIA dan BANGSA-BANGSA yang akan memberi ARTI bagi PAPUA secara khusus dan bagi Sesama kita yang berpijak di atas planet yang disebut Mama Bumi. Salam Damai Port Numbay, 29 Maret 2020 Rode Wanimbo Marthasila Wandik Martha Bahabol Miryam Wonda

Pria penganiaya istri di Kota Jayapura ini ditangkap polisi

Kekerasan Papua

Pelaku langsung melakukan pemukulan menggunakan kayu balok Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Aparat Kepolisian Resor Kota Jayapura Kota berhasil menangkap seorang pria berinisial JT, warga Angkasapura, Distrik Jayapura Utara karena menganiaya istrinya menggunakan kayu balok. JT ditangkap berdasarkan laporan polisi atas kasus penganiayaan yang dilaporkan istrinya sendiri usai dianiaya pada Selasa (24/3/2020). Baca juga : Kekerasan perempuan di Bali masih dominan Aksi bisu FPP Manokwari bukti belum ada solusi bagi kekerasan perempuan Dinas PPA gelar pelatihan untuk pelayan korban kekerasan perempuan dan anak “Kasus penganiayaan itu bermula dari cekcok mulut antara korban dan pelaku, dengan seketika pelaku langsung melakukan pemukulan menggunakan kayu balok,” kata Kasat Reskrim ajun komisasis Yoan Febriawan, Kamis, (26/3/2020) tadi malam.. Ia menduga pelaku emosi dan langsung memukul istrinya di bagian kepala dan badan menggunakan sepotong kayu balok. “Tidak sampai di situ saja, ternyata pelaku juga sempat mencekik leher korban. Usai melakukan aksinya pelaku meninggalkan rumah,” kata Yoan menambahkan. Sedangkan penangkapan pelaku berawal dari pengembangan laporan polisi nomor: LP/74/I/2020/Papua/Resta Jpr Kota tanggal 20 Januari 2020 tentang kasus KDRT. Pelaku ditangkap saat sedang bermain kartu bersama rekan-rekannya di seputaran Dok V. “Saat dilakukan penangkapan pun pelaku tidak memberikan perlawanan dan selanjutnya pelaku kami giring untuk pemeriksaan di Mapolresta,” kata Yoan menambahkan. Hasil interogasi pelaku mengakui perbuatannya telah melakukan penganiayaan terhadap istrinya, dan saat ini pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (*) Editor : Edi Faisol

Belajar kesehatan alat reproduksi perempuan dan membuat pembalut kain

Belajar kesehatan alat reproduksi perempuan dan membuat pembalut kain 2 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Masih dalam semangat International Women’s Day [8 Maret 2020], puluhan perempuan di Kota Jayapura berlatih menjahit pembalut kain. Kegiatan yang baru pertama kali dilakukan di Papua ini merupakan upaya positif keterlibatan perempuan untuk pengetahuan akan kesehatan alat reproduksi sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan Papua. Sekitar dua-puluhan perempuan: filmmaker, jurnalis, pendeta, pegawai kantoran, tutor, mahasiswa, perempuan aktivis, hingga ibu rumah tangga, terlihat antusias mempraktikan keahlian sang-tailor [penjahit]. Mulai dari perkenalan istilah dalam dunia jahit-menjahit, membuat pola, mengenal jenis bahan [kain], hingga teknik menjahit dengan tangan dan mesin. Namun, pola yang dijahit sangat tidak biasa: pembalut kain. “Adu…kakak, tolong bantu isi benang di [lubang] jarum ini ka?”, “Mata nene ini pakai bagaimana ka?”, “Augh…[jari] tatusuk jarum lagi,” dan masih banyak lagi kelucuan yang selalu disambut tawa peserta workshop “Perempuan Bantu Perempuan” melalui belajar bersama tentang kesehatan reproduksi dan membuat pembalut kain di Gedung Sophie P3W-GKI Padangbulan, Jayapura, Rabu (11/3/2020). Kenapa pembalut kain? Westiani Agustina dari Biyung Indonesia—organisasi swadaya masyarakat yang berkerja pada isu perempuan dan lingkungan di Yogyakarta—menyampaikan bahwa pembalut kain sangat aman digunakan dan tidak memberikan dampak negative sekitar alat reproduksi perempuan. Beda cerita ketika menggunakan pembalut sekali pakai, seperti yang banyak tersebar di pasaran. “Yang berbahaya, dalam proses daur ulang banyak zat kimia [dioxin] yang digunakan untuk proses pemutihan,” ujar Westiani dalam kelas workshop hari pertama. Mengutip Zine yang dipublikasi Needle and Bitch—komunitas kolektif otonom, berbasis sukarela, non-hirarkis, terorganisir secara mandiri yang berfokus pada masalah gender, seksualitas, dan hak atas tanah—menjelaskan, pembalut sekali pakai menggunakan bahan baku kertas bekas dan serbuk kayu [pulp] yang didaur ulang untuk menjadikannya bahan dasar; Bahan baku tersebut mulai dari kertas koran, kardus, dan karton bekas yang penuh dengan bakteri, kuman dan berbau. Dioxin adalah sebuah hasil sampingan dari proses bleaching [pemutihan] yang digunakan pada pabrik kertas, termasuk pabrik pembalut perempuan, tissue, sanitary pad dan diaper [pembalut untuk anak-anak]. Dalam sesi diskusi, satu per satu perempuan mulai menguraikan permasalahan kewanitaan yang sering dialami kala menggunakan pembalut sekali pakai. Di antaranya iritasi dan rasa gatal. Menurut Westiani, dampak yang mulanya dianggap sepele ternyata berpotensi menjadi masalah serius apabila penggunaan pembalut sekali pakai tidak benar, seperti rentang waktu pergantian. Gangguan serius pada kesehatan reproduksi tersebut bisa hingga menyebabkan kanker. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan penderita kanker mulut rahim nomor satu di dunia, dan 62 persen dipicu oleh penggunaan produk pembalut yang tidak berkualitas. Sementara menurut Yayasan Kanker Indonesia [YKI], penyakit leher rahim [serviks] menyebabkan korban meninggal sedikitnya 200.000 perempuan setiap tahunnya [www.cegahkankerserviks.org]. Miris melihat gangguan pada kesehatan reproduksi perempuan, sang inisiator workshop: Javiera Rosa—perempuan aktivis Papua—menggandeng Biyung Indonesia dan Needle and Bitch menyelenggarakan workshop tersebut untuk pertama kalinya di Papua. Kota Jayapura mengawali tour workshop ini, diikuti Manokwari dan Sorong. Rosa ingin mendorong perempuan Papua untuk menggunakan pembalut kain untuk alasan kesehatan dan lingkungan. Menurut Rosa, banyak kasus tentang kesehatan reproduksi yang dialami oleh perempuan Papua dan salah satu alasannya adalah karena penggunaan pembalut sekali pakai. Meski belum mengantongi data resmi, mayoritas perempuan secara lisan mengaku mengalami seperti rasa gatal-gatal dan iritasi. “Jadi, salah satu solusinya adalah membuat pembalut kain sendiri, untuk dipakai sendiri, dan tidak ikut mencemari lingkungan dengan sampah pembalut. Apalagi, di Jayapura saja kita belum punya sistem pengelolaan sampah,” kata Rosa. Bonus lain yang diperoleh ternyata bukan saja aman, namun pembalut kain juga bisa mengirit isi dompet karena bisa digunakan berulang kali. Poin penting kedua bagi sang-inisiator adalah untuk menjaga keseimbangan lingkungan yang menjadi sumber unsur-unsur penting bagi kehidupan manusia. Begitu pula sungai, danau dan laut. “Bayangkan saja kalau setiap perempuan menggunakan pembalut sekali pakai lalu dibuang [ke alam]. [Padahal], di Papua belum ada sistem pengelolaan sampah pembalut wanita maupun pampers untuk bayi,” lagi kata Rosa. “Bayangkan kalau itu [pembalut, diaper] dibuang bebas ke tempat-tempat sampah, ke kali atau got, larinya [bermuara] ke laut dan tentu akan pengaruhi ekosistem di laut. Kalau pun dibakar, bahannya tidak mudah terurai dalam tanah, butuh puluhan tahun,” tegasnya. Teluk Youtefa saat ini mulai mengalami pendangkalan. Apalagi saat musim penghujan, teluk cantik itu berubah menjadi muara bagi timbunan segala jenis sampah dari Kali Acai yang terhubung dengan puluhan saluran air di sekitar Abepura dan sekitarnya. “Hutan mangrove di Teluk Youtefa, kita bisa lihat di akar-akar bakau penuh dengan pempers, pembalut, belum lagi sampah plastik lainnya. Jadi, di Papua ini, saya rasa penting sekali kita untuk menjaga lingkungan kita bersama-sama,” harap Rosa. Jadi, ini satu peringatan keras buat kita orang Papua harus sadar bahwa masalah lingkungan itu tidak hanya datang dari luar tapi juga dari gaya hidup kita. “Itu salah satu alasan kenapa kita perlu membuat pembalut kain dan memakai pembalut kain untuk kesehatan tapi juga untuk lingkungan kita,” ujarnya. Rosa kembali mengingatkan, bagi masyarakat adat Papua, tanah dan alam merupakan simbol perempuan atau mama yang memberi kehidupan. Ibarat rahim mama, rahim alam juga harus dijaga sehat agar bisa menumbuhkan tunas-tunas baru. “Mari tong jaga lingkungan kita, mama alam kita, yang memberi kehidupan untuk kita. Tong, perempuan Papua bisa mulai dengan pakai pembalut kain,” pinta Rosa.   Editor: Kristianto Galuwo

Kampanye anti-kekerasan seksual melalui Yospan bersama

Kampanye anti-kekerasan seksual melalui Yospan bersama 3 i Papua

  Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – “Mari Tong Yospan Bersama,” diusung menjadi tema para puan dan sahabat puan di Kota Jayapura yang tergabung dalam Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual. Puluhan pasang kaki spontan bergerak lincah seketika musik dengan lagu nge-beat khas Papua terdengar dari balik pengeras suara. Dua barisan berpasangan itu pun kian mengular, berputar mengikuti setiap gerak kepala barisan hingga senja. Bunyi lonceng gerejalah yang ‘terpaksa’ menyudahi keceriaan Minggu [8/3/2020] sore itu. “Yospan [yosim dan pancar] merupakan tarian lokal dan tarian pergaulan, jadi, harapannya banyak orang ikut berpartisipasi,” kata Narriswari, salah satu anggota Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Perempuan kepada Jubi. Lanjutnya, koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi maupun individu itu sengaja mengusung tema Mari Tong Yospan Bersama pada peringatan Hari Perempuan Internasional [International Women Day] yang rutin diperingati setiap 8 Maret di seluruh dunia. Di balik wajah-wajah ceria itu ternyata para puan dan sahabat puan masih menyimpan segudang persoalan. Ada pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat Kota Jayapura. “Tujuannya supaya masyarakat di Papua semakin care [peduli] dengan [masalah] kekerasan seksual. Selama ini, banyak kasus tetapi kita masih belum menyadari bahwa ini [kekerasan seksual] adalah kejahatan. Mereka pikir itu adalah hal yang biasa,” ujar perempuan yang aktif pada Perkumpulan Samsara [LSM yang bergerak pada isu kesehatan seksual dan reproduksi, berkantor pusat di Daerah Istimewa Yogyakarta]. Kampanye melawan kekerasan seksual terlihat dalam spanduk-spanduk serta poster-poster yang tergantung pada leher peserta aksi damai tersebut. Di antaranya berbunyi: Stop kekerasan seksual, sa perempuan bukan berarti saya lemah-saya punya hak atas sa pu tubuh, dukung dan lindungi korban, ko jadi korban-jangan salahkan dirimu, pelaku kekerasan harus dihukum, dan media harus ramah korban. Tak hanya itu. Dalam sejumlah orasi, koalisi ini juga mengampanyekan kepada seluruh unsur masyarakat kota Jayapura untuk menghapus stigma yang cenderung menyalahkan korban. Pernyataan yang sering muncul di antaranya korban pemerkosaan dituding “bersalah” hanya karena busana yang digunakan, atau bekerja hingga larut, maupun berpergian keluar rumah seorang diri. “Yang harus dibereskan adalah otaknya, cara pikirnya,” kata salah satu orator yang disambut tepukan dan yel-yel peserta aksi tersebut. Koalisi ini juga menyatakan bahwa, “Papua darurat kekerasan seksual.” Dalam lima bulan, Polda Papua menangani 72 kasus pelecehan seksual. Pernyataan yang dituliskan pada sebuah spanduk putih panjang berisi belasan judul-judul laporan dan pemberitaan media terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat. Di antaranya, “Kekerasan seksual dan operasi militer di Biak [1967-1969]”, “Tahan perempuan dan lakukan kekerasan seksual di Wamena [1967-1970]”, “Papua [berada pada] urutan ke-11 Kekerasan terhadap anak”, “Tentara perkosa perempuan buta di Manokwari [1963-1968]”, “Turis asal Cina diperkosa dua orang di Wamena”, “Tiga oknum polisi dilaporkan ke Polda Papua,” dan “Pelecehan mahasiswa Papua, Polisi langgar kode etik.” Menurut catatan tahunan Komisi Nasional Perempuan 2019, pelaku kekerasan seksual terbanyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Kasus paling tinggi, pelaku yang dilaporkan adalah pacar [1.670 kasus], bapak [orangtua kandung] sebanyak 365 kasus, om [305 kasus], dan suami [195 kasus]. Salah satu upaya melawan kekerasan seksual yang penting dilakukan adalah dengan membangun perspektif generasi muda untuk semua gender. Hal tersebut dilakukan Narriswari bersama perkumpulannya melalui workshop terkait kekerasan berbasis gender di Jayapura, yang menyasar para mahasiswa. “Jadi, sebelum mereka berpartisipasi di dalam [kegiatan] ini, mereka sudah memiliki perspektif dan paham apa sebenarnya isu gender, salah satunya kekerasan seksual, dan mereka menyuarakan itu lewat aksi,” ucap Narriswari. Sementara itu, Koordinator Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual, Nourish Griapon, menyatakan tujuh sikap yang diusung pada IWD 2020, melalui pernyataan sikap yang dikirimkan kepada Jubi. [1]. Menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual. [2]. Mendesak Presiden dan DPR RI agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). [3]. Mendesak Aparat Kepolisian agar bekerja profesional dan memakai perspektif korban dalam menangani kasus kekerasan seksual. [4]. Mendesak Lembaga-lembaga  Bantuan Hukum agar benar-benar membawa kepentingan korban dalam menangani kasus kekerasan seskual. [5]. Mendesak pekerja media agar mengedepankan peliputan sesuai perspektif HAM, perlindungan terhadap korban perempuan dan anak, menghindari penghakiman, dan mengutamakan informasi dua belah pihak dalam peliputan. [6]. Mendesak pemerintah agar melaksanakan pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan. [7]. Menghimbau masyarakat umum agar berani menentang kekerasan seksual, melindungi korban, melaporkan setiap kasus kejahatan seksual, dan mengakses bantuan hukum yang tersedia. [*] Editor: Dewi Wulandari

Hari Perempuan Internasional garis bawahi isu ketidaksetaraan ekonomi

Hari Perempuan Internasional garis bawahi isu ketidaksetaraan ekonomi 6 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jakarta, Jubi – Ketidaksetaraan ekonomi menjadi hal yang digarisbawahi Direktur Eksekutif UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka, tepat di Hari Perempuan Internasional. “Ketidaksabaran terbesar saya adalah tidak bergeraknya ketidaksetaraan ekonomi,” kata Mlambo-Ngcuka dalam keterangan khususnya memperingati Hari Perempuan Internasional yang diterima di Jakarta, Minggu (8/3/2020). Perempuan dan anak perempuan harus menggunakan tiga kali energi anak laki-laki dan pria untuk mengurus rumah tangga. Itu mereka bayar dengan kesetaraan kesempatan untuk pendidikan, di pasar tenaga kerja, dan upaya mendapat kekuatan. “Itu semua pendorong terjadinya kemiskinan yang berulang,” kata Mlambo-Ngcuka. Perempuan muda yang harus membesarkan keluarganya 25 persen akan lebih mungkin hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang mempengaruhi jutaan anak kecil, dengan dampak kemiskinan yang bertahan sampai akhir kehidupan bagi ibu dan anak. Solusi yang diberikan harus mencakup kebijakan yang baik yang mempromosikan lebih banyak kesetaraan dalam tanggung jawab pengasuhan anak dan termasuk memberikan dukungan negara kepada keluarga, dan mereka yang bekerja di sektor informal. Hal lain yang ia garis bawahi dalam hal kesetaraan gender yang harus dibenahi adalah sedikitnya jumlah perempuan di meja kekuasaan. Tiga per empat anggota parlemen di dunia adalah laki-laki. Solusi yang terbukti adalah memperkenalkan kuota yang mengikat secara hukum untuk perwakilan perempuan. Hampir 80 negara sukses melakukannya dan beberapa pemerintahan memiliki kabinet yang seimbang gender dan secara eksplisit menunjukkan kebijakan feminis. Ini, menurut dia, adalah tren yang diinginkan yang perlu dilihat lebih banyak di sektor publik dan swasta, meski secara keseluruhan proporsi perempuan dalam posisi manajerial tetap di kisaran 27 persen, bahkan ketika sudah lebih banyak perempuan lulus dari universitas. Hal sama terjadi pada perempuan yang ada di meja perdamaian, di mana sebagian besar negosiator dan penandatangan adalah laki-laki. “Kita tahu keterlibatan perempuan membawa kesepakatan damai lebih abadi, tetapi perempuan terus termarjinalkan. Grup perempuan dan pembela HAM menghadapi persekusi namun siap untuk melakukan lebih banyak lagi. Untuk itu mereka sangat membutuhkan peningkatan perlindungan, pendanaan dan sumber daya,” kata Mlambo-Ngcuka. Kali ini PBB mengangkat tema “Saya Generasi Kesetaraan: Menyadari Hak Perempuan” untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. (*) Editor: Dewi Wulandari

Pemda di Papua diharapkan bersinergi dalam penguatan keluarga berkualitas

Pemda di Papua diharapkan bersinergi dalam penguatan keluarga berkualitas 7 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Papua, Charles Brabar, mengatakan Kampung Keluarga Berencana atau biasa disebut Kampung KB akan diubah nomenklaturnya menjadi Kampung Keluarga Berkualitas. “Sekarang penguatan keluarga bukan lagi berbicara dua anak cukup. Mau dapat anak banyak silahkan, yang penting kualitas anak-anak di Papua khususnya menjadi generasi unggul dan berkarakter ke depannya,” ujar Kepala BKKBN Papua, Charles Brabar, usai menghadiri upacara HUT Kota Jayapura ke-110 di Lapangan Trisila Lantamal X Jayapura, Sabtu (7/3/2020). Menurut Brabar, perubahan nomenklatur tersebut dilakukan untuk mengedukasi masyarakat di tingkat kampung terhadap pentingnya keluarga berkualitas. “Kampung Keluarga Berkualitas ini kami harapkan bisa bersinergi dengan semua program pemerintah daerah di Papua untuk bersama-sama membangun masyarakat di kampung. Ada 457 Kampung KB di Papua, yang sudah dicanangkan tiga tahun,” ujar Brabar. Diakui Brabar, penguatan keluarga berkualitas tidak bisa jalan sendiri-sendiri sehingga program yang dilakukan dampaknya dapat dirasakan masyarakat. “Tanpa inovasi dan kreatifitas akan menimbulkan kevakuman dalam pemberdayaan masyarakat khususnya menuju keluarga berkualitas,” jelas Brabar. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3A-KB) Kota Jayapura, Betty Pui, mengatakan telah menganggarkan dana Rp2 miliar lebih untuk menyukseskan Kampung Keluarga Berkualitas. “Keluarga berencana ini harus dipahami sebagai keluarga berkualitas dengan tujuan tidak menghilangkan ras, marga, dan etnis,” ujar Pui. Menurut Pui, untuk mencapai keluarga berkualitas dibutuhkan interaksi dan koordinasi dalam keluarga sehingga tugas dan fungsi masing-masing dalam keluarga dapat dikerjakan bersama-sama. “Program kampung KB sudah kami lakukan di 14 kampung di Kota Jayapura, dan rutin kami lakukan setiap tahun,” jelas Pui. (*) Editor: Edho Sinaga  

Lingkungan dan perkembangan teknologi jadi penyebab kekerasan seksual

Lingkungan dan perkembangan teknologi jadi penyebab kekerasan seksual 8 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Papua, Charles Brabar, mengatakan kekerasan seksual terjadi karena pengaruh lingkungan dan perkembangan teknologi. Menurutnya, salah satu upaya untuk mengatasi hal itu adalah dengan memperbanyak sosialisasi tentang pendewasaan usia perkawinan. “Sebenarnya ini menyangkut pendewasaan usia perkawinan. Kita tidak bisa melarang anak-anak kita dalam memanfaatkan teknologi tapi harus dimanfaatkan secara bijak,” jelas Brabar usai menghadiri upacara HUT Kota Jayapura ke-110 di Lapangan Trisila Lantamal X Jayapura, Sabtu (7/3/2020). Menurut Brabar, pelecehan seksual baik anak-anak, remaja, dan dewasa laki-laki dan perempuan tak bisa dibenarkan karena menghancurkan psikologi orang mengalaminya. “Kami bentuk pusat informasi konseling (PIK) di 427 kampung di Papua. Yang sudah kami optimalkan ada 30 lebih. PIK ini tidak berorientasi bukan di data tapi edukasi. Kami sudah lakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah hingga ke lingkungan masyarakat,” ujar Brabar. Menurut Brabar, dengan melibatkan remaja tergabung dalam PIK ini untuk memberikan sosialisasi perlindungan kesehatan reproduksi terhadap anak-anak, remaja, dan dewasa baik laki-laki dan perempuan. “Pendidikan seksual dan pemberian informasi tentang permasalahan pelecehan seksual dapat menghindarkan anak dari kekerasan seksual, seperti jangan mudah menerima pemberian orang asing, dan selalu minta izin orangua jika akan pergi. Orang tua harus berperan penting dalam menjaga anak-anaknya,” jelas Brabar. Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3A-KB) Kota Jayapura, Betty Pui, mengatakan kasus kekerasan seksual dan anak yang ditangani Pusat Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak sejauh ini sebanyak delapan kasus. “Sementara kami tangani dengan mediasi dan ini sudah ditindaklanjuti ke kepolisian. Ada kasus perselingkuhan, kekerasan, pelecahan seksual terhadap anak,” ujar Pui.(*) Editor: Edho Sinaga

