Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Persipura Jayapura mengawali tonggak bersejarah mereka di kompetisi sepak bola Nasional pada 9 Desember 1993 di Stadion Utama Senayan Jakarta, setelah mengalahkan Persiku Kudus dengan skor 3-0 di laga final Divisi Satu, dan memastikan tiket promosi ke kasta tertinggi itu.
Empat tahun sebelumnya, tepatnya 1989, tim berjulukan Mutiara Hitam itu terdegradasi untuk pertama kalinya. Mereka runtuh dan tak berdaya di antara dominasi klub-klub Indonesia bagian barat. Persipura terjun ke kompetisi kasta kedua era perserikatan (divisi satu) usai ditaklukkan oleh klub asal Sumatera Utara, PSDS Deli Serdang dengan dua gol tanpa balas.
Kenyataan itu berbanding terbalik dengan pencapaian mereka di delapan tahun sebelumnya saat mengakhiri kompetisi perserikatan 1980 sebagai runner up.
Kabar terdegradasinya Persipura di masa itu menjadi sensasional, mengingat tim Mutiara Hitam merupakan harapan terakhir publik Papua di kancah sepak bola nasional, setelah wakil Papua lainnya, Perseman Manokwari juga telah terdegradasi.
Fernando “Nando” Fairyo adalah salah satu saksi sekaligus pelaku sejarah di masa sulit Persipura kala itu. Ia merupakan jebolan dan kapten tim PPLP (Diklat) Irian Jaya angkatan pertama tahun 1986 binaan pelatih legendaris Persipura, HB Samsi dan Hengky Rumere, yang kemudian memperkuat tim sepak bola Papua di PON XIII tahun 1993 di Jakarta.
Baca Juga: Pesan dari Brasil: Persipura harus bermain spartan di empat laga sisa
Nando dan tim sepak bola Papua yang berhasil meraih medali emas PON ketika itu akhirnya ditunjuk sebagai penerus Mutiara Hitam dengan mengemban tugas berat. Harus promosi ke kasta tertinggi.
Tim yang dihuni oleh Fernando Fairyo, Izaak Fatari, Ritham Madubun, Ronny Wabia, Yacob Rumayom, Chris leo Yarangga, David Saidui, Ramses Rumbekwan, Yohanes Bonai, Abdul Aji Mayor, Carolino Ivakdalam, Aples Tecuari dan beberapa nama lainnya, mendapatkan tekanan berat dalam bayang-bayang kesuksesan Persipura di masa lampau.
Nando juga bercerita, kabar terdegradasinya Persipura seolah menjadi komoditas seksi yang dimanfaatkan oleh media-media cetak ketika itu. Dalam sebuah berita yang dimuat di salah satu surat kabar ternama di masa itu memampang judul bernuansa rasisme.
“Persipura, nasibmu sekelam kulitmu“. Begitu judul yang tertulis beserta sub judul “Persipura degradasi ke Divisi Satu” yang masih tersimpan dengan jelas dalam memori kepala seorang Nando Fairyo.
“Waktu Persipura degradasi itu saya masih di PPLP. Ketika itu saya membaca sebuah koran yang menuliskan judul berita Persipura nasibmu sekelam warna kulitmu dan sub judulnya itu Persipura degradasi ke divisi satu. Mulai dari hari itu saya bersumpah kalau Tuhan kasih saya kesempatan, saya akan membawa Persipura kembali ke divisi teratas,” kata Nando.
Sindiran itu justru menjadi cambuk yang melecut semangat Nando dan kolega. Seusai merebut medali emas PON XIII di Jakarta tahun 1993, mereka akhirnya berhasil menembus babak empat besar di Senayan Jakarta setelah lolos dari Grup Tengah II bersama Persijap Jepara. Persipura menyingkirkan Persidafon Dafonsoro di babak semifinal dan mengalahkan Persiku Kudus di laga final dan memastikan tiket promosi.
