Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,
Oleh Marinus Yaung
PRA kondisi menuju referendum di Papua sudah terjadi saat ini, dan Presiden Jokowi sepertinya tidak pernah mau menyoroti akar utama persoalan Papua–yang sesungguhnya persoalan tersebut telah dirancang secara masif dan sistematis untuk menjadi batu pijakan utama politik referendum mendapat tempat pijakannya.
Setiap kali kunjungan ke Papua, Presiden Jokowi selalu menghindar untuk memberikan pernyataan atau sekedar klarifikasi terhadap komitmennya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua adalah isu yang dimainkan oleh pihak-pihak di dalam dan luar negeri untuk melepaskan Papua dari Indonesia.
Isu ini selalu ditiupkan untuk dijadikan panggung politik oleh pihak-pihak yang menginginkan terbentuknya dukungan internasional terhadap referendum di Papua.
Pernyataan Presiden Jokowi tentang komitmen dan keseriusan pemerintahannya dalam menyelesaikan seluruh pelanggaran HAM di Papua dan memberikan perhatian penuh terhadap nasib korban dan keluarga korban, sebenarnya sedang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat Papua, yang selama ini bersikap apatis dan selalu bertindak resisten terhadap kebijakan Pemerintah.
Memang baik dan benar juga, terobosan-terobosan pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi yang berkeadilan sosial agar harga barang di Papua sama dengan harga barang di pulau Jawa, yang lebih dipilih dan dikedepankan Presiden Jokowi untuk dikerjakan duluan di Papua dibandingkan menuntaskan isu pelanggaran HAM. Tetapi dibutuhkan tindakan cepat dan tepat dan tidak bisa ditangani dengan pendekatan parsial semata. Perlu dibarengi pendekatan simultan dengan menggerakkan kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga terkait untuk bersama-sama menggarap Papua.
Sudah saatnya Presiden Jokowi menjadikan isu pelanggaran HAM Papua sebagai isu prioritas dan segera dituntaskan sebelum situasi politik tahun 2017 di Papua berkembang menjadi tuntutan politik yang lebih besar.
Masyarakat Papua sudah sangat kecewa dengan janji dan komitmen Presiden Jokowi melalui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Luhut Bansar Pandjaitan (LBP), yang dengan serius mengatakan bahwa pelanggaran HAM Papua akan segera tuntas hingga selesai dalam tahun 2016, agar negara dalam menata masa depan tidak lagi terbebani dengan akar masalah Papua.
Pembentukan tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, termasuk kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Papua oleh Kemenkopolhukam tahun 2016 sebenarnya telah menumbuhkan harapan besar akan datangnya keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM di Papua.
Presiden Jokowi melalui Menkopolhukam telah memutuskan untuk menjadikan 3 kasus besar pelanggaran HAM di Papua, yang telah dilakukan penyelidikan dan diputuskan memenuhi norma-norma pelanggaran HAM berat oleh Kombas HAM RI, yakni, kasus Wasior berdarah (2001), Wamena berdarah (2003), dan kasus Paniai berdarah (2014) untuk terlebih dahulu dituntaskan.
Meskipun banyak kasus pelanggaran HAM terjadi di Papua, Pemerintah telah memutuskan untuk mendorong tiga kasus besar yang menarik perhatian publik ini untuk diselesaikan terlebih dulu melalui jalur yudisial, dengan tujuan:
Pertama, untuk memulihkan kepercayaan rakyat Papua terhadap negara dan Pemerintah. Karena ketidakpercayaan kepada Pemerintah merupakan salah satu akar persoalan yang membuat kebijakan Pemerintah selalu ditentang dan proses pembangunan selalu terhambat karena gangguan keamanan dan ketidakstabilan sosial dan politik di Papua;
Kedua, untuk membuktikan kepada orang Papua bahwa pelaku pelanggaran HAM di Papua bukanlah pahlawan nasional yang harus diberikan kedudukan istimewa dalam hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia dengan menempatkan pelaku sebagai pihak yang tidak bisa disentuh hukum dan memiliki hak impunitas;
Ketiga, untuk menghentikan internasionalisasi isu Papua di negara-negara pasifik, Australia, Afrika, Eropa, dan Amerika Serikat. Wasior berdarah, Wamena berdarah dan Paniai berdarah merupakan kasus-kassus pelanggaran HAM yang telah dipromosikan ke luar negeri dan lembaga-lembaga internasional, seperti, Melanesian Spreadhead Group (MSG ), Pacific Islands Forum (PIF), dan Pacific Coalition for West Papua (PCWP) di Pasifik Selatan, oleh pihak-pihak yang masih berseberangan pandangan dengan pemerintah dan menginginkan Papua merdeka.