Walau sulit, korban kekerasan seksual harus berani (Sekelumit catatan pendamping kasus kekerasan seksual di Papua)

Walau sulit, korban kekerasan seksual harus berani (Sekelumit catatan pendamping kasus kekerasan seksual di Papua) 9 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Zely Ariane “Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak berakar pada ratusan tahun dominasi laki-laki. Jangan kita lupa bahwa ketidaksetaraan gender yang menyulut budaya perkosaan pada dasarnya merupakan persoalan ketimpangan kuasa.” — Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia 25 November 2019 (un.org) Telah 109 tahun berlalu sejak lebih dari 100 perempuan dari 17 negara bersepakat untuk menetapkan sebuah hari peringatan bagi hak-hak perempuan internasional. Hari Perempuan Internasional yang kemudian diperingati setiap 8 Maret adalah penanda atas seberapa jauh capaian serta tuntutan atas hak-hak perempuan di segala bidang. Banyak sekali hal sudah tercapai yang telah memberi perempuan ruang bergerak dan bereksistensi selayaknya manusia yang sama dengan lelaki. Namun banyak juga yang masih jalan di tempat bahkan memburuk, tak berkesesuaian dengan kemajuan zaman dan peradaban. Salah satu contohnya adalah kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai salah satu kejahatan terhadap tubuh perempuan yang hingga saat ini terus terjadi dengan angka yang terus meningkat. Dekat, marak, namun sunyi Kekerasan seksual adalah kejahatan yang dekat dan marak namun sunyi. Dekat karena setiap satu dari tiga orang perempuan dan anak-anak di seluruh dunia mengalami kekerasan seksual ataupun kekerasan fisik paling banyak dari suami, pacar laki-laki, orangtua, saudara, rekan kerja, dan atasannya di kantor (WHO 2020). Marak namun sunyi karena kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, adalah pelanggaran hak azasi manusia yang paling luas menyebar, terus terjadi dan merusak kemanusiaan namun masih sangat sedikit yang dilaporkan disebabkan oleh impunitas, pembungkaman, stigma, serta rasa malu atas kejahatan tersebut. (UN 2019). “Ada dua korban yang sekarang sedang dalam tanggung jawab saya. Yang satu pelakunya adalah bapak kandungnya sendiri dan satunya saudara sepupu. Bapak kandung itu sudah ditangkap dan ditahan di Jayapura lalu bunuh diri di sel,” ungkap Nur Aida Duwila, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jayapura kepada Jubi melalui sambungan telpon, akhir Februari lalu. Kini korban terpaksa hamil akibat kejahatan itu. “Sekarang umurnya mau masuk 18 tahun bulan Juli nanti. Namun kejahatan bapaknya itu sudah terjadi sejak korban berumur 15 tahun,” kata Nur Aida. Dia menjelaskan butuh waktu sampai tiga tahun hingga korban tersebut akhirnya bisa mendapat pertolongan karena keluarga tidak mendukung. “Sempat dia (korban) dibawa lari, ‘ditangkap’ oleh keluarga dibawa pulang ke rumah, dipaksa kawin, akhirnya bisa lari lagi dan bertemu dengan saya atas bantuan orang lain. Bayangkan bagaimana tersiksanya jiwa anak ini.” Sementara satu korban lainnya harus berhadapan dengan ancaman dari bapaknya sendiri jika tidak mencabut tuntutan. “Anak yang satunya bahkan diancam oleh bapaknya jika tidak mencabut tuntutannya. Dan bapaknya ini mantan anggota instansi keamanan. Kedua korban yang sedang saya bantu sekarang hidup dalam ancaman selama ini,” ungkap Nur Aida. Sejak berdiri Maret 2017, LBH APIK Jayapura telah menerima 55 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, 19 di antaranya adalah kasus perkosaan. Perkosaan terhadap anak mendominasi angka itu. “Yang paling banyak kami tangani adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual terhadap anak. Untuk kasus kekerasan seksual itu mayoritas terjadi terhadap anak di bawah umur, di bawah 15 tahun, dan dilakukan oleh keluarganya sendiri, seperti bapak kandungnya, kakeknya, atau pamannya,” lanjut Nur Aida. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) pada pertengahan tahun 2019 lalu meluncurkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018). Dalam rilisnya, Kemen PPA menyebutkan hasil survei menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Kuasa pelaku Ada juga kasus dugaan kekerasan seksual oleh suami kepada istrinya, dan si istri kemudian juga menggugat cerai suaminya. Namun gugatan itu lalu ditarik kembali. “Besar dugaan kami suami yang oknum pejabat tidak ingin masalah diketahui publik karena menyangkut reputasinya. Padahal proses pendampingan cukup panjang dari diskusi dengan keluarga hingga di kepolisian,” Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), yang juga seorang pengacara kasus-kasus HAM, menceritakannya kepada Jubi lewat sambungan telpon akhir pekan lalu. Anum mengakui sulitnya penanganan kasus kekerasan seksual oleh pelaku oknum pejabat publik atau aparat keamanan. “Karena kita bukan saja mengurus proses hukumnya tetapi juga berhadapan dengan relasi kuasa, tantangannya jauh lebih berat.” Dia menyontohkan kendala yang dihadapi ketika pelaku adalah oknum kepolisian dan memiliki posisi penting. “Kadang pihak penyidik yang menangani justru mengalami kendala internal. Ada relasi kuasa di dalam institusi yang juga harus diselesaikan lebih dulu.” Dalam ringkasan temuan Kelompok Kerja Pendokumentasian Kekerasan Negara terhadap Perempuan Papua sepanjang tahun 1963-1998, perkosaan dan percobaan perkosaan oleh militer dan polisi adalah kejahatan HAM yang terbanyak mencapai 54 kasus. Angka itupun dipastikan masih jauh dari kasus-kasus yang belum dan tidak terdata, apalagi mengingat sepanjang 35 tahun itu Papua dan Papua Barat adalah wilayah operasi militer. Nur Aida membenarkan tantangan besar serta upaya yang ekstra harus pendamping lakukan berhadapan dengan kuasa pelaku kekerasan seksual yang punya jabatan publik. Dia menyontohkan kasus kekerasan seksual dilakukan oknum SJ di Jayapura yang kasusnya saat ini sudah di tingkat kasasi, serta oknum kepala sekolah di Jayapura. “Nah, kasus-kasus semacam ini walau semuanya menempuh jalur pengadilan tetapi sangat berliku-liku dan prosesnya lama. Mungkin karena pelaku punya power dan punya duit, dia bisa akses ke penyidik dan bisa melakukan apa saja,” ujarnya. Terkait kasus SJ, dia menyebutkan proses hukum bisa didorong relatif cepat dan maksimal karena ada tekanan dari luar. “Saya dan teman-teman STOP SUDAH yang kami bentuk tahun 2018 itu ramai-ramai aksi dan bertemu Kapolda, baru kemudian ditindaklanjuti dengan cepat,” ujarnya. Persoalan lainnya adalah sarana dan mekanisme perlindungan korban dari intervensi pelaku. Di Jayapura, menurut Nur Aida, Ruman Aman bagi korban kekerasan seksual yang telah disediakan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) saat ini tak bisa digunakan. Karena Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya belum ada maka dana juga tidak ada yang bisa dialokasikan untuk lindungi korban, tak saja terkait keamanan namun juga makan dan hidup sehari-hari. “Rumah Aman ini disediakan oleh P2TP2A bekerja sama dengan Polda Papua. Nah karena dibangun di dalam Polda, kadang-kadang jika pelaku punya akses orang dalam kan itu repot kita,” kata Nur Aida. Perspektif hukum bermasalah “Instrumen hukum sudah memadai, namun letaknya lebih pada prespektif aparat hukum,” kata Anum.

Siang malam jual Noken agar anak sekolah lebih tinggi

Siang malam jual Noken agar anak sekolah lebih tinggi 10 i Papua

  Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Sadar akan pentingnya pendidikan, jadi penyemangat bagi Lea Pigai  berjuang agar anaknya dapat mencicipi ilmu hingga ke perguruan tinggi. Demi mewujudkan itu, setiap hari Pigai datang jualan ke Pasar Hamadi dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. “Anak saya ada tiga, yang besar sudah kelas enam SD (sekolah dasar). Harapan saya ini semoga anak-anak saya menjadi orang sukses dan menjadi berkat bagi orang lain,” ujar Pigai di Pasar Hamadi, Sabtu (22/2/2020). Lebih jauh, Pigai bercerita, masih memiliki suami dan tak ingin membebaninya dalam urusan rumah tangga. Sebagai perempuan, ia menunjukkan kalau dirinya bisa bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Dia berusaha semampunya kerja agar bisa membahagiakan anaknya. “Pendidikan itu sangat penting dan sudah menjadi kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya,” ujar Pigai yang sempat malu-malu saat dimintai wawancara. Bermodalkan jarum sulam, Pigai duduk tenang tertunjuk sambil menyulam benang hingga menjadi sebuah noken. Pigai begitu teliti dan berhati-hati, tidak terburu-buru karena baginua noken yang berkualitas tentunya akan cepat laku dijual. “Kalau tidak kerja, mau kasih sekolah anak mau ambilkan uang dari mana. Saya harus semangat. Sekarang saya punya umur sudah 30 lebih,” ujarnya sambil tersenyum. Untuk bisa menghasilkan noken berkualitas, dalam sehari Pigai hanya bisa mengerjakan dua noken untuk ukuran sedang, dan satu noken ukuran besar. “Harga benangnya saya beli satu pak Rp 150 ribu, kalau satu gulung harganya Rp 20 ribu. Satu hari kadang laku hanya 1 sampai 2, kadang juga tidak sama sekali. Saya belajar bikin noken dari umur 12 tahun. Saya belajar sendiri,” ujar Pigai. Senada Pigai, penjual noken lainnya, Desy Pekey, smp, mengatakan kesuksesan anaknya dalam meraih cita-cita adalah suatu kebanggaan baginya. “Saya punya anak satu, sekarang sudah kelas lima SD. Semoga anak saya ini bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi keluarga khususnya dalam keluarga,” ujar Pekey. Sama seperti Pigai, Pekey setiap hari jualan di Pasar Hamadi, dan malamnya jualan di kota. Hal ini dilakukan agar bisa menyekolahkan anaknya sekaligus membantu perekonomian keluarga. “Saya pakai modal sendiri. Suami saya ada kerja di kampung. Saya jualan noken kadang laku, kadang tidak. Kalau tidak jualan mau makan apa, pendidikan anak saya jadinya bisa terganggu,” jelas Pekey. Desy yang hanya tamatan SMP ini, ingin anaknya bersekolah setinggi-tingginya. Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Ellen Montolalu, mengatakan pendidikan merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. “Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia, dan merupakan investasi paling berharga dalam keluarga,” ujar Ellen. Meski demikian, dikatakan Ellen, pendidikan tak hanya mengharapkan kesuksesan anak tapi juga pendidikan karakter anak sangat penting ditanamkan sejak dini. “Pendidikan dilakukan tidak hanya untuk memberikan anak ilmu pengetahuan tetapi juga untuk menanamkan dan mensosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma sehingga anak dapat mengamalkan pendidikan yang diperoleh di sekolah,” ujar Ellen. Untuk itu, Ellen menekankan pentingnya pendidikan karakter pada anak, yang dimulai dari lingkungan keluarga sehingga menjadi sifat-sifat bawaan dalam lingkugan masyarakat. “Anak usia SD ditandai oleh tiga dorongan ke luar yang besar, yaitu kepercayaan anak untuk keluar rumah, masuk rumah, dan masuk dalam kelompok sebaya. Karakter bawaan akan berkembang jika mendapat sentuhan pengalaman belajar yang baik,” jelas Ellen. (*) Editor: Syam Terrajana

Dolly Pince Waine wakili Papua di IYLE Asian 2020

Dolly Pince Waine wakili Papua di IYLE Asian 2020 11 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi –  Dolly Pince Waine, terpilih untuk mewakili Papua dalam pertukaran pemimpin muda internasional (International Youth Leader Exchange 2020) di Kuala Lumpur, Malaysia, yang akan berlangsung pada 8 -10 Maret 2020. Pertemuan kegiatan pertukaran pemimpin muda internasional ini akan dihadiri para pemimpin dari negara se-Asean. Dolly Pince Waine mengatakan, program ini merupakan pertukaran pengetahuan yang akan ditunjukkan di Asean global. Di mana terdapat pengalaman internasional yang bakal menginspirasi.  Dalam kegiatan ini pula, akan ada pemaparan budaya, orientasi kampus dan perjalanan perusahaan. “Program ini berupaya untuk menggarisbawahi prinsip-prinsip universal dan nilai-nilai kepemimpinan yang melampaui perbedaan nasional dan budaya, sambil menyoroti pendekatan inovatif demi pengembangan masa depan yang lebih baik,” kata Waine, Minggu (16/02/2020). Mantan pewarta jurnalis warga (noken wene) Wamena ini mengatakan, manfaat dari mengikuti pertukaran pemimpin muda internasional (International Youth Leader Exchange 2020) di Kuala Lumpur, Malaysia adalah untuk orientasi universitas dan pertukaran pelajar, kemudian pemaparan budaya dan eksplorasi perusahaan. “Manfaat dari kita mengikuti kegiatan ini diberi sertifikat internasional se-Asean sehingga yang memiliki sertifikat ini berhak untuk melamar beasiswa dan bekerja di perusahaan dengan ruang lingkup se-Asean,” katanya. Meskipun uang pendaftaran dan tiket pulang-pergi ditanggung peserta,  Waine merasa ini momen langka, karena tidak semua orang mendapatkannya. Sehingga dirinya memanfaatkan kesempatan tersebut meskipun harus mengeluarkan uang pribadi. “Pertukaran ini melalui jalur LSM dan saya kebetulan dari LIPI Papua dan juga punya LSM sendiri dengan nama Lembaga Kajian Daerah Papua (LKDP) sebagai direktur dan yang pertama ada di Papua,” kata Waine. Sementara itu Ardiansa Rahmawan, Program Director of Student International dalam surat perjanjian tertulis menerangkan bahwa Dolly Pince Waine terpilih menjadi peserta, di dalam surat yang dikirim ke pertukaran pemimpin muda internasional (International Youth Leader Exchange 2020) mewakili Papua, dari proses seleksi yang ketat secara online di Asian Global. “Dalam surat perjanjian tersebut Dolly Pince Waine, sebagai pererta menyetujui dan bersedia untuk mengikuti dan mematuhi bentuk program dan agenda yang telah disusun oleh pihak penyelengara. Semoga bisa mendapat pengetahuan dan pengalaman baru di sana,” harapnya. (*)   Editor: Edho Sinaga

Amos Yeninar, anak muda pendiri rumah singgah untuk anak putus sekolah

Amos Yeninar, anak muda pendiri rumah singgah untuk anak putus sekolah 12 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Nabire, Jubi – Amos Yeninar, lelaki lulusan strata satu dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Uncen Jayapura. mendirikan sebuah lembaga bernama Yayasan Siloam Papua. Yayasan ini untuk menampung, mendidik, dan membina generasi penerus orang asli Papua . Menurut Amos Yaninar, pelayanan terhadap anak-anak muda di Kabupaten Nabire, yang masih punya harapan kehidupan yang masih panjang ini. Ia memulai pelayanan ini secara suka rela. Sepenuh hati. “Saya mulai dekati anak-anak putus sekolah itu sejak tahun 2014 lalu. Sejak mulai pelayanan ini pada tahun 2017 lalu hingga sudah masuk tahun 2020 saya relakan kehilangan segalanya, termasuk tawaran menjadi pejabat di kampung halamanku, Kabupaten Supiori,” ujarnya kepada Jubi, Jumat, (14/2/2020). Pertengahan tahun 2018, ia muncul pikiran untuk mengurus sebuah badan hukum demi mengantisipasi jika suatu saat dibutuhkan. Lalu ada orang yang berikan bantuan berupa uang. Itulah yang dia manfaatkan mengurus administrasi. Hingga lahirlah “Yayasan Siloam Papua” “Setelah ada yayasan ini, saat itu saya sangat membutuhkan sejumlah orang yang sejiwa denganku. Mereka yang benar-benar punya hati dan ingin habiskan hidupnya bersama anak-anak di jalanan tanpa mengharapkan imbalan yang lebih. Saya pegang teguh komitmen awal. Ia yakini dengan visi yang telah diberikan Allah kepadanya demi menyelamatkan generasi muda yang sudah terlanjur masuk dalam hal-hal yang tidak terpuji,” ujarnya. Amos menjalankan tugasnya sebagai pelayan bagi anak-anak generasi emas ini dipusatkan di gedung PKK lama, Oyehe yang ia sebut sebagai ‘rumah singgah.’ Ia sebut rumah singgah karena, anak-anak asuhnya hanya bisa datang dan singgah pada jam tertentu saja. “Contohnya, anak-anak akan datang ke rumah singgah pada jam 18.00 sore hingga kadang mereka datang jam 02.00 dini hari. Mereka datang tidak menentu jamnya,” katanya. “Awal mula saya dirikan itu ketika menjadi pengojek. Jadi hasil yang saya dapat dari ojek itu, malam hari saya beli makan lalu biasa makan bersama dengan mereka (anak-anak). Lama kelamaan, mereka semakin akrab dengan saya. Dan, biasa berdoa bersama dengan mereka di jalan-jalan atau dimana saja saya ketemu mereka,” ucapnya. Anak-anak yang dibina melebihi batas,mereka berasal dari Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, dan Intan Jaya. Sehingga selama ini pihaknya melakukan pembinaan dengan cara melatih berdoa, dan hidup yang sehat. “Anak-anak yang kami bina 100 lebih orang. Mereka ini sudah putusan sekolah, korban lem aibon, perokok dan sejenisnya,” kata dia. Philemon Keiya, kordinator Komunitas Enaimo Nabire (KENA) mengatakan, dalam pelayanannya, Amos Yeninar tidak sendirian. Ada banyak yang telah menjadi rekan atau mitra untuk dirinya. Mitra itu datang atas nama pribadi, komunitas, gereja, dan lainnya. “Kami sebagai mitra jalanan membuat pelayanan yang dijalankan Amos Yeninar kebanyakan di jalanan. Melalui kami, Amos bisa mengenal hal lain,” katanya. (*) Editor: Syam Terrajana

Korban dugaan KDRT ditemukan tewas di kebun sawit

Korban dugaan KDRT ditemukan tewas di kebun sawit 13 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi Merauke, Jubi – Seorang warga ditemukan tewas di areal perkebunan kelapa sawit PT Agro Cipta Persada di Distrik Muting, Kabupaten Merauke. Korban berinsial EB yang berusia 21 tahun tersebut diduga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. “Korban ditemukan tergeletak dalam kondisi tidak bernyawa di samping pohon kelapa sawit oleh salah seorang pekerja pada Rabu, 12 Februari. Seketika itu juga, saksi langsung melaporkan (temuannya) kepada polisi setempat,” kata Kepala Polres Merauke AKBP Ary Purwanto, saat konferensi pers, Kamis. Sekitar sehari kemudian, Polsek Muting membekuk tersangka pelaku, AT yang juga suami korban. Dia selanjutnya digelandang untuk dijebloskan di tahanan Polres Merauke. Berdasarkan penyelidikan awal polisi, korban meninggal akibat tindak kekerasan. Ada luka dan lebam di tubuhnya. Polisi menduga EB dibunuh AT. Dugaan itu berdasarkan informasi penyelidikan dan pengakuan tersangka. “Berawal dari pertengkaran, pelaku kemudian memukuli korban. Korban pun melarikan diri ke lokasi perkebunan kelapa sawit untuk menelpon keluarganya di (Distrik) Tanah Miring,” ungkap Ary. AT lantas menyusul EB dan membujuknya pulang, tetapi korban menolak ajak tersebut. AT pun kemudian mengayunkan pisau ke wajah ED sehingga korban tersungkur. Setelah melaksanakan aksinya, pelaku meninggalkan begitu saja isterinya. “Pelaku sudah dibawa dari Muting ke Polres Merauke, untuk menjalani proses hukum. Pelaku dijerat (dengan) Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukumannya, tujuh tahun penjara,” kata Kepala Subagian Humas Polres Merauke Kompol Suhardi. (*)   Editor: Aries Munandar  

Polisi tangkap penganiaya istri yang tayangkan aksinya di facebook

Polisi tangkap penganiaya istri yang tayangkan aksinya di facebook 14 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi Merauke, Jubi – Polisi menangkap DP (35 tahun) terduga pelaku kekerasan dalam rumah tangga di Merauke. DP diciduk setelah penganiayaan terhadap istrinya tersebut disiarkan melalui tayangan langsung di media sosial, facebook. “Pelaku telah diamankan (ditahan) polisi. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Kepala Subbagian Humas Polres Merauke Kompol Suhardi, Jumat (7/2/2020). Penganiayaan bermula dari cekcok antara pelaku dan LW, istrinya. DP kemudian memukuli LW sehingga istrinya itu mengalami luka memar. Kejadian tersebut diabadikan pelaku melalui fasilitas siaran langsung di facebook dengan menggunakan telepon seluler istrinya, kemarin. Saat tayangan tersebut berlangsung, polisi pun meluncur ke lokasi kejadian. DP akhirnya ditangkap di salah satu daerah di Kota Merauke. “Pelaku langsung ditahan. Dia saat ini menjalani pemeriksaan di unit PPA (pelayanan perempuan dan anak),” kata Wakil Kepala Polres Merauke Kompol JS Kadang. Kadang menilai perbuatan pelaku sudah keterlaluan. Apalagi, dia sampai menyiarkan langsung perbuatannya itu sehingga ditonton banyak orang. (*)