Empat bintang diraih dengan kerja keras dan susah payah
Promosinya Persipura ke kasta tertinggi sejak tahun 1993, dilalui dengan banyak pengorbanan. Persipura di zaman itu serba keterbatasan dan tak disokong dengan finansial yang melimpah. Nando bahkan mengenang, untuk bertanding ke luar Papua, timnya harus menggunakan kapal laut menyeberangi lautan beribu-ribu kilometer.
Karena sepak bola ketika itu tak bisa menjamin penghidupan yang layak, ada pemain yang memutuskan mundur untuk melanjutkan hidup. Begitu pula dengan Nando yang akhirnya memilih keluar dan berkarir sebagai pegawai PLN, usai debut perdana mereka di kompetisi era profesional, Liga Indonesia (Ligina) I tahun 1994/1995.
Bagi Nando, berhasil mengangkat Persipura kembali ke kasta tertinggi adalah sebuah kebanggaan.
“Setelah kita berhasil kembali promosi, semua orang mulai kembali memenuhi Stadion Mandala. Itu menjadi sebuah kebanggaan dan momen bersejarah bagi kami yang berjuang dari masa degradasi,” tuturnya.
Penerus generasi Fernando Fairyo cs, Eduard Ivakdalam juga mengakui jika Persipura di masa lampau dibangun dan diangkat dengan kerja keras. Pemilik sapaan akrab Edu itu membeberkan, seluruh pemain pada generasinya selalu berjuang keras agar Persipura tetap bisa bertahan di kasta tertinggi sepak bola profesional.
Sepanjang kariernya bersama Persipura selama 16 tahun (1994-2010), susah senang sudah dilewatinya. Mulai dari ancaman degradasi hingga menjadi juara.
“Persipura ini dibangun dengan susah payah, senior-senior kita sudah mengangkat tim ini dengan banyak pengorbanan. Bagaimana mereka dulu berjuang habis-habisan agar tim ini bisa kembali promosi,” kata Edu.
“Di era saya bermain dulu kita juga pernah hampir terdegradasi pada Ligina V, kita sudah rasakan bagaimana tekanan penonton waktu itu. Bahkan stadion mandala waktu itu diwarnai hujan batu dan botol, kita juga pernah harus pulang lewat laut,” kenang Edu.
Edu mengatakan, satu hal yang membuat Persipura tetap kuat dan bertahan di kompetisi profesional adalah kebanggaan mengenakan seragam merah hitam dan kehormatan Papua. Itu sebabnya, Persipura dulu tak pernah mengeluh meskipun hanya mendapatkan bonus sebesar Rp 50 ribu usai berhasil lolos ke semifinal Ligina II musim 1995/1996.
“Dulu kita bermain serba pas-pasan. Tim kita dulu tidak punya banyak uang, tapi kekompakan dan kebersamaan seluruh tim membuat kita menjadi kuat. Kita tidak mementingkan uang ketika itu. Bahkan kita pernah dibayar dengan bonus Rp 50 ribu waktu lolos ke semifinal Ligina II,” ujar Edu.
Menanggapi kondisi mantan timnya saat ini yang diambang degradasi, eks kapten Persipura itu berpesan agar semua elemen yang ada di tim Persipura saat ini bisa melupakan keegoisan masing-masing dan bekerja hanya untuk tim Persipura juga nama Papua.
“Semua harus saling introspeksi diri, kira-kira apa yang salah, mereka harus bisa melupakan ego masing-masing dan bermain untuk kehormatan tim Persipura juga nama Papua, bukan karena embel-embel yang lain,” pesan Edu.
Persipura masih tetap akan tercatat dalam sejarah sepak bola Indonesia sebagai tim tersukses dengan raihan empat trofi juara Liga Indonesia. Namun, kondisi tim Mutiara Hitam saat ini sedang kritis di zona degradasi. Mereka hanya memiliki kesempatan terakhir di empat laga sisa menghadapi Bhayangkara FC, PSIS Semarang, PSS Sleman dan Persita Tangerang. Persipura wajib menyapu bersih kemenangan di empat laga tersebut jika tak ingin turun kasta. (*)
Editor: Angela Flassy