Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kepala Kepolisian Daerah Papua, Irjen Mathius D Fakhiri mengatakan prajurit TNI dan polisi seharusnya tidak mudah terpancing dengan suara tembakan yang dilepaskan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB. Hal itu dinyatakan Fakhiri dalam Rapat Kerja bersama Majelis Rakyat Papua atau MRP yang berlangsung di Kota Jayapura, Kamis (28/10/2021).
Hal itu disampaikan Fakhiri menanggapi pertanyan dari MRP soal banyaknya warga sipil yang menjadi korban penembakan dalam konflik bersenjata antara TNI/Polri dan TPNPB. “Mereka, [TPNPB], setelah tembak lari bersembunyi di sekitar masyarakat. Jujur saya mau bilang, [kasus korban sipil yang] Bapak dan Ibu sampaikan itu, [ada] korbannya, [tetapi Bapak dan Ibu] tidak dikasih tahu bagaimana awalnya terjadinya,” kata Fakhiri dalam Rapat Kerja bersama MRP, Kamis.
Fakhiri juga mengakui jika ada anggota TNI/Polri tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan warga sipil di lokasi konflik bersenjata, karena tidak familiar. Namun ia menegaskan pihaknya berupaya mengubah hal itu, agar tidak lagi warga sipil yang menjadi korban kekerasan aparat TNI/Polri.
Baca juga: MRP duduk bersama Pangdam dan Kapolda membahas situasi Papua
“Saya katakan, masih ada anggota kami yang [belum tahu] bagaimana dia [harus] melayani anggota masyarakat di sana, dengan [situasi yang] tidak familiar. Tapi kami [berusaha] ubah itu. Saya dan Pangdam punya pemikiran yang sama, kami mengubah bagaimana mereka [pasukan TNI/Polri] hadir di sini. Kami harap, ke depan kekerasan dari aparat TNI/Polri itu [berkurang] secara perlahan-lahan, wajib untuk dikurangi dan dihilangkan, walaupun nyawa prajurit taruhannya,” kata Fakhiri.
Fakhiri juga menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo mempunyai keinginan kuat untuk menyelesaikan konflik di Papua. Ia menyatakan yakin Jokowi akan beraudiensi denagn semua pemangku kepentingan, kendati ia tidak tahu kapan audiensi itu akan dilakukan.
“Entah kapan waktunya untuk beraudiensi, [tapi] saya yakin dan percaya Bapak Presiden punya hati untuk menyelesaikan persoalan yang ada di Tanah Papua. Memang harus kita selesaikan akar persoalannya, saya sepakat itu, dan pasti pimpinan negara juga punya angan-angan ke sana,” kata Fakhiri.
Baca juga: Balita meninggal dunia di Intan Jaya setelah jadi korban kontak tembak TNI dan TPNPB
Fakhiri menyatakan sebagai Kapolda Papua ia bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua, agar kekerasan tidak terjadi lagi. Menurutnya, upaya untuk menghentikan kekerasan di Papua harus dibicarakan para pemangku kepentingan dengan duduk bersama.
“Kita duduk bersama-sama dan membicarakan persoalan yang terjadi di Tanah Papua ini, dan tidak boleh dari satu pihak saja. Tapi kita jangan ada saling curiga. Kalau mau menyelesaikan persolan di Tanah Papua ini, merasa mencintai Tanah Papua, mari sebagai orang asli Papua kita duduk sama-sama, bicara,” kata Fakhiri.
Fakhiri menyatakan ia dan Pangdam XVII/Cenderawasih sama-sama berkomitmen untuk mengurangi kasus kekerasan oleh aparat TNI/Polri di Papua. “Saya dan Pak Pangdam, kami yang dipercayakan oleh negara untuk mengelola situasi, kami mempunyai hati yang sama, kita berniat untuk mengurangi persoalan atau salah-salah prosedur pada anggota kita. Kami tegas, tidak pandang bulu penyelesaikan persoalan Papua. [Kami] tidak boleh menambah luka lagi, saya berulang kali menyampiakan itu, memang butuh proses,” ujar Fakhiri.
Baca juga: Orang tua bayi tewas tertembak di Intan Jaya duga peluru dari aparat gabungan
Dalam Rapat Kerja MRP pada Kamis, Ketua Tim Hak Asasi Manusia MRP, Markus Kajoi melaporkan kekerasan terus meluas di berbagai wilayah Papua. Ia menyampaikan persoalan dan kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak, dan Pegunungan Bintang.
“Kerja-kerja kami, Tim HAM MRP [menilai] yang memicu konflik adalah perbedaan ideologi, dan itu konflik berkepanjangan. Perbedaan ideologi itu sudah terjadi dari dulu hingga sekarang,” ucap Kajoi.
Kajoi menyatakan dalam sejumlah kasus, konflik yang dilatarbelakangi perbedaan ideologi itu bercampur aduk dengan masalah konflik yang dilatar belakangi persoalan politik lokal. Dalam kasus yang lain, konflik bersenjata di Papua dilatarbelakangi kepentingan ekonomi tertentu, misalnya rencana investasi di Papua.
“Kalau di Intan Jaya, itu kami sudah melihat ada intervensi kepentingan ekonomi global yang berkaitan dengan Blok Wabu. [Di lokasi lainnya, konflik [dilatarbelakangi persoalan] pasca Pemilihan Kepala Daerah [yang lantas] terikut dalam kasus-kasus [kekerasan] yang sedang terjadi, misalnya di Kiwirok. Kami punya catatan dan data yang cukup baik dari lapangan, bagaimana momentum itu dipakai bersamaan,” ujar Kajoi. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G