Diperkirakan 10 ribu anak kecanduan Aibon di Papua

Diperkirakan 10 ribu anak kecanduan Aibon di Papua 15 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi Merauke, Jubi – Dinas Pendidikan Papua memprioritaskan penyusunan rancangan peraturan daerah mengenai pendidikan. Peraturan daerah itu, di antaranya akan mengakomodasi perlindungan terhadap hak-hak guru dan siswa. “Salah satu prioritas perhatiannya ialah (pendidikan bagi) anak-anak pengguna lem Aibon. Mereka umumnya merupakan Orang Papua. Di Merauke, jumlahnya (penyalahgunaan Aibon) banyak juga,” kata Kepala Dinas Pendidikan Papua Christian Sohilait, Sabtu (1/2/2020). Berdasarkan laporan staf yang diterima Christian, diperkirakan ada sekitar 10 ribu anak korban kecanduan Aibon di Papua.  Kondisi tersebut sangat memperhatinkan sehingga harus ditanggulangi segera. “Masak dengan jumlah (korban kecanduan sebanyak) itu, kita tidak mengurus dan memperhatikan mereka. (Permasalahan) ini menjadi catatan khusus untuk segera ditangani,” ujar Christian. Dia menilai kasus penyalahgunaan lem Aibon terjadi akibat kurangnya perhatian keluarga dan tanggung jawab orangtua. “Begitu lahir, (anak) harus dirawat dan dibesarkan, sekaligus (dipenuhi kebutuhan) pendidikan mereka.” Wakil Ketua DPRD Merauke Dominikus Ulukyanan mengakui banyak kasus penyalahgunaan lem Aibon di kabupaten tersebut. “Ini menjadi tanggung jawab semua pihak untuk merangkul, sekaligus melakukan pendampingan terus-menerus (terhadap pecandu Aibon).” (*)   Editor: Aries Munandar

Penina, sosok perempuan inspiratif Papua telah berpulang

Penina, sosok perempuan inspiratif Papua telah berpulang 16 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Berprofesi sebagai penginjil, pendoa syafaat tanah Papua serta pencetus ide pemuda segitiga (Gidi, Kingmi dan Baptis) telah berpulang ke rumah Tuhan. Dia adalah mendiang Penina Kayame, istri dari Niko Kobepa, salah seorang dosen di Universitas Cendrawasih (Uncen) yang mengajar bahasa Inggris. Salah seorang pemuda Baptis Papua Akia Wenda kepada Jubi mengatakan, kalangan pemuda Baptis Papua merasa kehilangan sosok perempuan Papua inspiratif yang selama ini memberi hidup sepenuhnya dalam dunia pelayanan. Menurutnya, mendiang Penina Kayame memberi hidup sepenuhnya dalam dunia pelayanan dengan harapan Papua dipulihkan dan berdiri sebagai bangsa yang takut akan Tuhan, hidup penuh dengan Roh Kudus dan penuh kasih. “Siapa yang tidak kenal pelayanannya di Gidi, Kingmi, Baptis, GKI adalah rumahnya asuhnya dan dia teladan bagi semua orang terutama pemuda-pemudi,” katanya. Ia bermimpi besar untuk umat Tuhan di atas tanah Papua bertobat dan dipulihkan dari perbudakan setan. “Engkau tidak pergi, seribu Penina akan lahir misi Penina akan tercapai,” ujarnya. Sementara itu Ruth Labene, salah seorang mahasiswa di Kota Jayapura menganggap mendiang adalah penasehat yang tidak pernah berhenti berbicara tentang kerajaan surga yang terus ia teladani. “Beliau adalah teladan untuk perempuan Gidi, Baptis, Kingmi, GKI. Dia adalah sosok perempuan penyemangat untuk perempuan Papua,” katanya. (*) Editor: Edho Sinaga

MRP tegaskan tolak program KB di tanah Papua

MRP tegaskan tolak program KB di tanah Papua 17 i Papua

 Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua (MRP) melalui Pokja Perempuan kembali menegaskan, MRP bersama rakyat Papua menolak tegas program Keluarga Berencana (KB) yang menghambat proses perkembangan orang asli Papua di tanahnya sendiri. Hal tersebut ditegaskan Ciska Abugau, anggota MRP Pokja Perempuan, saat melakukan pertemuan dengan Bupati Jember, Faida, saat melakukan kunjungan kerja dan silahturahmi di kantor MRP, Senin (27/1/2020) malam. Menurutnya, terjadi persoalan ketika perempuan Papua meminum pil KB yang dianjurkan pemerintah melalui BKKBN. Di mana, Perempuan Papua tak lagi bisa hamil dan melahirkan, yang berdampak pada semakin berkurangnya jumlah Orang Asli Papua di tanahnya sendiri. “Ini yang sering dialami dan terjadi sama perempuan Papua. Ketika dikasih pil KB itu langsung tidak bisa mengandung lagi, seperti KB itu yang menutup kandungan perempuan Papua,” tegasnya. Sementara itu Bupati Jember, Faida mengatakan, apa yang menjadi keluhan perempuan Papua yang disampaikan melalui MRP akan diteruskan kepada pemerintah pusat dan juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati, untuk ditindaklanjuti. (*) Editor: Edho Sinaga

Bupati Jember: Perempuan Papua harus menjadi pemimpin di tanahnya sendiri

Bupati Jember: Perempuan Papua harus menjadi pemimpin di tanahnya sendiri 18 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) Helena Hubi mengatakan, kehadiran Bupati Jember, Faida, dapat memotivasi perempuan Papua untuk menjadi pemimpin dan melindungi hak-hak perempuan Papua dari ancaman modernisasi. “Perempuan Papua bisa menjadi pemimpin di tanah Papua dan kehadiran ibu bupati membawa satu motivasi tersendiri untuk perempuan Papua untuk bisa menjadi pemimpin di sini misalnya di tingkat kabupaten,” kata Helena dalam pertemuan silahturahmi tersebut, Selasa (28/01/2020). Menurutnya, peran perempuan Papua dalam Legislatif terbilang sedikit dan MRP sebagai lembaga kehormatan rakyat Papua menjadi tempat bagi perempuan Papua bisa memiliki kesempatan untuk menjadi perwakilan tujuh wilayah adat masing-masing. “Sangat sulit perempuan Papua bersaing di kursi legislative dan untung ada MRP sehingga hak perempuan Papua dapat kami aspirasikan lewat lembaga MRP,” kata Helena. Sementara, Bupati Jember, Faida, mengapresiasi lembaga MRP karena memiliki 17 perwakilan perempuan Papua yang bisa bekerja dan menyuarakan hak-hak perempuan lewat lembaga resmi yang terhormat. “Berjuang untuk hak-hak perempuan sejatinya tugas kita bersama di seluruh dunia, dan kami harap perempuan hebat Papua yang berada di kursi Legislatif dan MRP dapat menyuarakan dan memberi perlindungan terutama di dunia pendidikan (uang sekolah) diberi perhatian khusus kepada perempuan,” katanya. (*) Editor: Edho Sinaga

Kawin adat dan UU Perkawinan No:1 Tahun 1974 di Tanah Papua

Kawin adat dan UU Perkawinan No:1 Tahun 1974 di Tanah Papua 19 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi- Koordinator Perlindungan dan Pendidikan Ibu dan Anak dari Pusat Studi Wanita Universitas Cenderawaih (Uncen)- Dr Kristina Sawen SH MH mengatakan pengakuan nikah adat di tanah Papua harus meninjau ulang UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. “ Jadi harus ditinjau kembali UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 untuk melihat pasal demi pasal. Apakah betul mengatur perkawinan secara adat. Peninjauan ini penting karena selama ini di Papua jika terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) sulit diselesaikan karena nikah adat tidak diakui dalam hukum positif sehingga kaum perempuan menjadi korban,”katanya saat dikontak Jubi, Minggu (26/1/2020). Dia menambahkan harus dikaji pasal demi pasal, yang bisa mengatur itu terhadap nikah secara adat kalau pun belum ada pasal yang mengatur bisa melakukan Yudisial Reviuw terhadap UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. “Kalau ada pasal-pasal yang sudah diatur tetapi masih tersirat mungkin kabur atau bias harus didorong lagi agar bisa dikuatkan melalui analisa-analisa,”katanya. Dia menambahkan ada dua hal ketika berbicara perkawinan masuk dalam ranah hukum perdata, dalam ranah ini tidak diakui secara hukum nasional maupun hukum adat.”Pernikahan itu sah tetapi ketika masih dalam hukum pidana terutama dalam KDRT, maka harus dituntut dan korban harus memiliki akte nikah atau surat nikah sesuai UU Perkawinan,”katanya. Dia menambahkan UU Otsus dan Majelis Rakyat Papua mengakui perkawinan secara adat dan bisa dikaji sehingga melahirkan kebijakan dalam Perdasus demi melindungi kaum perempuan dan anak anak dalam kasus kasus KDRT Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH)-bersama masyarakat adat di Kabupaten Jayapura melakukan diskusi draft rancangan untuk pengakuan terhadap nikah secara adat. “Kami sudah melakukan kajian bersama masyarakat adat di Sentani beberapa waktu lalu,”katanya. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan agama. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.(*) Editor: Syam Terrajana Prosesi antar mas kawin dalam perkawinan masyarakat suku Biak Saireri-Jubi/ist

Anggota DPRD Jayawijaya tolak praktik penomorduaan perempuan

papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Wamena, Jubi – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Hanna Lenna Mabel, menolak kelanjutan praktik-praktik atau budaya pria yang masih menomorduakan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan dan kehidupan bermasyarakat. Hanna Lenna Mabel mengatakan perempuan Jayawijaya harus mendapat perlindungan serta dukungan dari pria. “Budaya perempuan dinomorduakan dalam berbagai hal selama ini, misalnya dalam artian kekerasan terhadap perempuan, sebaiknya mulai dari sekarang tidak terjadi lagi. Kita harus sama-sama mendorong untuk perempuan bukan lagi nomor dua,” katanya, di Wamena, Jumat (24/1/2020). Ia mengajak perempuan Jayawijaya membantu wakil rakyat di DPRD agar bersama-sama mencari jalan keluar, atas masalah-masalah yang dihadapi perempuan di Lembah Baliem Jayawijaya. “Sebagai keterwakilan perempuan, saya mengajak semua unsur perempuan untuk memberikan pikiran, kontribusi untuk perempuan berkembang, menjadi kader, pemimpin Jayawijaya ke depan,” katanya. Sebagai anggota dewan yang baru dilantik 23 Januari 2020, Hanna mengaku memiliki tanggung jawab bagi masyarakat setempat. “Terkait perekonomian atau kesejahteraan mama-mama ini perlu kita turun ke lapangan untuk mengkaji. Sekarang belum dilakukan karena kita baru saja dilantik,” katanya. Berikut 30 nama anggota DPRD Jayawijaya Periode 2019-2024. Eligius Lagoan, Taufik Petrus Latuihamallo, Yonatan Tabuni, Hengki Meage, Ronald Asso SH, Christian Kendek Padang SE, Timotius Kossay, Reinold Bukorsyom, Pilius Tabuni, Lazarus Wenda, Niko Kossy,Yunus Marian, Merlina Elopere, Hanna Lenna Mabel SH.MH, Alexandrian Morin, Natalis Kenela, Elly Togodly S.Ip, Yatinus Yigwa, Eus Tabuni, Matias Tabuni, Penas Kogoya, Isak Itlay, Yustinus Asso, Lucy Wuka S.Pi, Jonathan Mulait, A.Md, S.Sos, Senius P.Hilapok, Festus Manasye Asso, ST, Hersen Wetapo, Novel Yeniaput Wetapo, SE dan Iwan Asso S.Ip. (*)   Editor: Kristianto Galuwo

Ini sa pu noken!

Ini sa pu noken! 20 i Papua

Oleh : Rosa Moiwend “ Sa pu nene Mote (dari suku Mee) yang bikin noken ini khusus untuk sa” BEGITULAH saya memperkenalkan noken saya pada peringatan Hari Noken, tanggal 4 Desember lalu di akun media sosial. Noken yang saya pakai adalah noken bergaya Mee tentunya. Dalam Bahasa Mee, noken biasa disebut Agiya. Untuk ukuran yang lebih kecil, biasanya disebut Ute. Noken ini terbuat dari bahan dasar kulit kayu Genemo, yang dalam bahasa Mee disebut Damiyo Bebi (kulit kayu Genemo untuk menganyam noken). Ia selalu menemani saya ketika berpergian ke luar Papua. Di saat perasaan saya sedang cemas, hanya dengan memeluknya, seketika itu juga saya seperti mendapatkan kekuatan dan ketenangan kembali. Ia membuat saya nyaman dan aman, serta merasa tetap dekat dengan rumah. Nene saya adalah seorang perempuan Mee dari kampung Bagou, yang menikah dengan tete (kakek) saya, seorang guru perintis berdarah Muyu dari kampung Ninati, di Boven Digoel.  Nene belajar menganyam noken dari mamanya sejak kecil. Sekarang nene telah berusia hampir 90 tahun dan masih aktif menganyam noken setiap hari. Penglihatannya masih sangat tajam, sehingga masih dapat melihat tali anyaman nokennya dengan jelas. Setiap hari pekerjaannya adalah menganyam noken. Dalam seminggu nene bisa menghasilkan satu buah noken seukuran dengan yang saya pakai. Nene selalu membuat noken untuk keluarga kami. Mama saya pun belajar membuat noken dari nene sejak kecil. Mama pernah bercerita kepada saya bahwa dulu ketika mama pergi bersekolah, mama selalu membawa noken pemberian nene saya. Nokennya biasa diisi dengan nota (ubi) bakar sebagai bekal ke sekolah. Setiap hari mama dan kawan-kawannya harus berjalan kaki dan berenang menyeberangi sungai untuk ke sekolah. Noken kecil itu tidak pernah lepas dari dirinya. Bahkan ketika mama melanjutkan pendidikannya ke Jayapura, noken itu ikut bersamanya. Ia telah menjadi saksi cerita mama semasa sekolah. Saat ini, mama telah pensiun sehingga banyak waktunya tersedia untuk menganyam noken. Saya dan adik pun mendapatkan hadiah noken hasil karya tangan mama. Noken pemberiannya selalu saya pakai bergantian atau bersamaan dengan noken pemberian nene. Beberapa kawan dekat saya pernah mendapat hadiah noken buatan mama. Sampai saat ini, saya belum bisa menganyam noken sendiri. Saya masih terus belajar dari mama saya. Ternyata membuat noken tidak semudah yang saya bayangkan. Prosesnya memerlukan konsentrasi, keterampilan, konsistensi, dan kesabaran tersendiri. Dengan terus memakai noken pemberian nene dan mama, saya belajar memahami makna noken bagi kehidupan. Sebagai seorang anak perempuan dan seorang perempuan Papua, saya sadar bahwa saya terikat dengan noken. Mama saya lahir dan besar dari noken nene saya yang berisikan nilai dan warisan pengetahuan identitas Mee dan Muyu secara bersamaan. Ketika mama membawa nokennya dan bertemu dengan bapa saya, seorang seniman berdarah Malind Anim, saya dan adik- adik dilahirkan dari noken mama dan mewarisi identitas Mee, Muyu dan Malind Anim. Demikianlah kami membawa noken identitas kami. Begitulah saya menarasikan keterikatan saya dengan noken saya. Tradisi membuat noken dan memberikannya kepada anak perempuan, bagi saya sangat penuh makna dan pesan. Menurut saya, noken melambangkan rahim seorang perempuan Papua yang kuat dan sehat, yang terbentuk dari mama tanah alam Papua. Di dalamnya terbentuk sebuah kehidupan, yang selama 9 bulan mendapatkan nutrisi dan sifat-sifat baik dari mama, sang pemilik rahim. Setelah kehidupan itu lahir, ia dirawat dan dijaga di dalam noken yang dianyam secara khusus untuk menidurkan bayi. Kehidupan itu tumbuh dan berkembang dengan asupan makanan dari dalam noken. Ketika kehidupan tersebut bertumbuh menjadi besar, noken menjadi sumber pengetahuan bagi dia. Mama dan bapanya mendidik dia dengan pengetahuan yang tersimpan di dalam noken mereka. Maka bagi saya noken juga adalah sumber pengetahuan akan nilai-nilai dan kearifan. Generasi yang lahir dari noken mama, ia membawa identitas dan kehormatan kedua orangtuanya, keluarga besarnya, clannya, komunitasnya dan bangsanya. Noken menyimpan sejarahnya sendiri serta sejarah dan cerita hidup pemiliknya. Siapapun yang masih memiliki noken, ia masih mewarisi akar identitasnya, sambil terus membentuk jati dirinya dengan pengalaman dan konteks hidup di masa kini. Saya berharap suatu saat nanti saya pun dapat menurunkan noken kepada generasi berikut saya. Kita baru saja memperingati hari noken yang ke 7, setelah noken ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan dunia pada tanggal 4 Desember 2012. Kita diajak untuk memakai noken sebagai lambang identitas kepapuaan. Namun, apakah perempuan Papua generasi kita masih memiliki noken beserta isinya? Jangan-jangan kita bangga memakai noken hanya karena keindahan dan keunikannya. Identitas perempuan Papua melekat dengan noken, artinya perempuan Papua adalah noken itu sendiri. Karena itu, ketika sebuah generasi hidup dalam keterpurukan dan penindasan, perempuan Papua sebagai noken berkewajiban untuk menyelamatkan kehidupan generasi tersebut. Mari jadikan noken sebagai landasan filosofis perempuan dalam membangun gerakannya untuk membebaskan manusia Papua dari penindasan. Noken yang kuat terbentuk dari anyaman tali hasil pintalan kulit kayu pohon yang tumbuh kokoh. Sudah saatnya perempuan-perempuan Papua pemilik noken berpijak kokoh pada tanah dan bergerak untuk menganyam noken kekuatan bersama demi menjaga dan menyelamatkan manusia dan Tanah Papua. (*) *Penulis adalah aktivis perempuan Papua

Banyak perkawinan tidak berakte nikah di Nabire

Banyak perkawinan tidak berakte nikah di Nabire 21 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi Nabire, Jubi – Pemerintah Kabupaten Nabire bakal menggelar pernikahan massal pada Minggu ini. Mereka menargetkan menikahkan sebanyak 500 pasangan suami-istri. “Kegiatan ini sebenarnya pada awal tahun. Karena dananya tersedia pada akhir tahun, baru bisa dilaksanakan sekarang,” kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Nabire, Yermias Mote. Nikah massal digelar dalam dua gelombang utama. Penyelenggaraan pertama dikhususkan bagi warga Distrik Nabire. Baru kemudian disusul distrik lain setelah Januari tahun depan. Peserta nikah massal tidak dipunggut biaya sepeser pun. Mereka hanya diminta melengkapi persyaratan administrasi, di antaranya berupa kartu identitas kependudukan dan kartu keluarga saat mendaftar. Selain itu, surat nikah dari gereja serta kartu identitas kependudukan para saksi pernikahan. “Pernikahannya gratis (karena biaya) ditanggung pemerintah. Pasangan (peserta nikah massal) hanya datang dengan membawa persyaratan (administrasi) dan mengisi formulir,” jelas Mote, seusai memimpin rapat persiapan pernikahan massal. Dia mengungkapkan masih banyak keluarga belum memiliki akte nikah di Nabire. Berdasarkan data mereka, terdapat lebih 3.000 anak yang memiliki akte kelahiran, tetapi orang tuanya tidak memiliki akte nikah. “Ada kebijakan melalui (penerbitan) surat pertanggungjawaban mutlak (SPM). Walaupun orang tua belum memiliki akte nikah, anak mereka tetap bisa memiliki akte kelahiran. Berdasarkan peraturan lama, sebenarnya tidak bisa dikeluarkan (diterbitkan akte kelahiran anak),” kata Mote. Disdukcapil bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nabire dalam menggelar pernikahan massal. Mereka juga melibatkan para pemuka agama untuk menggerakkan warga mencatatkan pernikahan di Disdukcapil Nabire. “Pernikahan massal juga menjadi bagian dari perlindungan terhadap perempuan dan anak. Program ini akan dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang,” kata Sekretaris Dinas PPPA Nabire Tajuwit. (*)   Editor: Aries Munandar