Kelompok-kelompok perlawanan seperti West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) yang terbentuk di Vanuatu tahun 2005, Komite Nasiona Papua Barat (KNPB) yang dilahirkan di Kota Jayapura tahun 2008 oleh generasi muda Papua korban operasi militer dengan sandi operasi koteka (1975-1980), Parlemen National for West Papua (PNWP) yang dibentuk tahun 2012 di London, Inggris oleh koalisi bersama antara OPM dalam negeri dengan beberapa pengacara internasional dan anggota parlemen internasional dari beberapa negara, dan setahun kemudian mendirikan kantor perwakilan OPM di Oxford Inggris, dan kelompok Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) yang dibentuk melalui Kongres Rakyat Papua III tahun 2011 di Jayapura–adalah sekumpulan kelompok perlawanan yang berhasil melobi dan mempromosikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Wasior, Wamena dan Paniai ke masyarakat internasional untuk memperoleh dukungan politiknya.
Kelompok besar ini kemudian melebur dalam satu wadah perjuangan dengan membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akhir 2014 di Vanuatu. Melalui ULMWP perkembangan perjuangan tiga kasus HAM Papua yang diprioritaskan pemerintah untuk diselesaikan, tetapi belum ada realisasinya, semakin kencang di kampanyekan ke luar negeri untuk mendiskreditkan Indonesia dalam isu HAM dan demokrasi dan semakin berhasil mendapat dukungan internasional, dimana ULMWP akhirnya diterima sebagai anggota organisasi MSG dengan status sebagai pengamat (obsever) dalam sidang MSG Leadership summit di Honiara, Solomon Island tahun 2015.
Melihat keberhasilan orang Papua dalam menjual isu HAM ke luar negeri yang semakin mengkhawatirkan posisi Papua dalam NKRI, maka penuntasan ketiga kasus pelanggaran HAM ini harus semakin diseriusi oleh Presiden Jokowi.
Seharusnya tigas kasus HAM itu sudah diselesaikan dan tuntas tahun 2016 sesuai dengan janji dan komitmen Presiden Jokowi. Namun hingga Desember 2016 belum ada satu kasus pun yang sampai ke persidangan.
Seyogianya kasus Wasior berdarah dan Wamena berdarah bisa diajukan ke pengadilan untuk disidangkan, karena berkas perkara kedua kasus ini dalam tingkat penyelidikan di Komnas HAM sudah lengkap dan sudah diajukan ke tingkat penyidikan di Kejaksaan Agung (KA). Hanya karena perbedaan tafsir tentang kriteria pelanggaran HAM berat dan bukan pelanggaran HAM berat antara dua lembaga penegakan hukum inilah yang mengakibatkan ketidakjelasan perkembangan penyelesaian hukum dua kasus HAM ini. Presiden Jokowi seharusnya berdiri paling depan untuk segera menentukan pilihan penyelesaian kedua kasus ini.
Semakin tidak jelas penuntasannya dalam tahun ini, maka akan semakin membuka peluang besar buat ULMWP diterima sebagai anggota penuh di MSG. Komitmen nyata Presiden Jokowi terhadap orang Papua diukur dari pilihan hukum yang diambil untuk menuntaskan kasus ini.
Jika kasus Wasior berdarah, Wamena berdarah, dan Paniai berdarah tak selesai, maka akan semakin sulit bagi Presiden Jokowi untuk merebut hati dan pikiran orang Papua. Di samping itu, internasionalisasi isu Papua akan semakin tak terbendung lagi. Peluang ULMWP berubah status keanggotaanya di MSG semakin besar, dan isu pelanggaran HAM Papua akan semakin kencang, dan semakin banyak negara yang ikut menyoroti Indonesia di forum-forum internasional.
Presiden Jokowi perlu merenungkan bahwa pendekatan pemerataan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sejauh ini belum cukup kuat untuk meredam gejolak politik di Papua. Belum berdampak signifikan juga terhadap penghentian isu Papua di luar negeri.
Presiden Jokowi juga harus membuka diri dengan mempertimbangkan pendekatan-pendekatan alternatif lain, seperti dialog Papua (dialog antara Pemerintah dengan OPM), sebagaimana digagas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua ( JDP ) atau pendekatan ekonomi dan kesejahteraan yang ditawarkan Gubernur Papua Lukas Enembe melalui konsep UU Otsus Plus.
Presiden Jokowi harus bisa mengakomodir semua pendekatan ini dalam satu grand design yang menyeluruh dan komprehensif untuk menjawab masalah-masalah dan tantangan di Papua. Presiden Jokowi satu-satunya simbol politik di negeri ini yang masih dipercaya oleh orang Papua. Presiden jangan memberikan panggung politik untuk referendum di Papua dengan mengabaikan penuntasan tiga kasus pelanggaran HAM di atas dengan tidak membuka diri untuk mengakomodir pendekatan-pendekatan lain di luar yang sudah dipilih Pemerintah. Komitmen dan ketegasan Presiden Jokowi dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM Papua harus menjadi pendekatan prioritas terhadap Papua tahun 2017. (*)
Penulis adalah dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen)