Artikel 1
Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Jayapura, Jubi – Gajah mati meninggalkan gading, Freeport-McMoRan pergi menyisakan tailing. Perusahaan raksasa Amerika Serikat yang menambang emas di Papua sejak 1967 ini tak lagi menjadi pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia setelah pemerintah Indonesia, melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), membeli 51,2 persen sahamnya seharga US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55,8 triliun pada pertengahan Desember 2018.
Pemerintah akhirnya melunak dengan tak mewajibkan syarat penyelesaian urusan limbah produksi emas dalam transaksi itu, yang mengisolasi empat distrik tempat tinggal 7.506 jiwa di Kabupaten Mimika. Padahal, dalam laporan audit 2017, Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan nilai kerusakan lingkungan akibat limbah yang bocor ke permukiman, membunuh ladang sagu, hingga mencerabut mata pencarian penduduk sebesar Rp 185 triliun.
Dalam laporan itu, BPK menyebutkan Freeport gagal mengelola limbah mereka yang dialirkan ke empat sungai besar di Papua sehingga menodai muara Laut Arafura, yang menjadi ujung pembuangan tersebut. “Nilai kerusakan itu dihitung peneliti Institut Pertanian Bogor yang ditelaah BPK dalam konteks keuangan negara,” kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara pada Mei 2018.
Laporan audit tersebut berjudul “Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Kontrak Karya PT Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2013 sampai dengan 2015”. Salah satu sorotan BPK adalah ketidakmampuan Freeport mengelola Modified Ajkwa Deposition Area atau ModADA.
ModADA adalah saluran penampungan limbah pengolahan emas milik Freeport yang berada di bantaran Sungai Ajkwa di Kabupaten Mimika. Sungai ini mengalir ke Laut Arafura sepanjang 120 kilometer. Pemerintah memang mengizinkan Freeport membangun saluran limbah ini, yang hanya dipisahkan oleh tanggul dengan Sungai Ajkwa. Namun di situlah masalahnya. Saluran itu kini menjadi sumber malapetaka bagi penduduk Mimika, terutama yang tinggal di Distrik Mimika Timur Jauh, Agimuka, Alama, dan Jita.
Berdasarkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K yang disahkan Menteri Lingkungan Hidup pada Desember 1997, luas saluran limbah itu seturut izin adalah 229 kilometer persegi. Para auditor BPK, yang mengeceknya di dua titik, menemukan ada kebocoran tanggul yang membuat partikel berbahaya sisa pengolahan emas merembes ke sungai, mengalir ke permukiman, juga merusak ladang sagu masyarakat.
Kebocoran paling kentara terlihat di lokasi endapan limbah Titik Pantau Pandan Lima dan Titik Pantau Kelapa Lima. Kedua titik itu berada di luar area ModADA. Temuan BPK ini menunjukkan bahwa Freeport gagal mengelola limbahnya di wilayah yang diizinkan pemerintah.
Laporan audit BPK tersebut sempat menjadi senjata Kementerian Lingkungan Hidup untuk meminta Freeport membereskan urusan limbah yang menumpuk berpuluh tahun. Pemerintah juga mengubah beberapa aturan main pengelolaan tailing atau sisa pasir tambang menjadi lebih rigid pada April 2018. Namun perubahan dan permintaan ini diprotes Kepala Eksekutif Freeport-McMoRan Richard Adkerson.
Pemerintah luluh terhadap protes itu dan tak menyoal urusan limbah lagi dalam klausul divestasi saham tersebut. “Pemerintah keras di awal-awal saja,” kata Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Tambang—lembaga swadaya yang getol memantau dampak limbah Freeport. “Kita terlalu banyak memberi kemudahan kepada Freeport.”