Menguak wajah kekerasan terhadap perempuan Papua

Menguak wajah kekerasan terhadap perempuan Papua 22 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Elvira Rumkabu “Setiap hari mama bangun jam 3 pagi, masak dan taruh makanan di atas meja, langsung ke pasar (untuk) [ber]jualan. Pulang dari pasar, suami paksa berhubungan badan. Biar mama cape tapi ikut saja, kalau tidak, nanti mama dapat pukul,” kisah mama Orpa. “Dong bilang Papua ini ada uang otonomi khusus, tapi mama rasa hidup ini tambah susah,” keluhnya lagi sambil sesekali menghapus air matanya. Saya hanya bisa diam saat mendengar kisah mama Orpa. Malam itu Wamena terasa lebih dingin. Di Pasar Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, mama Penina mengeluhkan tempat jualannya. “Sa jualan hanya alas karung saja. Siang itu panas sekali karena tidak ada atap atau seng yang tutup, hanya terpal saja. Paling susah kalau hujan, tempat jualan ini becek sekali karena tenda sudah bolong. Tidak ada bantuan dari pemerintah, paitua (suami) juga tidak bantu,” kata mama Penina sembari menunjuk tenda yang sudah usang dan tidak layak pakai. Kisah-kisah ini sering kali kita dengar karena ada di sekitar kita. Akan tetapi, narasi mereka tidak boleh dianggap normal karena pengalaman tersebut adalah bentuk kekerasan yang hadir secara eksplisit maupun laten. Untuk menghentikan kekerasan, maka wajahnya harus kita kenali. Tokoh resolusi konflik, Johan Galtung mendefinisikan kekerasan secara mendalam. Menurutnya, kekerasan bukan hanya tindakan menyakiti fisik seseorang, tapi merujuk pada semua jenis rintangan yang membatasi seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mendapatkan akses ke sumber daya maupun kesempatan yang ada. Ada tiga jenis kekerasan, yakni kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Jenis kekerasan pertama mengandung elemen fisik dan dapat dilihat sehingga jelas siapa pelaku dan korbannya. Bentuk kekerasan ini dapat berupa penyerangan, pembunuhan, kekerasan verbal, manipulasi, bullying, objektivikasi, dan kekerasan seksual. Kekerasan struktural merujuk pada bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dibangun di dalam struktur, baik yang lebih kecil, maupun yang lebih luas. Kekerasan struktural ini dilanggengkan melalui ancaman, manipulasi, penggunaan kekerasan langsung, represi, hoaks, distorsi informasi di media, dan kebijakan-kebijakan negara yang tidak adil. Salah satu kekerasan struktural mematikan adalah politik Apartheid di Afrika Selatan. Kebijakan politis ini bertujuan untuk memisahkan masyarakat kolonial kulit putih dan Afrika yang berkulit hitam. Kekerasan ketiga adalah kultural yang lahir dari budaya, kepercayaan, adat, maupun praktik dalam masyarakat yang memberikan legitimasi, bahkan membuat kekerasan langsung dan struktural menjadi wajar, normal, dan dapat dibenarkan. Dalam contoh Afrika Selatan, kebijakan apartheid bertahan selama beberapa dekade karena kolonial Eropa percaya bahwa kulit putih berada dalam posisi superior dibandingkan dengan kulit hitam. Oleh karena itu, kebijakan struktural ini dibuat untuk membatasi kulit hitam dalam memiliki akses yang sama dengan kelompok kulit putih. Ketiga kekerasan ini saling terhubung dan memperkuat satu dengan yang lainnya. Kekerasan yang dialami mama Orpa bukan hanya kekerasan terhadap fisik dan psikisnya. Kekerasan seperti ini dilestarikan dengan pandangan masyarakat bahwa perempuan harus tetap melayani kebutuhan suami meskipun beban kerjanya sudah berlapis-lapis. Patriarkis dalam struktur dan budaya masyarakat mengizinkan dominasi laki-laki dalam menentukan keputusan atas tubuh perempuan dan agensinya sebagai pembuat keputusan. Dengan adanya struktur dan kultur pro kekerasan di masyarakat, perempuan seperti mama Orpa menginternalisasi kekerasan sebagai hal yang tidak terhindarkan, bahkan sebagai kewajaran dalam relasi suami istri. Demikian juga dengan mama Penina yang tidak hanya menjadi korban penelantaran suami, tapi juga kekerasan struktural karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak (pada perempuan). Seharusnya negara hadir dengan membuka kesempatan ekonomi yang sama bagi mereka yang terpinggirkan—akses terhadap modal, sarana prasarana layak, kredit usaha, sampai kepada lapangan pekerjaan alternatif lainnya di luar pasar. Akan tetapi, keberadaan mama-mama di pasar dianggap sebagai sebuah keadaan yang ideal, sehingga kita membiarkan mereka tetap berada di dalam pasar. Padahal, tidak semua perempuan Papua yang berjualan memilih menjadi pedagang. Banyak di antara mereka tidak memiliki pilihan lain. Seorang antropolog Papua pernah mengatakan bahwa daya tahan orang Papua adalah di luar pasar karena orientasi mereka adalah sosial dan bukan orientasi bisnis yang bertujuan mencari keuntungan. Akibatnya dalam pasar pun, mereka akan tersingkir dan kalah bersaing dengan pedagang non-Papua. Kekerasan juga menunjukkan wajahnya melalui kebijakan keamanan yang sangat maskulin. Penderitaan perempuan Nduga yang harus mengungsi dari rumah sendiri karena kehadiran aparat keamanan dan konflik bersenjata menunjukkan kekerasan negara yang terstruktur. Menurut data tim kemanusiaan Nduga, konflik telah mengakibatkan 182 korban tewas, terdiri atas 17 bayi perempuan, 8 bayi laki-laki, 12 balita laki-laki, 14 balita perempuan, 20 anak laki-laki, 21 anak perempuan, 21 perempuan dewasa, dan 69 orang laki-laki dewasa. Meski perempuan tidak menjadi aktor dalam konflik Nduga, mereka menjadi kelompok paling terdampak. Parahnya, pandangan negara yang melihat akar persoalan Papua sebatas separatisme, telah diinternalisasi oleh struktur masyarakat kita. Akibatnya, empati kita dimatikan sehingga kita tidak bersuara untuk perempuan Nduga yang kemanusiaannya sedang dilucuti tepat di depan mata kita. Tidak mudah menghentikan kekerasan langsung, structural, dan kultural yang dialami perempuan Papua. Tapi penting untuk memahami dan menguak wajah kekerasan tersebut. Agenda-agenda yang pro terhadap kepentingan perempuan Papua dan gerakan pembebasannya atas penindasan patriarkis maupun kekerasan negara harus didukung. Berbagai ketimpangan sosial yang membatasi perempuan juga harus dikurangi melalui kebijakan negara yang berpihak. Oleh karena itu, narasi perempuan atas ketertindasan yang menghimpit tubuhnya maupun hak-haknya perlu disuarakan. Ketika perempuan Papua berjuang dalam diamnya, maka kita yang harus bertanya dan mendengarkan pergumulannya. Membiarkan mereka dalam kesendiriannya adalah bentuk kekerasan karena menganggap penderitaannya sebagai suatu kewajaran. (*) Penulis adalah akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Editor: Timo Marten

UNDP menganalisis kekerasan gender di Nimbokrang

UNDP menganalisis kekerasan gender di Nimbokrang 24 i Papua

Papua No.1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Sebagai salah satu rangkaian kegiatan 16 days of Activism against Gender-Based Violence (GBV) dalam rangka memperingati hari International Day for the Elimination of Violence against Women and Children, UNDP bersama mitra kerja Semarak Cerlang Nusantara Research and Education for Social Transformation (SCN CREST), LP3AP dan LBH APIK Papua melakukan diseminasi analisis situasi kekerasan berbasis gender di Kampung Nimbokrang Sari dan Bunyom, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. Kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi global program UNDP berjudul “Planning and Paying to Address GBV in Papua” yang juga bekerja sama dengan the United Nations International Institute for Global Health (UNU IIGH) yang juga dilakukan di beberapa negara lain seperti Moldova dan Peru. “Dalam melakukan analisis situasi KBG, SCN CREST menggunakan Sistem Pemantauan Perkembangan Organisasi Menuju Kesadaran Gender (SIMPPOK) yang mengukur komponen-komponen gagasan dasar, tata kelola kelembagaan, program, sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan sumber daya eksternal,” kata Ketua Tim Analisis, Tomi Soetjipto seperti dalam rilis yang diterima Jubi, Kamis (12/12/2019). Dia mengatakan, hasil pengukuran menunjukan bahwa tingkat kesadaran gender di kedua kampung tersebut berada pada level gender praktis. Lembaga sadar dan peduli akan masalah ketimpangan gender dan berupaya mengatasinya dengan pengaturan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan praktis perempuan dan laki-laki. Namun anggota masyarakat di kedua kampung masih menegaskan bahwa urusan perlindungan perempuan dan anak masih menjadi isu yang mendesak dan penting untuk terus diagendakan dalam perencanaan pembangunan kampung. “Yang bisa menolong diri kita adalah kita sendiri. Jadi, jangan terlalu memikirkan birokrasi, tetapi penting untuk bergerak terlebih dahulu, jangan menunggu saja,” kata Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw saat membuka kegiatan tersebut di ruang pertemuan kantor bupati Jayapura. Bupati Mathius menekankan pentingnya pemerintah daerah menjemput berbagai inovasi yang dibawa ke kabupaten yang dipimpinnya, agar memungkinkan daerah berkembang menjadi lebih baik. Beliau juga menegaskan bahwa peran perempuan juga penting, terutama kepada masyarakat adat. “Dengan perubahan dunia yang ada, maka baik perempuan dan laki-laki perlu mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya yang ada.” Siprianus Bate Soro, Head of Democratic Governance and Poverty Reduction Unit UNDP Indonesia mengatakan, Papua dapat menjadi inovator yang tangguh  untuk mengeliminasi KBG di Papua. “Salah satu keunggulan dari kegiatan ini adalah tidak hanya memberdayakan masyarakatnya tetapi juga memastikan bahwa pelayanan untuk penanganan KBG tersedia sesuai kebutuhan masyarakat,” katanya. Kedepannya, kata dia, pemerintah Kabupaten Jayapura meminta proyek ini agar dapat menyampaikan rekomendasi hasil analisis situasi sehingga dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan Kabupaten Jayapura bebas kekerasan. “Sedangkan di level kampung, masukan dari masyarakat kampung akan dimasukkan dalam rencana aksi berbasis kampung untuk perlindungan perempuan dan anak serta diintegrasikan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kampung (RKAK) pada kedua kampung lokasi proyek,” katanya. (*)   Editor: Angela Flassy

Pentas seni warnai puncak kampanye 16 HAKTP di Jayapura

Pentas seni warnai puncak kampanye 16 HAKTP di Jayapura 25 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi –Musik Reggae yang dimainkan De’  Sagoo AB Radio memecah keramaian halaman Dewan Kesenian Tanah Papua sejak pukul 17.30 – 21.30 WP. Ratusan warga Kota Jayapura memadati halaman DKTP mendengarkan alunan musik reggae yang diselingi kampanye isu perempuan oleh para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua. Meski sehari penuh Kota Jayapura dalam keadaan siaga satu, karena adanya kabar demonstrasi memperingati Hari HAM Internasional, namun Puncak Kampanye Puncak acara 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan  atau HAKTP yang setiap tahunnya diselenggarakan bertepatan dengan hari HAM Internasional tetap terselenggara di Kota Jayapura “Terima kasih kepada bapak Polisi, khususnya bapak Kapolres Jayapura Kota yang sudah mengizinkan kami melaksanakan puncak Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua,” kata Nourish selaku MC membuka acara, Selasa (10/12/2019). Nourish menjelaskan, meskipun ada tema nasional, tahun ini  Koalisi memilih tema “Perempuan bergerak selamatkan manusia Papua” karena kondisi Papua yang cukup memprihatinkan pada tahun 2019 ini. Pelaksanaan puncak acara itu sempat terhambat, setelah aparat kemanan tidak mengizinkan Puncak Kampanye 16 HAKTP dilaksanakan di pusat Kota Jayapura itu. Namun Tim Koalisi berhasil meyakinkan dan menjamin keamanan acara. Polres Jayapura Kota akhirnya mengizinkan, meski tetap dengan penjagaan puluhan aparat, baik yang berseragam maupun tidak berseragam. Setelah peristiwa Amuk Massa 29 Agustus lalu, pada 1 September lalu, Kapolda Papua mengeluarkan maklumat soal larangan setiap orang melakukan demonstrasi dan menyampaikan pendapat di muka umum, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan perusakan dan pembakaran fasilitas umum serta dapat memicu bentrok antara kelompok masyarakat. Akibatnya, timbul kesunyian aktivitas masyarakat yang berhubungan ruang publik di Papua, khususnya di Kota Jayapura. Pada puncak acara, berbagai materi kampanye yang membuka wacana pendengar soal-soal perempuan disampaikan secara bergantian oleh para aktivis. Mulai dari tema pendidikan, kebijakan publik, KDRT, kesehatan reproduksi, lingkungan, kondisi perempuan Nduga yang terlupakan, hingga perekonomian perempuan Papua. “Walau sudah ada pasar mama Papua,  tapi persoalan manajemen belum selesai. Perempuan harus tahu, mereka punya hak mendapatkan tempat berjualan yang layak,  dan mendapatkan bantuan pemerintah,” kata Rosa Moiwend saat membawakan kampanye soal ekonomi perempuan. Menurutnya, pelaku ekonomi terbesar di Papua adalah perempuan, tapi kebijakan yang berpihak baginya masih sangat minim. “Masih banyak perempuan yang berjualan di pinggir jalan. Di tempat yang becek. Selama ini mereka diam dan tetap terima. Tetapi para pengambil kebijakan ini tidak malukah melihat perempuan Papua diperlakukan seperti itu,” katanya. Kampanye dimulai sejak 25 November sampai 10 Desember itu dilaksanakan oleh berbagai organisasi, komunitas dan individu yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua Lebih dari 1000 orang terlibat dalam kampanye 16 HAKTP. Menurut Direktur ELSHAM Papua, Pdt. Matheus Adadikam, meskipun diselenggarakan setiap tahun, kampanye tahun ini di Papua terasa berbeda karena banyak melibatkan laki-laki “Saat ada banyak laki-laki, anak muda dan mahasiswa yang terlibat dalam kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap perempuan. Saya optimis ke depan prospek turunnya kekerasan terhadap perempuan akan terjadi di masa depan,” kata Adadikam, Selasa (10/12/2019). Menurutnya, semakin banyak informasi yang benar kepada anak muda soal gender dan kekerasan terhadap perempuan, maka nilai-nilai kesetaraan akan dipahami oleh anak muda. “Karena untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, tidak bisa perempuan saja yang paham dan bergerak, tetapi laki-laki juga harus paham,” katanya. Selama 16 hari, ada berbagai kegiatan digelar, mulai dari pembukaan Posko Konsultasi dan Pengaduan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, liputan isu perempuan dan publikasi opini terkait isu perempuan, 6 kali pemutaran film di komunitas-komunitas anak muda dan Gereja, workshop tentang kesehatan reproduksi, workshop tentang perempuan dan perdamaian, bedah buku, “Sa Ada Di Sini”, diskusi rasisme konteks Papua, jejak petualang dan story telling, diskusi perempuan lintas denominasi gereja, konten medsos tentang peristiwa kekerasan di Paniai dan kampanye pada puncak peringatan hari HAM pada 10 Desember 2019 di Jayapura. Selain di Kota Jayapura, kegiatan juga dilaksanakan bersama-sama dengan pengungsi Nduga di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Di lokasi pengungsian masyarakat Nduga Kampung Ilekma Wamena, koalisi melaksanakan diskusi-diskusi dan penguatan serta menyalakan lilin untuk memperingati 1 tahun kehidupan di pengungsian. “Tidak ada agenda untuk melibatkan laki-laki secara khusus, namun kampanye tahun ini melibatkan laki-laki begitu banyak. Dan itu langkah yang sangat positif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” kata Pdt. Magdalena dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua Menurutnya kampanye ini dilakukan karena kepedulian dan keprihatinan akan kondisi perempuan dan anak di Papua dan Papua Barat yang minim dari perhatian pemerintah serta terus menjadi objek kekerasan di ranah domestik dan publik. Kegiatan yang dilakukan sebagai gerakan bersama jaringan masyarakat sipil dan komunitas bertujuan untuk menggalang dukungan publik terhadap situasi perempuan di Papua dan Papua Barat agar terbangun  ruang aman bagi perempuan di wilayah domestik dan publik. “Hingga saat sekarang ini kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan akibat konflik masih terjadi di sekitar dan kita masih terus menutup mata akan hal itu.” Pada akhir acara, Tim koalisi juga berterima kasi kepada Dewan Kesenian Tanah Papua dan berbagai pihak yang bersedia membantu hingga puncak kampanye dapat diselenggarakan dengan baik.(*) Editor: Jean Bisay

Perempuan penerus kehidupan: Perspektif perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM

Perempuan penerus kehidupan: Perspektif perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM 26 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fientje Jarangga Anyam Noken Kehidupan (ANK), selain sebagai sebuah pendekatan pemulihan korban, ANK juga digunakan sebagai proses memetakan masalah, solusi, dan harapan. Ketika perempuan korban menggali dan mendalami masalah dan solusi serta harapan salah satu rekomendasi yang dibicarakan adalah tentang konsep Papua Tanah Damai. Rekomendasi ini, akan memberi kontribusi bagaimana proses “berdialog” dengan cara dan pikiran perempuan Papua. ANK, disimbolkan dengan tradisi menganyam dimana dimulai dengan mencari dan menemukan narasumber utama, yaitu para perempuan korban yang mengalami diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran HAM. Jika proses ini dilakukan dengan benar, maka hasilnya akan ada pengetahuan, pengalaman  maupun  wisdom tentang menyintasi kekerasan, merawat kehidupan, menegakkan keadilan, dan membangun perdamaian, dianyam menjadi satu tuturan utuh yang berharga untuk penyelesaian konflik serta rancang bangun keadilan, perdamaian, dan keamanan Papua yang berkelanjutan. Dalam  menggunakan proses langkah ANK, ada tiga hal yang harus dipastikan; 1.Terpetakannya pengetahuan, pengalaman, dan pendapat perempuan penyintas kekerasan dan pelanggaran HAM tentang keadilan, perdamaian dan keamanan Papua, serta tentang solusi penyelesaian konflik Papua; 2.Terintegrasikannya agenda penghapusan kekerasan dan pemenuhan HAM perempuan penyintas kekerasan dan diskriminasi ke dalam agenda prioritas penyelesaian konflik Papua; 3.Terjaminnya pelibatan penuh yang setara perempuan di tingkat akar rumput, perempuan penyintas, dan perempuan pemimpin lokal dalam proses penyelesaian konflik Papua, serta upaya membangun keadilan, perdamaian, dan keamanan berkelanjutan di Tanah Papua. Atas upaya kerjasama dalam rekomendasi yang ditulis dalam buku laporan “Stop Sudah! Kekerasan dan Pelanggaran HAM terhadap Perempuan Papua maupun laporan “Anyam Noken Kehidupan” yang ditujukan kepada Pemerintah Nasional di Jakarta adalah jika Pemerintah Pusat komit pada pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan di era mantan Presiden SBY dan 5 tahun pertama Presiden Jokowi, beberapa kali menyatakan secara terbuka komitmennya untuk menyelesaikan masalah Papua dengan hati, namun bentuk konkret berbicara langsung dengan keinginan orang Papua asli tidak pernah direalisasi; yang ada hanya secara seremonial memakai pendekatan kesejahteraan dan membangun komunikasi dengan pihak-pihak yang selama ini tidak jelas keterwakilannya. Anyam Noken Kehidupan (ANK), sebagai sebuah proses Pemulihan, sebenarnya bisa dikembangkan juga dalam proses-proses berdialog atau “Bicara” antara berbagai pihak baik itu musuh atau lawan. Upaya dialog damai yang digagas oleh Jaringan Damai Papua (JDP), idealnya bisa jadi media yang dimaksimalkan oleh orang asli Papua untuk konsolidasi permasalahan Papua. Percakapan yang konstruktif antara Pemerintah Pusat dengan OAP,  maka perlu dipastikan bahwa pertama, penanganan dan pencegahan kekerasan dan pelanggaran HAM termasuk perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM harus menjadi salah satu agenda utama; kedua, pelibatan OAP secara penuh perlu menjadi sasaran utama dalam menentukan keterwakilan, khusus suara perempuan  Papua korban kekerasan harus menjadi salah satu sumber referensi utama dalam proses-proses “dialog”. Tiki’ Jaringan HAM Perempuan Papua, bersama mitranya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan melaksanakan inisiaitf ini melalui proses yang dinamai Anyam Noken ini dengan mengedepankan korban sebagai sasaran utama narasumber. Selama tahun 2011 sampai dengan 2013, pendokumentasian dilakukan delapan kali di lima kabupaten di Papua (Biak, Jayapura, Merauke, Timika, dan Wamena). Fokus pada pemetaan perempuan penyintas kekerasan atas realita kekerasan terhadap perempuan di sektor ekonomi, sosial budaya, hukum dan HAM, lingkungan hidup, hingga politik dan keamanan; usulan solusinya; serta harapan perempuan penyintas kekerasan tentang masa depan Papua yang lebih adil dan damai. Anyam Noken Kehidupan, dari perspektif perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM, bahwa jika “dialog” diupayakan sebagai jalan tengah untuk sebuah  proses rekonsiliasi (jujur, adil dan benar), maka kondisi saat ini yang penuh dengan pendekatan keamanan untuk stabiltas negara, seharusnya tidak dibiarkan mengorbankan salah satu pihak saja yang saat ini tengah merajalela bahwa OAP yang berbeda pendapat dengan pemerintah Pusat masih dilihat sebagai “musuh bebuyutan” yang harus dibumi-hanguskan. Perempuan Papua sebagai penjaga dan penerus kehidupan OAP dalam kampanye anti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan diakhiri dengan momentum Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 1948 – 2019, menyerukan agar situasi  keamanan harus benar-benar menjamin setiap OAP “bicara” tentang hak hidupnya menurut perempuan korban, maupun perempuan Papua pada umumnya yang berada dalam wilayah konflik Papua. Baca juga: Konteks Papua: manusia Papua bebas dari segala bentuk PENINDASAN, baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan kemanan (Membangun Budaya Damai di Papua, SKP Keuskupan Jayapura, Oktober 2005). (*) Penulis adakah Koordinator Tiki Jaringan HAM Perempuan Papua Editor: Timo Marten

16 Hari Perempuan Bicara Hak Asasi Manusia

16 Hari Perempuan Bicara Hak Asasi Manusia 27 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Memperingati hari Hak Asasi Manusia, elemen organisasi Non Pemerintah dan individu-individu  yang terhimpun Koalisi Masyarakat Sipil untuk kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah menyelenggarakan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan sejak tanggal 25 November hingga tanggal 10 Desember 2019. Kampanye 16 hari Anti Kekerasan Terhadap perempuan dilakukan karena kepedulian dan keprihatinan akan kondisi perempuan dan anak di Papua dan Papua Barat yang minim dari perhatian pemerintah serta terus menjadi objek kekerasan di ranah domestik dan publik. Kegiatan yang dilakukan sebagai gerakan bersama  jaringan masyarakat sipil dan komunitas bertujuan  untuk menggalang dukungan publik terhadap situasi perempuan di Papua dan Papua Barat agar  terbangun  ruang aman bagi perempuan di wilayah domestik dan publik. Hingga saat sekarang ini kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan akibat konflik masih terjadi di sekitar dan kita masih terus menutup mata akan hal itu. Kampanye 16 Hari Anti kekerasan terhadap perempuan  koalisi bersama ini telah menyelenggarakan kegiatan, antara lain pembukaan Posko Konsultasi dan Pengaduan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, liputan isu perempuan dan publikasi opini terkait isu perempuan, pemutaran film di komunitas-komunitas anak muda dan Gereja, workshop tentang  kesehatan reproduksi, workshop tentang perempuan dan perdamaian,  bedah buku, “Sa Ada Di Sini”,  jejak petualang dan story telling, diskusi perempuan lintas denominasi gereja, konten medsos tentang peristiwa kekerasan di Paniai dan kampanye pada puncak peringatan hari HAM pada 10 Desember 2019 di Jayapura. Selain di Kota Jayapura, kegiatan juga dilaksanakan bersama-sama dengan pengungsi Nduga di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Di lokasi pengungsian masyarakat Nduga Kampung Ilekma Wamena, koalisi melaksanakan diskusi-diskusi dan penguatan serta menyalakan lilin untuk memperingati 1 tahun kehidupan di pengungsian. Kampanye dengan tema Perempuan bergerak selamatkan manusia Papua merupakan tanggung jawab dan komitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Latifa Anum Siregar, SH Direktur ALDP mewakili Koalisi mengapresiasi dan memberi dukungan atas kegiatan yang telah dilakukan bersama-sama. “Rangkaian aktivitas yang beragam sebagai bagian dari komitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek. Di masa mendatang koalisi ini agar makin kuat untuk melakukan agenda-agenda strategis ke depan bagi perempuan di Papua,” kata Latifa Anum Siregar, SH. Sementara Pdt. Magdalena dari KPKC Sinode GKI di Tanah Papua mengapresiasi partisipasi semua unsur masyarakat yang turut serta bersama-sama dalam agenda kegiatan yang dilaksanakan. Partisipasi masyarakat diharapkan mendorong setiap individu, laki-laki maupun perempuan menyadari haknya dan membantu orang lain untuk memperoleh hak-haknya. “Poin dari kampanye tahun ini cukup banyak dilakukan oleh semua unsur masyarakat, menurut kami sangat baik jika terus dilakukan agar publik tahu akan haknya dan ikut menolong orang lain memperoleh haknya” Puncak kegiatan Kampanye 16 Hari anti kekerasan terhadap perempuan akan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2019 yang dipusatkan di Dewan Kesenian Tanah Papua, Jayapura. Pada puncak acara agenda – kegiatan Koalisi seperti pentas musik dan para-para perempuan, stand up comedy bersama Yewen, dan fragmen.(*)

“Sa Ada Di Sini” gugatan perempuan atas hegemoni laki-laki

Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Masalah kekerasan bukan hal yang baru untuk didiskusikan. Hal itu sudah sering didengarkan, dan sudah banyak perempuan yang bergerak dalam persoalan itu.  Namun persoalan yang sama masih terus dibicarakan hingga saat ini. “Kok begitu langgeng dan sulit diurai.” Pertanyaan tersebut dilontarkan Pendeta DR. Yosina Wospakrik dalam acara bedah buku “Sa Ada di Sini” yang diselenggarakan oleh KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, di Aula P3W Padang Bulan, Kota Jayapura, Papua, Rabu (4/12/2019). Buku yang mengangkat temuan kelompok perempuan yang tergabung dalam Papuan Women’s Group (PWG) dalam kurun waktu 2013-2017, dan melibatkan 170 orang perempuan Papua, dan berkisah tentang perjuangan perempuan Papua menghadapi tindakan kekerasan di sekeliling kehidupannya. Pelakunya mulai oleh negara hingga domestik. Buku tersebut mengangkat temuan kelompok perempuan yang tergabung dalam Papuan Women’s Group (PWG) dalam kurun waktu 2013-2017, dan melibatkan 170 orang perempuan Papua, yang berkisah tentang perjuangan dirinya menghadapi tindakan kekerasan di sekeliling kehidupannya. Pelakunya mulai oleh negara hingga domestik. “Buku  “Sa Ada Di Sini” sangat filosofi. Menyampaikan gugatan perempuan bahwa selama ini saya terabaikan,” kata Wospakrik. Hal itu menandakan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih perlu tempat untuk didiskusikan untuk dicarikan solusi, guna memutuskan mata rantai kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga, oleh negara juga gereja. Seperti buku sebelumnya “STOP SUDAH” yang berisi testimoni, Buku setebal 136 halaman itu memberikan rekomendasi bagi pemerintah pusat, provinsi, Komnas Perempuan, masyarakat sipil dan gerakan perempuan, MRP, lembaga donor dan NGO, agar dapat menolong proses penghapusan kekerasan terhadap perempuan Papua. Namun Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih DR. Handro Lekito mengingatkan bahwa upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak bisa mengabaikan proses sejarah kebudayaan di Papua yang begitu panjang. Ia membagi proses kebudayaan itu dalam dua periode yaitu sebelum gereja (misionaris) datang dan zaman pemerintahan. Situasi perempuan Papua di periode pertama, benar-benar terkungkung budaya patriarki dengan hegemoni dan dominasi laki-laki, menempatkan perempuan Papua pada kondisi terpuruk. Sedangkan pada periode kedua, kehadiran misionaris dan pemerintah, secara perlahan maupun radikal sudah mengubah cara pandang perlakuan terhadap perempuan. Sejumlah simbol budaya sudah tidak ada lagi, seperti rumah laki-laki, perempuan dan laki-laki dapat hidup bersama dalam satu rumah,perang dan poligami dilarang. “Ini merupakan proses panjang dalam mengubah perspektif sebuah komunitas. Meskipun kita memahami nilai-nilai budaya yang dipegang serta diyakini sekian lama tidak mudah dihilangkan. Seperti yang diungkapkan pada buku berjudul Sa Ada Di Sini,” katanya. Di tempat yang sama, Gerda Numberi  dari pusat studi gender dan anak Universitas Cenderawasih menegaskan penulisan buku “Sa ada di Sini” merupakan langkah maju yang dilakukan perempuan. “Selama ini saya banyak membaca banyak tulisan,  jurnal,  tapi apa yang ada di buku  berdasarkan pengalaman. Judul yang pendek,  tapi menunjukkan ketegasan, bahwa ia ada di tengah masyarakat,” kata Gerda Numberi. Menurunya isi buku yang menggunakan metodologi partisipasi aktif dirasakan sangat tepat, karena mendengarkan apa yang dipikirkan dan rasakan perempuan. “Jika dibanding dengan metode kualitatif,  memang agak jauh. Tetapi lima temuan kunci patut menjadi perhatian semua pihak. Khususnya pada temuan keempat, yakni korban perempuan membutuhkan program khusus atau pendampingan agar dapat hidup bebas dari kekerasan menjadi poin penting dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya. Walau ia berpendapat bahwa dalam menghadapi kekerasan simbolik, perempuan tetap akan menghadapi masalah. Ia menyarankan agar dengan mengubah pola hidup, transformasi budaya, maka angka kekerasan terhadap perempuan dapat berkurang. “Dengan cara memberikan stimulus  atau rangsangan model model perubahan yang baru, lalu dengan bantuan LSM, dan berbagai pihak, biasanya dapat membantu perubahan alih fungsi tersebut,” katanya. Patut jadi rujukan pemerintah dan stakeholder Fadhal Al-Hamid dari JERAT Papua mengungkapkan buku “Sa Ada Di Sini”  berhasil merumuskan 5 temuan permasalahan perempuan Papua dan sangat layak menjadikan ini rujukan pemerintah maupun stakeholder yang bergerak dalam isu perempuan. “Sayang sampai sekarang tidak digunakan juga,” katanya. Padahal buku “Sa Ada Di Sini” telah diluncurkan sejak 2017. Khusus mengenai persoalan perempuan Papua dan tanah, Fadhal Al Hamdi yang juga aktif di Dewan Adat Papua mengatakan sampai saat ini hak kepemilikan, tetap milik laki laki. Aturan adat mengatur, tanah tidak diberikan perempuan. Tapi kini banyak yang menjual kepada orang lain. “Inikan jadi paradok di Tanah Papua. Sebab itu saya berpikir, harus ada gagasan baru, untuk mempertahankan eksistensi manusia Papua di tanahnya, terutama perempuan,” katanya. Gagasan baru yang dimaksud adalah dengan melakukan transformasi dan eksistensi budaya, tetapi tetap dengan mempertahankan nilai nilai luhur. Misalnya budaya menyisihkan hasil ikan kepada ibu hamil yang ada di Demta Kabupaten Jayapura. Jika dahulu setiap orang kampung yang pulang melaut, menyisihkan ikan buat ibu hamil. Kini bisa ditransformasi dengan membeli susu. “Budaya harus direkonstruksi ulang. Jangan sampai ada perempuan memberontak terhadap komunitas adatnya. DAP sudah harus membicarakan ini lebih jauh lagi. Bukan perkara yang mudah. Tapi harus diperjuangkan,” katanya. Pentingnya memunculkan narasi positif dan laki-laki Pendeta DR. Yosina Wospakrik menegaskan soal keberanian perempuan untuk menggugat hegemoni laki laki dalam buku “Sa Ada Di Sini.” Namun ia mengingatkan soal pentingnya memunculkan narasi-narasi dari laki laki.  “Suara itu juga harus ditampilkan. Supaya ada dua buku yang harus kita tahu.  Supaya lahir keutuhan ciptaan.” Salah satu cara yang ditawarkan untuk mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan, Wospakrik mengatakan melalui khotbah. “Pendeta harus berani melakukan reinterpretasi teks Alkitab yang sesuai tantangan manusia Papua ke depan,” katanya. Tanggung jawab itu bukan hanya untuk pendeta perempuan, tetapi juga pendeta laki-laki. “Jika ada laki laki yang bisa berkhotbah dengan gaya feminis, menjadikan narasi laki-laki yang sangat penting. Ini harus menjadi refleksi bersama, terutama dalam gereja.” Handro Lekito menambahkan sudah saatnya gerakan perempuan mendekonstruksi mitos yang membuatnya tersubordinasi, termarginal dan tak berdaya. Sudah saatnya perempuan memproduksi cerita-cerita kemenangan, kepahlawanan, kehebatan dan kesuksesan atas dirinya. Cerita-cerita itu kemudian direkonstruksi dan dikonstruksi melawan subordinasi, keterpinggiran dan hegemoni laki-laki. “Harapan saya, ke depan ada kajian-kajian mengenai perempuan-perempuan hebat di Tanah Papua yang menginspirasi perempuan Papua,” Katanya. Buku “Sa Ada Di Sini” diterbitkan oleh Asia Justice and Right bekerja sama dengan SKP Keuskupan Agung Merauke, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua, ELSHAM Papua, Yayasan Humi Inane Wamena dan Belantara Sorong.(*)

Perempuan Papua adalah pejuang dari terbit matahari hingga terbenam matahari

Perempuan Papua adalah pejuang dari terbit matahari hingga terbenam matahari 28 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Hari anti kekerasan terhadap perempuan turut diperingati di Papua, yang dilakukan dengan launching dari depan toko sumber makmur Abe menuju ke pasar rakyat halaman futsal Mega Abepura. “Dari 25 November sampai dengan 10 Desember itu setiap tahun itu dilaksanakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua dan berbagai Organisasi di Provinsi Papua,” kata kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Papua, Anike Rawar, kepada wartawan di Jayapura, Kamis (5/12/2019) Tahun ini, hari anti kekerasan terhadap perempuan dikoordinir oleh ketua Forum Puspa Papua, Irene Waromi, Irene mengumpulkan perempuan-perempuan hebat di Papua sehingga dinamai perempuan Anggrek Papua. “Dengan hadirnya forum Puspa ini sangat membantu kami pemerintah Provinsi Papua untuk tetap memperjuangkan hak-hak perempuan Papua,” jelas Anike. Anike berharap , dengan hari anti kekerasan perempuan Papua tidak lagi mendapatkan perlakuan kekerasan dan diskriminasi. “Perempuan papua itu berjuang dari terbitnya sampai terbenamnya matahari, laki-laki Papua dan semuanya dapat memberikan ruang dan hak kami sebagai seorang perempuan Papua,” ucap Rawar. Di tempat yang sama ketua forum Puspa Irene Waromi, mengatakan ada sejumlah elemen yang turut berpartisipasi pada peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan kali ini, yakni Lion Club, Papuansphoto, kuliner asli mama – mama Papua, hingga kalangan pengelola art shop . “Kita menyuarakan hak-hak perempuan , akhiri kesenjangan ekonomi, perdagangan manusia dan kekerasan terhadap anak dan perempuan,” jelasnya. “Kedepan kita akan meningkatkan kualitas dan kapasitas perempuan dalam ekonomi, secara khusus kepada lion club yang sudah bisa membantu memasarkan apa yang dihasilkan oleh mama Papua,” kata Irene. (*) Editor: Syam Terrajana

Ini perempuan pertama Papua jadi ketua DPRD Biak

Papua, Wakil rakyat senat

Berharap menjadi inspirasi bagi mama-mama Papua Papua No. 1 News Portal | Jubi Biak, Jubi – Milka Rumaropen tercatat perempuan pertama Papua sebagai Ketua DPRD Kabupaten Biak Numfor. Ia menjalani upacara pengucapan sumpah dan janji jabatan yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri Biak Helmin Somalay, Selasa, (3/12/2019) kemarin. “Sebagai perempuan Papua, saya sangat bangga menduduki jabatan Ketua DPRD Kabupaten Biak Numfor. Saya berharap menjadi inspirasi bagi mama-mama Papua,” kata Milka Rumaropen usai pelantikan. Baca juga : Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Perspektif Perempuan Papua sebagai Perempuan Penerus Kehidupan (1/2) Ini karya sastra para penulis perempuan Papua Menjalankan perdamaian perempuan Papua dengan visi ketuhanan Milka Rumaropen ditetapkan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Biak Numfor, dua anggota dewan lainnya Adrianus Mambobo (NasDem) sebagai Wakil Ketua 1 dan Aneta Kbarek (Golkar) selaku Wakil Ketua II, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Papua Tahun 2019. Usai dilantik, politikus PDIP itu harus memenuhi pembentukan alat kelengkapan DPRD, di antaranya pimpinan komisi, badan anggaran, badan musyawarah, badan pembentukan peraturan daerah, dan pengesahan pimpinan fraksi. Tugas lain yang juga sangat mendesak, kata Milka Rumaropen, yakni pembahasan Ranperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2018—2023 serta pebahasan Raperda APBD 2020. “Kami akan membangun sinergitas dengan Pemkab Biak Numfor dan para mitra kerja dewan untuk mengawal kebijakan pembangunan Biak religius berbudaya dan berkarakter,” kata Rumaropen menambahkan. Ia juga bakal bertangung jawab penuh dengan tugas pokok fungsi kewenangan DPRD, yakni melakukan pengawasan, budgeting, dan pembentukan peraturan daerah. Bupati Biak Herry Ario Naap, mengatakan terpilihnya dua perempuan Biak sebagai pimpinan DPRD telah memecahkan sejarah bagi lembaga legislatif di daerah ini. “Selama 54 tahun pucuk pimpinan DPRD baru dijabat perempuan,” kata Naap. Pelantikan tiga pimpinan DPRD Kabupaten Biak Numfor periode 2019—2024 ditandai dengan penyerahan SK Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap selepas pelantikan pengucapan sumpah dan janji jabatan. (*) Editor : Edi Faisol

Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Perspektif Perempuan Papua sebagai Perempuan Penerus Kehidupan (2/2)

Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Perspektif Perempuan Papua sebagai Perempuan Penerus Kehidupan (2/2) 29 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fientje Jarangga* Bagian 2 Masih dalam kerja pendokumentasian korban kekerasan, kami mulai lagi dengan sebuah proses yang lahir dari pemahaman  bahwa Perempuan Penerus Kehidupan, kami menyebutnya Noken Kehidupan.  Cara Perempuan Papua memulihkan dirinya dari pengalaman kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami. Noken, dalam perspektif perempuan korban, noken telah menginspirasi  perempuan korban dalam berbagi cerita. Pandangan ini menjadi penting ketika perempuan Papua mulai memandang penting filosofi Noken sebagai simbol pemersatu perempuan, karena melekat nilai-nilai kemanusian yang berbudaya.  Pandangan ini juga telah  membentuk cara pandang perempuan Papua pembela HAM dan juga ditambah pengalaman dan pembelajaran seperti yang dialami oleh perempuan-perempuan di Columbia dalam apa yang disebut program “berpelukan”  dan bagi perempuan-perempuan  di Asia dan Afrika menyebutnya “Batu Loncatan” atau Stepping Stones”. Konsep Anyam Noken, adalah  sebuah proses pemulihan yang berbasis perempuan korban di komunitas basis (kampung-kampung). Konsep ini juga menjadi konsep dasar  pembentukan Jaringan HAM Perempuan Papua yang dinamakan Tiki’ yang dalam bahasa suku Mee Paniai artinya Selesai Sudah, Stop Sudah, jangan diulang-ulang. Dengan pemahaman Anyam Noken sebagai sebuah proses pemulihan dan pemenuhan hak perempuan maka kami mencoba membuat sebuah kerangka proses yang bisa membantu kita memahami dan memperkuat apa yang sedang kita lakukan. Dengan  menggunakan metafora ’menganyam noken’, kita mengumpulkan apa yang selama ini tercerai-berai, terhambur, kemudian mengikatnya menjadi sesuatu yang kuat. Anyam Noken ini menjadi forum dimana pengalaman-pengalaman kita bisa dikumpulkan dan menjadi bekal kita untuk memperkuat suara kita, menjadi modal untuk kita mengubah dunia. Inilah 5 langkah proses pemulihan yang selama ini dipakai dan dapat diulang secara terus-menerus: langkah Mencari Kawan, langkah Pegang Tangan, langkah Kumpul Cerita, langkah Buka Suara dan Langkah Merubah Dunia Ku. Noken,  telah menginspirasi kita sebagai perempuan  Papua yang menghormati budaya dan mengerti baik filosofi yang terkandung dalam Noken ini. Dalam tulisan saya pada bagian 1, Penerus Kehidupan disimbolkan kepada perempuan Papua. Dengan demikian maka perempuan Papua sangat dekat dan berhubungan dengan kehidupan.  Tiga  unsur  penting dalam Noken Kehidupan yang tidak bisa berdiri sendiri,  tetapi unsur-unsur  ini saling mengkait satu sama lainnya dan menjadi satu kesatuan. Unsur budaya,  bahwa noken erat dengan perempuan khususnya dan hampir semua orang Papua menggunakan noken sebagai wadah (tempat) yang digunakan untuk “menyimpan” harta benda, makanan dan termasuk anak bayi pada usia tertentu ia akan dibesarkan dalam Noken. Kemudian, kebiasaan  mengayam Noken  dilakukan oleh hampir semua perempuan Papua dan juga tersebar diseluruh wilayah pasifik, yang mempunyai kesatuan budaya Melanesia.  Yang mempunyai ciri, makna simbol yang sama  yaitu Perempuan dan Noken adalah simbol kehidupan, pemberi makan, penerus keturunan, pembawa damai. Unsur teknologi,  teknologi  tradisional  yang mempunyai mekanisme kerja yang secara tradisional dikerjakan melalui jari-jari tangan. Imajinasi adalah bagian penting yang diwariskan turun temurun kepada seseorang perempuan. Oleh karena  tingkat kesulitan  dalam proses pembuatannya mulai dari memilih bahan sampai merajut Noken hanya bisa dibuat oleh perempuan yang sudah dilatih/diajarkan oleh orang tua. Unsur  lingkungan dan ekonomi,  merupakan produk  yang berasal dari tumbuhan khusus yang tumbuh pada wilayah-wilayah tertenu dan jika sudah menjadi noken, produk itu bisa dijual.  Noken, produk yang punya nilai budaya maka satu noken asli dari wilayah pegunungan akan lebih mahal harga jualnya dari noken yang produknya dari wilayah bagian Selatan pesisir pantai yang jauh lebih murah. Pertanyaannya, bahwa aspek-aspek yang disebutkan ini saat ini tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam menghargai noken sebagai benda budaya. Kebiasaan ini dapat dilihat ketika pada momen tertentu  Noken hanya sebagai simbol “kosong” dihadiahkan kepada seseorang tanpa ada beban-beban sosial.   Konsep Anyam Noken yang merupakan pendekatan pemulihan bagi korban, harus menjadi model  dalam mengembalikan semua bagian kemanusiaan korban yang telah dihilangkan oleh  situasi  kekerasan dimanapun korban berada. *Penulis adalah Koordinator Jaringan HAM Perempuan Papua

Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Perspektif Perempuan Papua sebagai Perempuan Penerus Kehidupan (1/2)

Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Perspektif Perempuan Papua sebagai Perempuan Penerus Kehidupan (1/2) 30 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fientje Jarangga* Bagian 1 Dialog seperti yang tertulis berikut ini hanya bisa terjadi karena antara Perempuan Korban dan Tim Pendokumentasian memiliki kepercayaan (trust) yang setara, dibangun di antara mereka.  Kesaksian yang dihimpun dalam laporan pendokumentasian dengan judul “Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM” itu telah mengungkapkan berbagai fakta sosial yang dihadapi dan dijalani dalam berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di Papua, sejak tahun 1963-2009. “Kami perempuan Papua sudah babak-belur, kami terjepit, terkepung dari semua arah.  Kami tidak aman di dalam rumah, dan terlebih lagi di luar rumah. Beban yang kami pikul untuk menghidupi anak-anak kami terlalu berat. Sejarah rakyat Papua berlumuran darah, dan perempuan tidak terkecuali menjadi korban dari kekerasan aksi-aksi militer yang membabi-buta. Kami mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual di dalam tahanan, di padang rumput, dalam pengungsian, di mana pun kami berada sewaktu tentara dan polisi beroperasi atas nama keamanan. Bahkan, di rumah kami sendiri pun kami menjadi korban kekerasan yang bertubi-tubi. Pada saat kami berteriak minta tolong, mereka mengatakan, “Itu urusan keluarga, urus di keluarga.” Di seluruh Tanah Papua, tidak ada satu pun tempat berlindung khusus bagi perempuan korban kekerasan. Wabah HIV/AIDS semakin memojokkan kami, nyawa terus berjatuhan. Sampai kapankah situasi ini terus berlanjut?” Laporan pendokumentasian itu telah menggambarkan situasi kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan yang dialami  korban dan saksi korban yang sampai saat ini kehidupannya masih dalam keadaan tidak nyaman dan ketidakpercayaan kepada orang lain, termasuk kekuasaan yang sedang berlangsung.  Kondisi trauma panjang di mana perlu ditolong oleh orang di luar lingkungannya, yang mana ada harapan korban serta saksi korban, mendapatkan kenyamanan dan pemulihan agar mereka bisa survive  menjalani  kehidupan yang damai, mendambakan hak hidup yang tenang dan sejahtera; bukan lagi pembunuhan, tekanan, diskriminasi dan siksaan. Mereka ingin agar kehidupan generasi penerusnya di waktu yang akan datang akan menjadi lebih bermartabat. Di sisi lain, berbagai kebijakan pembangunan diarahkan untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan yang terus terjadi di Papua selama kurung waktu 50 tahun. Salah satu kebijakan negara dalam  menghentikan situasi itu, negara menetapkan kebijakan pendekatan militer untuk mengamankan integritas teritori Indonesia, melindungi kepentingan ekonomi dan investasi sumber daya alam.  Situasi itu sepertinya dibiarkan berlangsung, Orang Asli Papua menjadi target kekerasan dan represi atas nama kesatuan negara Indonesia. Dalam keseluruhan konflik tersebut dan situasi pasca konflik, perempuan harus meghadapi dan berhadapan dengan bentuk-bentuk terberat dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Dengan membangun kerjasama dengan berbagai lembaga dan jaringan di Indonesia, TIKI’ Jaringan HAM Perempuan Papua terus mendorong adanya  pemahaman gerakan HAM perempuan tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan lainnya di Papua, dan juga mendorong, mendukung, menggalang pembelaan dan pemenuhan serta pemulihan hak-hak perempuan Papua. Dalam perspektif itu, menjadi penting bagi perempuan siapapun dia untuk memahami bahwa perempuan sebagai penerus kehidupan generasi bangsa telah dibebani tanggungjawab yang sungguh sangat berlipat ganda terhadap dirinya sendiri, keluarganya dan lingkungan masyarakat dimana ia ada.  Pandangan kultur Papua,  yang memandang perempuan sebagai penerus kehidupan, pendamai, dalam praktek kehidupan sehari-hari pada umumnya pandangan ini tidak mendukung sepenuhnya pemahaman ini “hidup” ditengah-tengah masyarakatnya “papua” oleh karena pandangan ini telah meluntur terutama “nilai” yang terkandung dalam budaya Orang Asli Papua. Dimana yang terjadi adalah, sebagian perempuan  mendefinisikan pribadinya sebagai penerus kehidupan dalam artian perempuan hanya sebatas melahirkan anak dan menjadi pekerja yang baik. Semoga pencerahan-pencerahan yang tumbuh atas kesadaran baru saat ini bisa menjadi pemahaman baru bagi setiap perempuan Papua. Perempuan Papua,  bisa menjadi utas benang yang berjaring membangun dan membangkitkan respek terhadap diri sendiri dan kemudian dapat melakukan perubahan mendasar melalui cara-cara yang adil dan damai.(*) *Penulis adalah Koordinator Jaringan HAM Perempuan Papua

Menyambut kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia

Menyambut kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia 31 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Oleh: Fientje S. Jarangga Sejarah Kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan diadakan secara internasional karena untuk pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori Center for Women’s Global Leadership. Deklarasi 16 hari untuk mengkampanyekan anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan atau yang disebut 16 Days of Activism Against Gender Violence merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap HAM laki-perempuan di seluruh dunia. Kampanye anti kekerasan dan diskriminasi ditetapkan dan dirayakan di seluruh dunia, karena merupakan peringatan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM, termasuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Peringatan ini terus dilakukan sebagai upaya dunia agar menghormati HAM dan tidak boleh mengulangi tindakan-tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM. Deklarasi 16 hari kampanye ini  secara internasional berlangsung 25 November hingga 10 Desember setiap tahun. Ada berbagai event penting yang dirayakan dan salah satu yang sangat dikenal adalah kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang diperingati tiap 25 November. Selain itu, berturut-turut ada event-event yang mengkampanyekan berbagai kekerasan dan diskriminasi yang terjadi dalam berbagai peristiwa kemanusiaan. Rangkaian kampanye ini akan berakhir pada 10 Desember (Hari HAM Sedunia). Di Indonesia, ada berbagai lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk HAM; Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dll. Namun khusus untuk kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, selama ini menjadi inisiatornya adalah Komnas Perempuan yang setiap periode kampanye ada tema-tema yang secara global didiskusikan dan implementasinya disesuaikan dengan kondisi real lokal. Mengapa 16 hari kampanye? Kampanye ini diadakan setiap tahun dan berlangsung 25 November sebagai hari kampanye internasional penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Tanggal 25 November sampai 10 Desember–Hari HAM Internasional, bahwa makna yang tersirat dalam kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan hari peringatan HAM sedunia, merupakan hubungan simbolik antara kekerasan, diskriminasi dan pelanggaran HAM–secara tegas kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Tujuan kampanye Kampanye anti kekerasan dan diskriminasi dilakukan oleh siapa saja yang menghormati HAM. Dibutuhkan kerjasama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak untuk: 1) Menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM; 2) Mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan terhadap perempuan lebih baik; 3) Mengajak semua orang untuk terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Apa makna bagi perempuan Papua? Peradaban perempuan Papua telah bangkit dan meletakkan dasar bagi perjuangannya. Pasang surutnya sejarah peradaban dan konflik politik Papua ikut menjadi bagian dari proses pemajuan perempuan Papua. Konflik politik Papua ini juga berdampak langsung pada semua anggota masyarakat Papua, tidak terkecuali kaum perempuan. Pengalaman kekerasan yang mendera kaum ini menempa mereka untuk semakin jernih memahami persoalan yang dialami, dan semakin kuat untuk bertahan hidup dalam kondisi yang serba tidak menentu. Pembangunan pendidikan yang bernaung dalam lembaga-lembaga Gereja di Tanah Papua, sangat berperan dalam membangun ruang bagi persekolahan di Tanah Papua. Pada akhir abad ke-19, Zendeling Gereja (UZV, ZNHK di Belanda) mendorong pendidikan sebagai upaya perubahan peradaban bagi anak-anak Papua yang dimotori oleh istri-isteri guru. Mulai pada awal abad ke-20, sekolah-sekolah formal bagi anak-anak perempuan dibuka, seperti JVVS (Jongen Vervolg School/Sekolah untuk Anak laki-laki) dan MVVS (Meisjes Vervolg School/Sekolah Gadis), selain itu, ODO (Opleiding Doorps Onderwijzers/Sekolah Guru). Sekolah Rakyat (Zending Schollen) yang didirikan 1952 untuk pendidikan anak-anak di kampung; juga ada sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak pejabat birokrasi pemerintahan kolonial Belanda, sekolah LSB (Lagere School B), 1962. Tujuan pendirian sekolah-sekolah adalah untuk memutuskan belenggu adat dan budaya yang menghambat kemajuan, termasuk bagi para gadis Papua. Sistem pendidikan yang sudah dibangun pada zaman itu, terus mengalami perubahan. Situasi konflik politik Papua yang tidak jelas itu berdampak pada  pendidikan Papua dan masuk dalam kondisi yang buruk, dimana sekolah-sekolah kejuruan negeri untuk perempuan ditutup, 1962. Namun lembaga pendidikan yang bernaung dalam gereja Katolik dan Kristen Protestan terus berupaya agar ruang bagi pendidikan perempuan Papua harus ada. Saat ini kita bisa menyaksikan pusat pendidikan nonformal untuk perempuan Papua di Padangbulan, Abepura, Port Numbay–P3W/Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita GKI di Tanah Papua (Sejarah Pendirian P3W GKI, 2 April 1962). Di lingkungan Gereja Katolik, diprakarsai oleh delegatus atau seksi sosial (Delsos) keuskupan, awal 1970-an mendirikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)–pusat pendidikan bagi perempuan calon pendidik masyarakat kampung, di Enarotali. Kemudian gereja-gereja lainnya di Tanah Papua terus membangun ruang untuk pendidikan perempuan Papua. Ada satu spirit yang sangat mendasar dan menjadi kekuatan bagi perempuan Papua dalam menata kaumnya dengan perkataan doa yang disampaikan oleh Ketua Sinode GKI pribumi pertama, Ds. FJS Rumainum, ”Celakalah suatu bangsa jika kaum laki-lakinya maju, tetapi kaum perempuan tidak ikut dalam perubahan zaman.” Perkataan inilah yang harus dimaknai setiap perempuan dan laki-laki Papua dalam menata dan membangun generasi Papua, agar tidak ada tindak kekerasan dan diskriminatif dalam hubungan (relasi) sebagai manusia yang setara. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang ditetapkan secara internasional untuk diperingati dalam 16 hari kampanye. 1) Hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, 25 November 1960. Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patricia Minerva dan Maria Teresa), yang dibunuh secara keji oleh penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti-hentinya memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran penguasa Republik Dominika saat itu. Mirabal bersaudara mendapat tekanan dan penganiayaan luar biasa dari rezim Trujillo. Pembunuhan ini juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis gender. Peringatan hari ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama; 2) Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 1988. Hari AIDS Sedunia pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri kesehatan sedunia, 1988. Hari ini menandai dimulainya kampanye tahunan dalam upaya menggalang dukungan publik dan mengembangkan suatu program yang mencakup kegiatan pencegahan penyebaran HIV/AIDS, dan pendidikan serta penyadaran akan isu-isu seputar permasalahan AIDS; 3) Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan, 2 Desember 1949. Hari ini merupakan hari diadopsinya Konvensi PBB mengenai penindasan terhadap orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain (UN Convention for the Suppression of the traffic in persons and the Exploitation of other) dalam resolusi Majelis Umum PBB No 317

Tak ada aturan, Dinas P3AKB kesulitan tertibkan penjual lem pada anak

papua-anak-aibon

Papua No. 1 News Portal | Jubi Manokwari, Jubi – Merebaknya fenomena anak menghirup lem di Manokwari mendapat sorotan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Manokwari. Kepala Dinas DP3AKB  Rumere M.Magdalena mengakui tak bisa berbuat banyak karena tak ada regulasi yang melarang penjualan lem di pasaran. “Kami terima laporan dari relawan maupun orang tua korban, bahwa anak-anak penghisap lem aibon mudah mendapatkannya dengan takaran tertentu. Mereka bisa beli dengan kisaran harga Rp5.000 sampai Rp10.000. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada dasar hukum untuk melarang atau menindak oknum-oknum penjual Lem Aibon eceran tanpa kemasan kepada anak-anak Papua di Manokwari,” ujar Rumere M. Magdalena kepada Jubi, Jumat (18/10/2019). Dikatakan Rumere, sejauh ini ia hanya bisa melakukan sosialisasi dan pencegahan hingga pendampingan pada korban penyalahgunaan lem. Ia mengatakan, salah satu faktor penyebab anak usia sekolah terjerumus dalam penyalahgunaan lem dan zat adiktif lainnya disebabkan karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi di rumah tangga. “Kontrol orang tua sangat penting, komunikasi antara orang tua dan anak harus dibangun sehingga anak tidak dipengaruhi oleh lingkungan untuk hal-hal negatif. Tapi, kita harus akui bahwa persoalan kesenjangan sosial dan ekonomi keluarga yang mengakibatkan kurangnya kontrol orang tua,” katanya. Untuk pencegahan kata Rumere, Dinas P3AKB Kabupaten Manokwari punya alokasi anggaran otonomi khusus untuk pembinaan anak-anak korban penyalahgunaan lem dan zat adiktif lainnya. Melalui kerjasama dengan BNN RI perwakilan Papua Barat, DP3AKB melakukan pendataan dan pencegahan melalui kegiatan-kegiatan yang dapat merangkul para korban sehingga tidak lagi menghirup lem. “Kami di Dinas, tahun ini ada alokasi anggaran dari Otsus, kami pakai untuk bina anak-anak korban penyalahguna lem aibon. Data korban kami dapat dari relawan BNN, dan harapan kami, mereka bisa bebas dari lem aibon melalui kegiatan pendampingan yang rutin kami lakukan,” ujarnya. Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan Dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M) BNN RI perwakilan Papua Barat,  dr. Indah Perwitasari, mengatakan, zat adiktif yang terkandung dalam lem sangat berbahaya karena dapat merusak sistem saraf otak manusia. “Bayangkan, jika yang hirup lem itu anak-anak, sistem saraf otak yang mengendalikan sebagian besar saraf dan organ tubuh tubuh akan turut rusak dan menyebabkan penurunah daya pikir (nalar), bahkan dapat membuat pengguna hilang kesadaran,” katanya saat dikonfirmasi Jubi. Indah mengatakan, secara khusus untuk korban penyalahguna lem di Manokwari, mendekati angka ratusan. Namun yang berhasil didata oleh relawan BNN hanya sekitar 60-an anak. “Kita di BNN juga terbatas dalam melakukan tindakan. Kalau tim relawan kami dapat dilapangan, bisa kita bina ada juga orangtua yang melapor dan meminta BNN melakukan pembinaan dan pendampingan,” kata Indah. Ia mengakui ada keterbatasan kewenangan yang berkaitan dengan upaya penindakan pada penjual lem kepada anak dibawah umur. Regulasi hukum belum juga disahkan oleh pihak-pihak terkait sehingga BNN hanya mampu melakukan pencegahan dan pembinaan. “Kami terbatas untuk mengambil tindakan, karena tidak ada Perda pelarangan atau pembatasan penjualan lem aibon secara bebas, apalagi yang dijual eceran tanpa kemasan. Dua tahun lalu draf raperdanya sudah ada. Tapi sampai saat ini belum juga disahkan sebagai Perda,” ujarnya. (*)   Editor : Edho Sinaga

Perempuan Nabire pamerkan ragam karya kerajinan

Perempuan Nabire pamerkan ragam karya kerajinan 32 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Nabire, Jubi – Pemerintah Kabupaten Nabire melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) setempat melaksanakan pameran hasil karya perempuan. Bupati Isaias Douw, ketika membuka kegiatan tersebut mengatakan, pameran seperti ini perlu dilakukan guna memicu semangat mama – mama dalam meningkatkan hasil kerajinannya. Agar karya – karya terus berkembang dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. “Ini bagus. Harus terus dilakukan agar semangat memproduksi hasil karya mama – mama lebih banyak lagi, ” ujar Douw di Nabire. Selasa (15/10/201)). Dia mengajak para perempuan perlu terus berkarya dalam meningkatkan hasil produksi kerajinan tangannya. Selain itu harus terbentuk kelompok – kelompok usaha baru di setiap kampung. “Perlu ada kelompok usaha dalam kampung dengan melibatkan semua warga di dalamnya, ” kata Bupati Isaias. Untuk itu Bupati meminta kepada dinas PPPA untuk terus melakukan pendampingan serta mencari pasaran berskala besar baik di dalam maupun ke luar Nabire. Selain itu dinas ini juga diharapkan untuk terus melakukan program – program yang dapat menyentuh langsung pada sasaran yakni masyarakat dengan menggali potensi di setiap distrik. “Saya minta dinas PPPA terus dampingi mereka dan tingkatkan produksi kerajinan dan cari pasaran agar orang beli, ” harapnya. Ketua Panitia pameran, Nona Melisa mengatakan kegiatan ini diikuti oleh 15 Distrik yang ada di Daerah ini rencananya akan berlangsung sejak Selasa, 15 – 18 Oktober 2019 di halaman gedung Geust House jalan Merdeka Nabire. “Ini adalah bagian dari promosi hasil karya perempuan, ” katanya. Sehingga pihaknya berharap semua pihak dapat mendukun dan mempromosikan hasil karya perempuan dengan karya yang dihasilkan. “Ini kita promosi dan butuh dukungan semua pihak agar karya mama – mama dapat dipromosikan dan bisa menbah penghasilan mereka, ” terangnya. Tema yang diusung dalam adalah pameran adalah “kita dukung pemasaran hasil produksi untuk meningkatkan kualitas ekonomi keluarga”. (*) Editor: Syam Terrajana

Kemen PPPA libatkan forum anak wujudkan Nabire Trada Sampah

Kemen PPPA libatkan forum anak wujudkan Nabire Trada Sampah 33 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Nabire, Jubi – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemen PPPA RI) ingin mewujudkan Nabire Trada (bebas) sampah dengan melibatkan Forum Anak Kota Nabire yang berbasis di SMPN I Nabire. Kementerian Perempuan berharap forum anak jadi pelopor sekaligus pelapor dalam isu lingkungan hidup. Sebab jika anak dilibatkan, maka kesehatan dan kenyamanan akan mendukung tumbuh kembang anak. Menteri PPPA, Yohana Yembise, menilai sampah plastik sudah menjadi isu besar dan kritis di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun dan Indonesia menjadi penghasil sampah plastik nomor dua terbanyak setelah Cina.  Sadar bahwa sampah plastik menjadi ancaman besar untuk ekosistim kehidupan maka pemerintah mulai gencar melakukan kampanye melibatkan seluruh komponen masyarakat. “Aksi untuk mendukung world clean up day harus rutin dilakukan dan forum anak kota Nabire ini sudah dibekali tradisi sadar akan membuang dan mengelola sampah organik dan plastik. Kami gerakkan anak untuk menggerakkan hati para pelajar agar sadar akan sampah sekaligus menjadikan forum anak sebagai pelopor dan pelapor adanya perubahan perilaku dan cara berpikir, tidak hanya dalam hal pencegahan kekerasan tetapi juga menyelamatkan lingkungan hidup,” ujarnya saat bertemu Forum anak di SMP N I Nabire, Sabtu (12/10/2019). Menurut Mama Yo sapaan akrabnya, program Trada sampah harus menjadi pondasi kesadaran dan cara berpikir bagi anak – anak agar tidak mengulang kebiasaan buruk yang masih banyak dilakukan orang dewasa dalam membuang sampah. Selain itu, semangat cinta lingkungan harus dibangun sejak anak – anak agar menjadi kebiasaan yang baik hingga masa depan. Ia berharap, kegiatan peduli lingkungan seperti ini tidak hanya dilakukan sekarang, tapi juga bisa menjadi kebiasaan dan gaya hidup masyarakat Nabire untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, dan nyaman. ”Anak harus diajak sejak usia dini agar sadar tentang sampah sehingga gaya hidupnya selalu peduli tentang lingkungan yang sehat dan bersih,” harapnya. Kepala SMP N I Nabire, Philemon Musendi berharap melalui kehadiran Menteri di kabupaten Nabire khususnya di lingkungan pendidikan SMP Negeri 1 dan bersebelahan langsung dengan SMA N I, kiranya berdampak terhadap peduli lingkungan yang bersih. “Maka forum anak bisa merajalela dan melibatkan partisipasi masyarakat, secara khusus di lingkungan terutama anak – anak di sekolah serta menjadi contoh bagi warga Kabupaten,” harapnya. Kesadaran Nabire Trada Sampah sendiri sudah beberapa tahun ini dimulai oleh SMP Negeri 1 Nabire melalui seruan LISA ( Lihat Sampah Angkat ) dan LIBRA ( Lihat Berantakan Rapikan ). Gerakan serupa juga dilakukan SMA Negeri 1 Nabire yang memanfaatkan sampah plastik dari bekas botol minum menjadi bak sampah dan dibentuk menjadi batako.(*) Editor: Syam Terrajana

Perempuan Arfak di tengah kemajuan zaman

Perempuan Arfak di tengah kemajuan zaman 34 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Manokwari, Jubi – Perempuan asli suku Arfak di wilayah Papua Barat terus dipacu untuk sejajar dengan perempuan Indonesia lainnya  dalam segala bidang. Pembinaan bagi perempuan asli suku Arfak terbentuk melalui perkumpulan perempuan Arfak di lokal Manokwari dan tingkat Provinsi Papua Barat maupun melalui kegiatan-kegiatan pembinaan secara mandiri melalui pelayanan gereja dan pemerintah. Amelia Mandacan, anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) mengatakan, peran serta perempuan Arfak di Papua Barat telah membuktikan kesetaraan gender tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, perempuan Arfak harus berani tampil dengan kemampuan yang ada. “Perempuan Arfak sudah bisa bersaing di dunia usaha (ekonomi), politik maupun pemerintahan. Ini bukti bahwa kesetaraan gender, khususnya keterlibatan perempuan asli Arfak tidak lagi diragukan,” ujar Amelia kepada Jubi di Manokwari, Senin (7/10/2019). Selaku perempuan Arfak di lembaga kultur Orang Asli Papua, Amelia mengatakan, tas rajutan (noken) Arfak, usaha buah merah dan hasil pertanian yang dipasarkan adalah usaha mikro yang masih digeluti sebagian besar perempuan Arfak saat ini. Diapun mendesak Pemerintah kabupaten Manokwari,  Pegunungan Arfak, dan  Mansel untuk membuka satu pasar khusus di ibu kota provinsi bagi perempuan Arfak menjajakan hasil kebun maupun kerajinan tangan mereka. “Saya juga dorong supaya pejabat-pejabat Arfak di pemerintahan dan legislatif bisa bersatu dan buka satu pasar khusus untuk perempuan Arfak. Ini juga bagian dari implikasi Otonomi khusus yang harus diperhatikan,” ujarnya. Sementara Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, yang juga sebagai kepala suku besar Arfak di Papua Barat mengatakan, perempuan Arfak tidak saja bermukim di Manokwari dan Pegunungan Arfak, tapi juga tersebar di Bintuni, Mansel dan Wondama. “Suku besar Arfak ada di lima kabupaten yaitu Manokwari, Pegaf, Mansel, Bintuni dan Wondama. Disana ada perempuan asli Arfak. Saya bangga karena saat ini perempuan Arfak sudah mampu menyesuaikan diri dan bersaing dengan perkembangan pembangunan,” ujar Mandacan saat melantik perkumpulan perempuan Arfak kabupaten Manokwari belum lama ini. Melalui wadah organisasi di tingkat kabupaten dan Provinsi, Mandacan harap ada transfer pengetahuan dan saling menguatkan antar sesama perempuan Arfak melalui tujuan organisasi maupun pembinaan diri untuk berkontribusi bagi Papua Barat dan Indonesia. Diapun berharap, perempuan Papua lainnya maupun perempuan warga Nusantara yang ada di Papua Barat untuk turut serta membangun perempuan Arfak melalui trasfer pengalaman di bidang ekonomi dan kreatifitas lainnya. “Sama-sama kita bangun Papua Barat. Jadi perempuan Arfak pasti bisa sejajar dengan perempuan Papua lainnya,” ujar Mandacan. Selain itu, Mandacan juga menyampaikan bahwa sejumlah perempuan asli suku Arfak saat ini tengah menempuh perkuliahan di luar negeri. “Perempuan asli Arfak sekarang ada yang kuliah di Jerman, Cina dan Inggris. Ini bukti, perempuan Arfak juga hebat,” ujar Mandacan. (*) Editor: Edho Sinaga

Perempuan ditantang maju dalam sejumlah Pilkada di Papua Barat

Perempuan ditantang maju dalam sejumlah Pilkada di Papua Barat 35 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Manokwari, Jubi – Proses dan tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bupati/walikota di wilayah Papua Barat mulai berjalan. Namun keterwakilan perempuan dalam bursa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah masih sangat minim. Salomina Inyomusi, anggota Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat (MRPB) mengatakan, pilkada 2020 harus mengakomodir perempuan Papua, hal ini pun perlu mendapat pengawalan oleh lembaga kultur, sehingga siklus kepemimpinan di daerah Papua Barat tak hanya dipimpin oleh laki-laki tapi ada ruang untuk perempuan. “Saya harus tegas katakan ini sejak awal. Supaya ada perempuan asli Papua yang juga masuk bursa pencalonan kepala daerah atau sebagai wakil,” ujar Salomina kepada Jubi di Manokwari, Selasa (1/10/2019). Sebagai perwakilan perempuan asal kabupaten Manokwari Selatan (Mansel), Salomina menantang perempuan asli Papua di kabupaten Mansel untuk berani maju dalam Pilkada 2020 di Mansel. Dia pun berharap, partai politik (parpol) bisa beri ruang dan kesempatan kepada perempuan Papua di Mansel agar mampu bersaing, sesuai dengan aturan internal setiap parpol. “Saya harap ada perempuan asli Mansel yang maju dalam Pilkada 2020 besok. Saya dari lembaga MRPB siap mendorong, karena ini adalah bagian dari hak perempuan Papua di dalam kerangka Otsus,” ujarnya. Sementara, Ketua MRPB Maxi Nelson Ahoren mengatakan untuk Pilkada 2020 di wilayah Papua Barat dalam waktu dekat asas ‘ius sanguinis’ akan ditetapkan dan diberlakukan di Papua Barat, dan diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai PKPU. “Hasil rapat dengar pendapat komisi II DPR RI dengan KPU sudah jelas, bahwa akhir Oktober 2019 akan ditetapkan peraturan khsusus KPU yaitu PKPU pasal 7 UU Nomor 10 tahun 2016 di tiga daerah khusus salah satunya Papua dan Papua Barat,” ujarnya. Artinya, sembilan kabupaten yang melakukan pemilihan kepala daerah serentak di Papua Barat harus diisi oleh Orang Asli Papua (OAP). (*) Editor: Edho Sinaga

Dinas PPA gelar pelatihan untuk pelayan korban kekerasan perempuan dan anak

Ilustrasi kekerasan terhadap anak Papua

  Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua mengelar pelatihan terhadap para pelayan korban kekerasaan terhadap perempuan dan anak di wilayah itu. Para pelayan korban ini yang selama ini mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Polda Papua, Polres Jayapura, kabupaten Keerom dan Kabupaten dan Kota Jayapura yang menjadi sasaran peningkatan kapasitas,” Kata Kepala dinas Pemberdayaan perempuan dan anak Provinsi Papua, Anika Rawar, Selasa (1/10/2019). Para pelayan korban itu terdiri dari unsur LSM dan kepolisian. Pada kegiatan yang diberi tajuk Simposium PPA, juga bertujuan untuk mengkoneksikan data di setiap pelayanan lewat satu aplikasi. “Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Jayapura sangat tinggi namun data tersebut kadang tidak akurat,” jelas Anike Rawar setelah membuka kegiatan pelatihan. Menurutnya, aplikasi akan memudahkan para pelayan korban kekerasan,. Aplikasi ini akan terhubung dari rumah sakit, polres dan pusat bantuan pelayanan korban kekerasan perempuan dan anak Provinsi Papua. “ Selama ini dalam satu kasus ada tiga hingga empat laporan tetapi melalui aplikasi ini mempermudah untuk mendapatkan data,” Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Yohana Yembise mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak diPapua sangat tinggi. Untuk itu perlu ada kerja sama semua pihak. Salah satunya melalui adalah Dewan Adat Papua. (*) Editor: Syam Terrajana

Perempuan dan anak jadi korban rusuh di Papua

Perempuan dan anak jadi korban rusuh di Papua 36 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPPPA dan KB) Provinsi Papua mengaku prihatin atas jatuhnya korban pasca insiden bentrok yang terjadi di berbagai daerah di Papua. Apalagi diantara korban terdapat para pelajar. Kadis DPPPA dan KB, Anike Rawar menyayangkan banyaknya korban jatuh dalam aksi unjuk rasa di Papua khususnya di Jayapura dan Wamena. Dari data yang dihimpun Jubi, di Kota Jayapura sejak 30 Agustus hingga 25 September 2019 tercatat ada  lebih dari lima pelajar dan mahasiswa menjadi korban. Sedangkan di Kota Wamena  terdapat sekitar 17 pelajar jadi korban. “Saya sangat prihatin, di mana perempuan dan anak mendapat tindak kekerasan dan hal tersebut membuat saya sebagai salah satu Ibu yang mengandung anak dari 0 hingga 9 bulan, lalu menjaga, merawat, membesarkan dan berjuang, bekerja dari pagi hingga malam hari untuk membiayayai anak anak bersekolah dan mendapat pendidikan terbaik, saya sangat merasakan luka yang mendalam,” katanya kepada wartawan, Kamis (26/9/2019) di Jayapura. Dikatakan Anike Rawar, generasi Papua harusnya mampu menjadk penerus bangsa. Namun berbagai insiden yang terjadj belakangan ini membuat penerus perjuangan Papua justru semakin sedikit. “Anak-anak penerus bangsa yang seharusnya bisa bersekolah dengan baik,cerdas namun dengan tragedi di Papua akhir-akhir ini membuat penerus bangsa khususnya penerus Papua hilang begitu saja,” ujarnya. Terkait dengan kasus di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Papua berencana akan menemui guru yang diduga mengeluarkan ujaran rasis terhadap salah satu anak didiknya di SMA PGRI Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Hal ini dilakukan guna mencari kebenaran, apakah sang guru memang melakukan ujaran rasis atau tidak. “Kami berharap tidak ada lagi aksi pembakaran dan lain sebagainya atas nama kemanusian kami minta aksi-aksi seperti ini dihentikan,” kata Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua, Frits Ramandey kepada wartawan. (*)   Editor: Edho Sinaga

Mama Yosepa: Jangan takut, Tuhan utus Vero jadi mama Papua

Veronica Koman Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Mama Yosepa Alomang menyuarakan dukungannya untuk Veronica Koman. Menurut Mama Yosepa, Veronica adalah sosok yang dikirimkan Tuhan untuk Papua. “Amole Vero, di manakah?  Vero, kamu seorang pejuang keadilan dan pembebasan Papua. Vero jangan takut. Tuhan utus Vero untuk jadi mama Papua. Engkau membantu untuk keadilan, perdamaian dan pembebasan Papua. Kami tetap dukung,” ujar Mama Yosepa dalam video yang diterima Jubi, Kamis (19/9/2019) Alomang menegaskan, kehadiran Koman justru memberi kekuatan kepada mama-mama Papua untuk terus berjuang. “Tuhan utus Vero jadi mama Papua. Kami melahirkan manusia, bukan kera. Vero maju terus,” katanya. Sebelumnya, Veronica ditetapkan menjadi tersangka pada 4 September 2019, beberapa hari setelah Surya (FRI WP) dan beberapa aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ditahan atas dugaan makar. Perempuan muda itu menjadi orang non-Papua kedua setelah Surya yang dijadikan tersangka makar terkait masalah Papua. Ketua DPR Papua, Yunus Wonda menyayangkan kriminalisasi yang menimpa kedua aktivis yang selalu membela hak-hak orang Papua itu. “Prediksi saya, anak-anak Papua yang saat ini memilih pulang ke Papua dari tempat study-nya masing-masing karena sudah tidak ada lagi orang yang membela mereka. Orang yang selama ini membela mereka dijadikan tersangka dan ditangkap,” kata Yunus Wonda. (*) Editor: Edho Sinaga

Foto ibu menyusui bayi di sel beredar, kuasa hukum akan somasi Kapolres Manokwari

Foto ibu menyusui bayi di sel beredar, kuasa hukum akan somasi Kapolres Manokwari 37 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Manokwari, Jubi – Tim kuasa hukum SM, tersangka pembawa ribuan bendera Bintang Kejora ukuran kecil, membantah terlibat dalam pengambilan foto klien mereka saat sedang menyusui seorang bayi di dalam ruang sel Polres Manokwari, tempat SM mendekam pasca dikenakan pasal makar oleh tim penyidik Polda Papua Barat. Metuzalak Awom, wakil ketua tim kuasa hukum SM mengatakan bahwa timnya berjumlah 17 advokad sedang dalam proses mendampingi SM, tidak punya kaitan dengan viralnya foto tersebut. Dia menduga, ada unsur kesengajaan maupun kelalaian di Polres Manokwari dalam menjalankan SOP kepolisian terhadap tahanan wanita. “Kami sudah klarifikasi hal itu kepada penyidik, pasca beredarnya foto-foto klien kami saat menyusui bayinya di dalam jeruji,” ujar Awom kepada Jubi di Manokwari, Jumat (13/9/2019). Dia menjelaskan, sejak SM ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 3 September, tim kuasa hukum sudah meminta kepada penyidik agar memperhatikan hak-hak SM sebagai seorang Ibu, karena tiga anaknya saat itu masih berada di Sorong. Dan bilamana anak ketiga (bayinya) datang, bisa disediakan tempat layak (khusus) untuk memberikan asi kepada anaknya. “Tanggal 10 September,  saat saya kunjungi, dia aman-aman saja, hanya mengeluh karena ketakutan tapi kami jamin dia aman,” katanya. Besok harinya (tanggal 11 September), kata Awom, timnya datangi Polres untuk melakukan klarifikasi, terkait dengan beredarnya foto-foto saat SM sedang menyusui seorang bayi. Siapapun, lanjut Awom akan keberatan dengan foto tersebut karena seorang tahanan wanita terlihat menyusui bayinya di dalam ruang tahanan dan itu tidak manusiawi. “Karena itulah saya datang dan tanyakan ke Kapolres, karena sebelumnya kami sudah ajukan permohonan kepada Kapolres agar bisa pertimbangkan hak-hak dia sebagai seorang ibu dalam memberikan asupan ASI kepada bayinya, melalui pengajuan  penangguhan penahanan (tahanan rumah ke tahanan kota). Tetapi permohonan itu belum dipenuhi hingga beredarnya foto-foto saat SM sedang menyusui bayinya,” ujar Awom. Dia mengatakan, kasus kliennya adalah kasus cukup seksi yang membuat penasaran public. Sehingga tanpa diundang, siapapun bisa melihat peluang dan datang ke lingkungan Polres. Jadi angan salahkan semua orang, karena keingintahuan warga tentang kepastian proses hukum di negara ini luar biasa, dan ini bagian dari ‘kelengahan’ petugas. “Orang bisa saja melakukan itu juga karena keprihatinan dia. Hal inilah yang buat kami komplain dan kami akan kirimkan somasi kepada Kapolres Manokwari,” katanya. Awom juga secara tegas menepis tudingan, keterlibatan timnya dalam pengambilan dan menyebarluaskan (viral) foto-foto SM di dalam ruang tahahan. “Sebagai Kuasa hukum, kami paham aturan. Dalam langkah-langkah advokasi kasus seperti ini sangat hati-hati dalam tutur kata apalagi pengambilan foto.Sehingga kalau ada kecurigaan terhadap kami para tim kuasa hukum terhadap pengambilan hingga penyebaran foto-foto SM, maka kami akan menuntut balik,” tegas Awom. Foto itu beredar setelah kuasa hukum pulang besuk SM pada tanggal 10 September. Karena saat kuasa hokum datang,anaknya tidak ada. Dan menurut Awom, tidak mungkin kuasa hukum ada saat klien sedang menyusui bayi dibalik terali besi. Selain itu, tim kuasa hukum SM juga menduga terjadi praktek diskriminasi terhadap SM. Karena di dalam ruang tahanan Polres Manokwari ada dua tahanan perempuan lain, tapi mereka dengan leluasa pakai ponsel, sementara SM tidak demikian bahkan tidak diizinkan untuk keluar dari  ruang tahahan ke ruang depan (ruang besuk). “Atas pertimbangan perbedaan perlakuan itu,  kami ajukan surat kepada Kapolres Manokwari agar dapat memperlakukan semua tahanan sama, karena yang dihukum adalah perbuatan, bukan orangnya,” ujarnya. Terkait pertimbangan pemberian penangguhan penahanan dari polisi kepada SM, Awom mengaku itu bagian dari kewenangan polisi melalui pertimbangan-pertimbangan mereka. Dia menjelaskan, dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) sudah jelas, bahwa SM punya tiga anak beserta identitas SM sudah menjadi data awal yang mutlak diketahui dalam BAP. “Kalaupun keterangan SM bahwa dia punya tiga anak tidak ada di dalam BAP,  maka saya duga itu tidak diketik oleh Penyidik, tapi saya sendiri mendengar pernyataan itu. Karena posisi saya persis dibelakan klien saya saat di BAP oleh penyidik. Dia punya tiga anak, usia 3 tahun, 2 tahun dan Bayi usia 3 bulan lebih, saat SM ditangkap,” ujarnya. Sementara Kapolres Manokwari, AKBP Adam Erwindi mengaku akan mengejar oknum yang menyebar luaskan foto tersangka pembawa 1500 bendera bintang kejora, berinisial SM saat menyusui dalam ruang tahanan khusus wanita di Polres Manokwari. “Ini ulah organisasi atau oknum yang mungkin bertolak belakang dengan NKRI yang sengaja mempropagandakan dengan foto yang seolah-olah telah terjadi penyimpangan oleh Polres Manokwari atas penanganan hak tersangka,” ujar Kapolres saat dikonfirmasi, Jumat (13/9/2019). Kapolres menjelaskan, pada tanggal 10 September 2019 sekira pukul 16.00 WP, keluarga tersangka SM datang menjenguk dan satu diantara mereka membawa bayi. Kemudian oleh anggota piket, dibawalah ke ruang besuk tahanan. Karena mereka bertemu di ruangan besuk, salah satu keluarga menyerahkan anak itu ke tersangka SM. Tersangka lalu masuk ke dalam ruang tahanan, kembali menutup pintu dan disitulah dihasilkan foto-foto tersebut. Hasil foto itulah yang disebar untuk memberikan kesan telah terjadi sebuah pembiaran terhadap tersangka dan bayi tersebut. “Seandainya tersangka mengatakan akan menyusui, bagian tahanan dan titipan (tahti) Polres akan mengarahkan tersangka ke ruang Laktasi (ruang kusus ibu menyusui). Kita bahkan punya 3 ruangan laktasi yang memang sudah kita siapkan,” jelasnya. Kapolres juga mengatakan, bahwa telah menerima permohonan penangguhan penahanan dari tim kuasa hukum tersangka SM. Dan sedang diproses. Namun belakangan, setelah muncul foto-foto tersebut, pihaknya akan mempertimbangkan pemberian penangguhan penahanan kepada tersangka SM. (*) Editor : Victor Mambor

Mama Papua: Kami melahirkan anak bukan untuk distigma dan disebut monyet

Mama Papua: Kami melahirkan anak bukan untuk distigma dan disebut monyet 38 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Derasnya makian bernada rasis yakni sebutan “monyet” membuat geram berbagai kalangan, termasuk mama-mama Papua. Mama Lince Pigai, satu diantara mama Papua yang ditemui Jubi mengatakan, tidak pernah mengandung dan melahirkan anak binatang di atas tanah Papua. Dalam orasinya pada demo kemarin, ia dan mama Papua lain melahirkan anak-anak bukan untuk distigma, mendapatkan perilaku rasis, serta dikriminalisasi atas nama NKRI. “Anak-anak kami selalu diperkosa, dibunuh dan disiksa hanya karena mereka memperjuangkan ideologi kebebasan dan kemerdekaan dari dulu hingga sekarang,” katanya. Ia mengatakan orang tua di Papua berharap anak-anak mereka bisa kuliah dengan aman dan berhasil, namun yang terjadi mereka distigma dengan kata separatis, pengacau. “Intimidasi, kekerasan terus terjadi dan dilakukan TNI/Polri bersama Ormas terhadap anak-anak kami, negara harus bertanggung jawab karena aktor dari semua ini adalah TNI/Polri,” katanya, Senin (19/8/2019). Sementara itu, juru bicara internasional KNPB Victor Yeimo dalam orasinya di kantor Gubernur provinsi Papua mengatakan diskriminasi rasis kata “monyet” menjadi simbol perlawanan rakyat Papua. “Rakyat Papua dan aparatur negara orang Papua dipanggil monyet, sudah begitu kenapa kita terlalu cinta NKRI? Mari sadar, satukan barisan dan kita lawan,” kata Yeimo. (*) Editor : Edho Sinaga

Film “Pahlawan” Tanpa Tanda Jasa sabet Juara I FFP III

Film "Pahlawan" Tanpa Tanda Jasa sabet Juara I FFP III 39 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jub Sorong, Jubi – Film berjudul “Pahlawan” Tanpa Tanda Jasa yang disutradarai Christian G. Tigor Kogoya keluar sebagai juara pertama dalam ajang kompetisi Festival Film Papua (FFP) III, yang diumumkan pada penutupan Festival, Jumat (9/8/2019), di Kota Sorong, Papua Barat. Juara II disabet “30 Tahun su Lewat” yang disutradarai Monaliza Upuya. Pilihan juri untuk juara ketiga jatuh pada film berjudul “Perempuan Papua di Tanahnya” yang disutradarai Kristina Soge dan Dion Kafudji. Penentuan juara atau tiga film terbaik dari 10 besar film itu menjadi pekerjaan berat bagi dewan juri. Melanie, satu dari empat juri yang mengumumkan tiga film terbaik itu, mengatakan semua film dalam ajang kompetisi FFP III kali ini memiliki kesamaan yang menonjolkan isu tentang Perempuan Penjaga Tanah Papua. “Dan, banyak yang sutradaranya perempuan, angkat isu yang penting. Ini yang bikin jadi pekerjaan berat sekali mau pilih yang mana,” ujar Melanie, yang juga aktif bicara dan menulis tentang pemenuhan hak-hak perempuan melalui penulisan laporan situasi perempuan di Papua. Meski diakui juri berat, agaknya ada kekompakan alami yang terbangun dalam ruangan Keik LMA Malamoi, Jumat malam. Pengunjung di hari terakhir FFP III yang membludak hingga di luar gedung, kompak meneriakkan berulang-ulang, “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa,” untuk menjawab pertanyaan juri, siapa juara pertama dari tiga film, yang ditonton bersama, sebelumnya. Film hasil karya Kristian yang berdurasi 15 menit ini menceritakan tentang seorang mama janda yang menghidupi anak-anaknya dengan berjualan roti, sayur, ubi, dan uang pensiunan sebesar Rp13 ribu per bulan. Meskipun pendapatannya sangat rendah, Mama Kogoya (karakter utama dalam film) bisa menyekolahkan delapan anaknya hingga sarjana. Salah satu kebanggaan mama adalah anak pertamanya, seorang perempuan, yang saat ini menjabat sebagai kepala puskesmas di Makki, Kabupaten Lanny Jaya (Papua). Dari penilaian empat juri, Melanie bilang film “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” memiliki nilai lebih dari semua film yang berkompetisi. “Alur ceritanya menarik, tokoh perempuan digambarkan dengan baik, untuk memenuhi maksud film, menyampaikan cerita dengan gabungan gambar lama (arsip pribadi) dengan masa kini. Kemudian, dikuatkan dengan pernyataan salah satu anaknya yang berhasil. Meskipun sedikit kurang shot establishment namun teknik film sangat baik dengan gambar dan suara jelas,” ujar Melanie Kirihio. Sementara itu, dua film terbaik lainnya “Perempuan Papua di Tanahnya” dan “30 Tahun su Lewat”, masing-masing juara II dan III, dipandang laik masuk dalam tiga film terbaik. Tak hanya menilai isi cerita serta hal-hal teknis dalam pembuatan film. Bagi Melanie, keterlibatan perempuan sebagai sineas yang memproduksi sendiri film ini yang menjadi poin penting. “Jadi bukan hanya ceritanya tentang perempuan penjaga Tanah Papua saja, tetapi mendorong lebih banyak perempuan yang berkarya sebagai sutradara film. Ini yang menjadi catatan penting,” ucapnya. Pembina Papuan Voices, Max Binur, berharap pada kompetisi Festival Film Papua IV tahun 2020, yang akan dilangsungkan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, nanti akan lahir lebih banyak pembuat film muda Papua. Ia berpesan kepada seluruh koordinator Papuan Voices di seluruh daerah untuk lebih aktif dan berinisiatif menjalankan program untuk meningkatkan kemampuan anggotanya dalam hal pembuatan film-film dokumenter. “Saya ingin lihat, bukan saja laki-laki, tapi kitong punya perempuan-perempuan yang bikin film ini bertambah lagi. Karena seperti yang selalu saya bilang, kalau bicara perempuan itu pasti lebih menyentuh kalau yang bikin juga perempuan,” ucapannya, disambut tepuk tangan meriah, yang sekaligus menutup FFP-III di Gedung Keik LMA Malamoi. (*) Editor: Dewi Wulandari

Pemkab di Papua diminta serius jadikan daerahnya jadi layak anak

Pemkab di Papua diminta serius jadikan daerahnya jadi layak anak 40 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Wamena, Jubi – – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise meminta perhatian bagi setiap pemerintah kabupaten di Papua untuk menjadikan daerah mereka layak untuk anak. Menurutnya, di tanah Papua baru Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Raja Ampat yang telah masuk dalam kategori daerah layak anak. Sedangkan untuk Jayawijaya, memang pada 2018 lalu telah dilakukan launching menuju layak anak namun hal itu harus dibarengi dengan sejumlah indikator yang ada untuk menjadi kabupaten layak anak. “Ada 24 indikator yang harus dicapai dan saya minta pemerintah daerah memperhatikan ini, karena saya memberikan penghargaan jika pemimpin daerah sudah memenuhi beberapa target dari beberapa indikator itu,”” katanya usai tatap muka bersama sejumlah anak sekolah, komunitas anak dalam advokasi kepada OPD dan stakeholders di Jayawijaya, Kamis (8/8/2019) di gedung Ukumearek Asso Wamena. Dijelaskan, indkator yang dimaksud ialah bagaimana setiap daerah dapat memenuhi akte kelahiran anak, karena semua anak harus punya akte kelahiran, semua anak harus sekolah, lalu ada suatu ruang kreratif untuk anak, taman bermain anak, dan hal itu menjadi hak-hak utama dari anak yang harus diperhatikan pemerintah daerah. Menurut Yohana, usai Jayawijaya meluncurkan  program “Menuju layak anak dan deklarasi sekolah layak anak”, hingga kini perlu ada suatu pendekatan kembali berkaitan dengan menuju layak anak, karena masa transisi dari bupati lama ke bupati baru. “”Setelah berkoordinasi dengan Sekda dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jayawijaya, karena dengan bupati baru sehingga perlu ada sosialisasi, pencerahan dan pendekatan mengenai indikator ke bupati agar bisa melaksanakan 24 indikator yang ditentukan,”” katanya. Dalam tahap transisi tersebut, katanya, butuh waktu dan proses untuk pembenahan lebih lanjut dari kementerian melalui kepala dinas kepada bupati termasuk OPD-OPD, karena bukan hanya dinas pemberdayaan perempuan yang mensukseskan ini, tetapi semua pihak harus bergabung, termasuk media, tokoh agama, tokoh masyarakat. Peran bisnis juga harus ada untuk membantu kegiatan-kegiatan menuju kabupaten layak anak. “”Di Papua yang baru Kota Jayapura dapat penghargaan dari kementerian yang diberikan 2018 lalu, sedangkan di 2019 tidak ada sama sekali kabupaten yang diberikan penghargaan dari Papua. Meski dapat penghargaan, Kota Jayapura juga masih ada pekerjaan rumah yang perlu ditambah dan dibenahi,”” katanya. Sekretaris Daerah Jayawijaya, Yohanes Walilo mengatakan, meski telah melaunching menuju layak anak, namun hal itu bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab dinas pemberdayaan perempuan saja, sehingga untuk mencapai itu harus ada keterlibatan semua. “”Harus ada keterlibatan dari semua pihak dalam hal ini orang tua, sekolah dan lebih luas lagi pemerintah. Hal-hal ini harus kita wujudnyatakan dalam bentuk kegiatan di masing-masing OPD,”” kata Walilo. Sekda menambahkan, dengan kriteria yang begitu banyak sehingga jika bicara target, ia berpikir di masa kepemimpinan bupati dan wakil bupati saat ini punya visi misi program unggulan. Salah satunya pendidikan dan kesehatan. “Ketika itu kita tingkatkan, dengan sendirinya beberapa program nasional antara lain yang tadi menyangkut dengan kabupaten layak anak bisa terwujud,”” katanya. (*) Editor: Syam Terrajana  

Empat karya sineas perempuan masuk 10 film terbaik FFP III

Empat karya sineas perempuan masuk 10 film terbaik FFP III 41 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi KARYA empat sineas perempuan Papua terpilih dari total 10 film dokumenter terbaik dalam ajang Festival Film Papua (FFP) III, yang sedang berlangsung di Kota Sorong, Papua Barat. Perempuan pertama adalah Lidya Monaliza Upuya (26), yang memproduksi film dokumenter berjudul “30 Tahun su Lewat”. Film berdurasi 17 menit 39 detik ini bercerita tentang kehidupan warga trans lokal dari Serui yang bekerja di perkebunan kelapa sawit Perusahaan Tinggi Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Kabupaten Keerom, Papua, sejak tahun 1998. Mulai tahun 2015 sampai sekarang, keluarga Mama Karolina Wayangkau harus keluar dari perumahan karyawan di Afdeling 4/5 mencari lokasi baru, hidup hanya dengan menerima separuh gaji setiap bulannya dari perusahaan tersebut. “Lewat film ini, saya mau tunjukkan bagaiamana Mama Karolina berjuang untuk bertahan hidup ketika perusahaan hanya memberikan separuh gajinya dan harus mencari tempat baru untuk di daerah suku lain. Di sini sangat jelas terlihat peran perempuan yang begitu besar untuk keberlangsungan hidup keluarganya sampai saat ini,” ujar sineas bernama akrab Mona ini. Berikutnya adalah Kristina Soge dengan karyanya berjudul “Perempuan Papua di Tanahnya”. Film ini bercerita tentang pengalaman Irene Fatagur, seorang perempuan asal Arso, Kabupaten Keerom, yang mengalami konflik tanah lebih dari 36 tahun, karena perkebunan kelapa sawit PTPN II masuk ke kampungnya. Film berdurasi 15 menit itu dikerjakan Kristina bersama Dion Kafudji. Irene, yang ditemui Jubi di sela-sela acara, mengatakan secara budaya perempuan Papua hampir tidak diakui oleh adat dan orangtua terkait hak atas tanah. Padahal, menurutnya, perempuanlah yang selalu berdiri di garda terdepan untuk menyelamatkan keluarga dan tanah ulayat ketika masalah datang terkait lahan yang dijual oleh kaum laki-laki. “Seharusnya, kami perempuan juga punya hak yang sama yaitu hak menjaga, hak memakai dan hak memiliki tanah itu. Saya mau bilang, masyarakat asli Papua yang masih punya tanah itu tolong, jangan kamu jual. Tanah itu ibarat mama yang kitong harus jaga sama-sama karena kitong semua makan dan hidup dari situ,” pesan Irene. Selanjutnya, Helena Kobogau, sineas perempuan ketiga yang memproduksi film dengan durasi 8 menit 33 detik dalam film berjudul “Daerah Hilang” di Timika, Papua. Film ini menceritakan tentang hilangnya kampung akibat operasi dan pembuangan limbah tailing PT. Freeport melalui jalur sungai hingga ke laut. Kata Helena hingga saat ini masyarakat suku Amungme dan Kamoro mengalami banyak kendala. “Setiap akses jalan terputus oleh pasir kimia yang menutupi permukaan sampai ke laut. Ikan, udang, dan siput tidak ditemukan lagi, apalagi air bersih,” katanya. Tak hanya berbicara tentang lahan. Pada film hasil produksi sineas ketiga, Naomy Wenda, dalam filmnya yang berjudul “Menembus Batas” itu mengangkat sosok perempuan asal Wamena, Ester Haluk. Pada film berdurasi 13 menit itu, Ester berjuang menyebarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan terutama terhadap perempuan. Naomi merasa penting membuat film tentang aktivitas Ester Haluk, yang merupakan seorang dosen pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Fajar Timur Post Tujuh, Sentani itu. “Saya lihat yang dikerjakan Kaka Ester itu sangat penting karena saya dan teman-teman mengalaminya juga. Saya lebih senang lagi kalau teman-teman laki-laki nonton film ini, supaya laki-laki jangan hanya teori saja, tapi kamu harus bisa terapkan kesetaraan dan berlaku adil untuk teman-teman perempuan,” kata Naomi. Keempat film itu masih akan berkompetisi dengan enam film lain–juga tentang perempuan–yang diproduksi anak muda Papua. Pada puncak acara, Jumat (9/8/2019), dewan juri FFP III akan mengumumkan tiga film terbaik yang akan keluar sebagai juara. Melihat daftar film dokumenter yang masuk dalam Festival Film Papua sejak 2017, 2018 dan 2019, keterlibatan perempuan sebagai pembuat film belum menunjukkan kenaikan yang signifikan. Dari total 25 film pada festival pertama, lima film di antaranya dibuat oleh perempuan. Pada tahun kedua, jumlah menurun menjadi hanya dua perempuan dari total 19 film. Dan, tahun ini naik lagi menjadi lima perempuan pembuat film dari total 17 film yang berkompetisi. Pembina komunitas Papuan Voices, yang juga budayawan Papua, Max Binur, mengapresiasi semua karya film yang masuk pada FFP III ini. Ia berharap pada festival tahun 2020, akan lahir lebih banyak sineas perempuan Papua. “Karena kalau perempuan sendiri yang membuatnya, apalagi mereka yang menjadi korban yang berjuang, pasti hasilnya akan lebih menyentuh hati semua orang yang menontonnya,” ujarnya. (*) Editor: Dewi Wulandari

FFP III di Sorong, Inilah Film Dokumenter yang Masuk 10 Besar

FFP III di Sorong, Inilah Film Dokumenter yang Masuk 10 Besar 42 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Sorong, Jubi – Panitia Festival Film Papua (FFP III), kemarin pada pembukaannya telah mengumumkan film-film dokumenter, hasil seleksi dewan juri, yang masuk 10 besar dari total 17 film. Ketua Panitia FFP III, Agus Kalalu mengatakan secara keseluruhan, terdapat 17 film yang mengikuti kompetisi film pada Festival Film Papua, tahun ini. “Dari ke-17 film itu, kemarin juri sudah memilih 10 film terbaik. Dan, pada puncak acaranya nanti, tanggal 9 Agustus dewan juri yang akan mengumumkan secara langsung tiga pemenangnya,” kata Agus di Gedung Keik LMA Malamoi, Kilo 13, Kota Sorong, Papua, Rabu (7/8/2019). Berikut Kesepuluh film terbaik itu, secara berurutan (judul film, asal cerita, dan sutradara). ‌Pahlawan Tanpa Tanda Jasa; Wamena; Christian G. ‌Perempuan di tanahnya; Keerom; Kristian Sage; Dion Katudji ‌30 Tahun Su Lewat; Keerom; Lisa Monaliza Upaya. ‌Keadilan di Tanah Sendiri; Wamena; Nelson Lokobal. ‌Menembus Batas; Jayapura; Naomi Wenda. ‌Daerah Hilang; Timika; Helena Kobogau ‌Moinyayo Hekhe Mokhonate; Sentani; Alberth Yomo ‌Sasi Ibu-ibu Kampung Kapatcol Misool Barat; Raja Ampat; Wawan Mangile ‌Mre Wenthu; Jayapura; Nelius Wenda ‌Agmai; Sorong; Agus Kalalu. Wakil Ketua Panitia, Max Binur menyatakan harapannya agar melalui pemutaran film-film itu, pengunjung FFP III selama tiga hari itu mendapat pengetahuan baru dan menjadi pribadi yang lebih peka pada sesama manusia, budaya, dan lingkungan. “Semoga dari film-film terpilih itu dapat menginspirasi kita menjadi lebih kritis, baik bagi perempuan itu sendiri, yang adalah mama, saudari perempuan, anak, bahkan lingkungan kita, yang memberi kehidupan untuk kita. Apalagi kita di Papua, masyarakat adat hidup bergantung dari alam,” kata Max.(*) Editor: Angela Flassy

Menteri PPPA titip jaga perempuan dan anak saat buka FBLB

Menteri PPPA titip jaga perempuan dan anak saat buka FBLB 43 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Wamena, Jubi – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan RI, Yohana Yambise menitipkan kepada seluruh masyarakat yang hadir di pembukaan Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB) ke 30 tahun 2019, untuk tetap menjaga perempuan dan anak dari pelbagai tindak kekerasan. Menurut Yambise, perempuan harus menjadi sosok terdepan yang mampu menjaga warisan budaya Indonesia. Jangan sampai keasliannya terpengaruh unsur dan budaya negara lain di era globalisasi saat ini. “Dan anak sebagai penentu masa depan bangsa, juga harus ditanamkan kecintaannya terhadap warisan budaya Indonesia khususnya di Jayawijaya ini sejak dini. Perempuan dan anak harus dijaga dan dilibatkan dalam pembangunan termasuk juga pelestarian budaya,” katanya saat membuka FBLB, Rabu (7/8/2019) di Distrik Welesi, Jayawijaya. Menurut dia, eksistensi Festival Budaya Lembah Baliem yang menginjak usia ke 30 tahun itu, menjadi pembuktian kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap pelestarian warisan budaya lokal. Deputi Bidang Pengembangan dan Pemasaran I Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani menuturkan FBLB tahun ini menjadi bukti komitmen pemerintah dalam upaya pelestarian warisan budaya Papua. “30 tahun berjalan, FBLB tetap eksis berada dalam Top 100 calendar of events wonderful kementerian pariwisata. Beberapa faktor pendukungnya ialah sebuah festival tersebut memiliki nilai budaya dan kreativitas, memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat lokal, dan komitmen pemerintah daerahnya dalam menyelenggarakan festival budaya,” tambah Rizki. Sementara itu Bupati Jayawijaya, Jhon Richard Banua menuturkan pemerintah akan terus memberikan perhatian serius terhadap kemajuan dunia wisata dan perlindungan budaya lokal di Jayawijaya. Menurutnya, sejak dicetuskannya FBLB 30 tahun silam, telah memberikan dampak positif dalam membentuk pola pikir masyarakat lokal di Jayawijaya. Masyarakat semakin memahami jika perang suku sangat merugikan kehidupan sosial masyarakat. “Perang suku seharusnya dapat dilestarikan dengan cara yang memiliki nilai edukasi, salah satunya melalui FBLB ini. Selain itu FBLB juga menjadi sarana melindungi nilai-nilai seni, budaya dan adat Papua serta mendorong peningkatan sektor pariwisata, pembangunan, dan ekonomi masyarakat lokal,” katanya. Dalam pembukaan FBLB itu juga, bupati dan wakil bupati Jayawijaya menerima piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk pembuatan Noken terpanjang yaitu sepanjang 30 meter. (*) Editor: Syam Terrajana  

‘Samubah Aweybe’, kiprah perempuan di Manokwari layani kesehatan gratis

‘Samubah Aweybe’, kiprah perempuan di Manokwari layani kesehatan gratis 44 i Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi Manokwari, Jubi – Pola hidup bersih, layanan kesehatan dasar dan pengurangan jumlah buta aksara, merupakan harapan besar Pemerintah Papua Barat untuk menciptakan generasi masa depan Papua yang sehat dan berdaya saing. Harapan besar Pemerintah ini, tidak dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dan keterlibatan semua elemen masyarakat. Di Manokwari, kelompok perempuan Papua yang tergabung dalam komunitas ‘Samubah Aweybe’ secara mandiri dan swadaya melakukan pelayanan kesehatan gratis disertai sosialisasi tentang pola hidup bersih dan sehat kepada kelompok masyarakat kecil di pinggiran kota Manokwari. Flora Kambuaya, ketua komunitas Samubah Aweybe kepada Jubi, menuturkan bahwa komunitas yang dibesutnya baru berjalan sekitar tujuh bulan disejak didirikan awal Januari tahun 2019. Berbekal ilmu dan pengalaman, perempuan asli suku Maybrat ini bersama tiga anggotanya  memutuskan untuk mengabdi kepada masyarakat dengan apa yang mereka miliki. “Awal mula komunitas ‘samubah aweybe’ dari pemikiran kami bersama dengan satu tujuan yaitu melayani sesama dengan berkat dan ilmu pengetahuan yang kami miliki,” ujar Flora, Minggu (28/7/2019). Pelayanan kepada masyarakat, kata Flora, bukan saja menjadi tanggungjawab Pemerintah, tetapi peran semua pihak dari kelompok/organisasi dan komunitas, turut andil dalam dunia kesehatan dan pendidikan khususnya bagi OAP di tanah Papua. Dia menjelaskan, nama komunitas ‘Samubah Aweybe’ adalah gabungan bahasa daerah  dari dua suku di Papua Barat, yaitu bahasa suku Maybrat dan bahasa suku Sough-Arfak. “Kata ‘Samubah’ dalam bahasa daerah suku Maybrat artinya ‘besar’ dan Aweybe dari bahasa daerah suku Sough-Arfak, artinya ‘rumah kaki seribu’  (rumah adat suku besar Arfak). Jika digabungkan, ‘Samubah Aweybe’ dua kata tersebut  memiliki arti ‘rumah besar kaki seribu’ yang  berada di kepala burung pulau Papua atau di  wilayah adat Domberai,” ujarnya. Pelayanan di Kampung Demdameh Komunitas Samubah Aweybe, pada hari Sabtu (27/7/2019) kemarin, telah melakukan pelayanan di Kampung Demdameh Distrik Didohu kabupaten Pegunungan Arfak. Warga kampung Demdameh yang dilayani bukan berdomisili di Pegaf, tapi di Manokwari. Dalam pelayanan tersebut, anggota komunitas samubah aweybe yang terdiri tenaga dokter, analis kesehatan, apoteker, perawat dan pegiat literari, melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan terhadap 76 warga kampung Demdameh,  terdiri dari 36 orang dewasa  dan 40 anak. Bagi 40 anak, juga diberikan buku-buku bacaan bergambar oleh pegiat literasi dalam komunitas tersebut. Dr.Yuliana Sraun, koordinator tim kesehatan komunitas Samubah Aweybe mengatakan, Dari 76 warga yang menjalani pemeriksaan kesehatan, rata-rata keluhan kesehatannya adalah Ispa, luka-luka ringan (anak) dan malaria. “Rata-rata warga Demdameh derita Ispa dan Malaria, tapi juga anak-anak kami lakukan pengobatan luka ringan. Makanya, sebelum pemeriksaan kesehatan, kami dahului dengan penyuluhan tentang pencegahan malaria dan pola hidup bersih,” ujarnya Yuliana. Dia menjelaskan, untuk menunjang pelayanan, komunitasnya telah mendapat bantuan obat-obatan dari Dinkes Papua Barat. Dinas juga beri alat pemeriksa Malaria (RDT). “Kami ajukan permohonan, lalu dijawab oleh Dinkes, kami dapat bantuan obat-obatan dari Dinkes syukur obatnya cukup, bahka dilengkapi dengan RDT untuk pemeriksaan Malaria. Agenda pemeriksaan malaria,  bagian dari support komunitas kami kepada Pemerintah Papua Barat menuju Papua Barat bebas Malaria di tahun 2022,” katanya. Sementara kepala Kampung Demdameh, Alex Isya mengatakan, warganya sangat terbantu melalui penyuluhan pola hidup bersih dan pemeriksaan kesehatan gratis yang diberikan oleh komunitas Samubah Aweybe. “Kami merasa terbantu, karena bisa mengerti untuk jaga kebersihan dan tahu penyakit yang kami derita setelah diperiksa. Kadang warga saya tidak mau berobat karena tidak punya uang,” katanya. Alex mengatakan, warga kampung Demdameh tidak berada di wilayah administrasi Distrik Didohu, kabupaten Pegaf, tetapi 57 kepala keluarga (KK) dengan 130 jiwa di kampung ini justru berkampung sementara di wilayah Kelurahan pasir putih, Distrik Manokwari Timur, kabupaten Manokwari. “Kami bagian dari kabupaten Pegaf. Di Manokwari, kami hanya buka kampung sementara untuk anak-anak sekolah tinggal dan bersekolah di Manokwari. Tapi untuk semua pelayanan administrasi pemerintahan, kami tetap di Pegaf,” katanya. (*) Editor: Edho Sinaga