Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Legislator Papua, Namantus Gwijangge menyayangkan sikap personel Polres Kota Jayapura, yang tidak mengizinkan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua, Pdt. Dr. Benny Giay bertemu pihaknya di Kantor DPR Papua, Senin (16/8/2021).
Wakil Ketua Panitia Khusus atau Pansus Kemanusiaan DPR Papua itu mengatakan, polisi tidak membaca secara utuh surat Pdt. Benny Giay, mengenai tujuan bertemu DPR Papua.
Menurunya, polisi hanya baca pada bagian pengantar surat. Padahal apabila surat itu dibaca secara utuh, tujuan Pdt. Benny Giay sebagai Ketua Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua dan Moderator Dewan Gereja Papua sangat jelas.
“Melalui surat itu, beliau memberitahukan pada 16 Agustus 2021 ini, beliau mau datang mendoakan dan membacakan renungan pagi, keselamatan jemaat tentang masyarakat orang Papua di depan kantor DPR Papua, agar Tuhan Allah menjaga bangsa dan harapan gereja, jemaat jemaat hari ini dan kedepan,” kata Namantus Gwijangge kepada Jubi, Senin (16/8/2021).
Menurutnya, dalam surat itu Pdt. Benny Giay menyampaikan akan berangkat dari Kantor Sinode KINGMI jam 10.00 WP, dengan agenda yang jelas.
“Polisi hanya baca bagian pengantarnya saja. Memang pada saat yang sama di lembaga DPR Papua, ada agenda mendengar pidato kenegaraan dari Presiden. Yang kami sesalkan kenapa polisi masuk sampai di dalam lembaga DP Papua yang merupakan lembaga rakyat,” ujarnya.
Katanya, pihaknya juga sudah menyampaikan bahwa sebagai pimpinan umat, Pdt. Benny Giay mau datang diwaktu yang sama, atau pada peringatan hari rasisme di Papua.
Pdt. Benny Giay akan datang berdoa, menyampaikan refleksi dan harapan ke depan di DPR Papua. Sebab, lembaga dewan mewakili seluruh rakyat Papua.
“Beliau punya umat wakilnya ada sini. Begitu yang kami tangkap. Tadi kami tiga orang sudah bersedia menemui beliau tapi polisi tetap tidak izinkan. Memang polisi sedang melaksanakan tugas, tapi yang saya sesalkan itu polisi masuk sampai di dalam lembaga,” ucapnya.
Ia menambahkan, Pdt. Benny Giay datang ke DPR Papua bukan dengan membawa massa. Tidak membuat onar, dan lainnya.
Mestinya itu menjadi pertimbangan polisi mengizinkan yang bersangkutan bertemu anggota DPR Papua. Apalagi tiga anggota DPR Papua, yakni Namantus Gwijangge, Feryana Wakerkwa dan Nason Uti bersedia bertemu Pdt. Benny Giay.
“Tujuan beliau baik. Daripada bawa massa banyak, ribut ribut, orang demo sana sini kan beliau pakai cara baik. Berdoa, bawa renungan, refleksi sebagai pimpinan umat. Situasi tadi sangat disayangkan. Lain kali itu tidak boleh terjadi,” katanya.
Pdt. Benny Giay berkesimpulan, apa yang dialaminya itu pertanda aparat keamanan semakin represif.
“Mesti ada paradigma baru bagaimana negara dan aparatnya melihat orang Papua,” kata Pdt Benny Giay kepada Jubi, usai dari kantor DPR Papua.
Ia mengatakan, sebagai Ketua Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua, dan Moderator Dewan Gereja Papua, tujuannya datang ke DPR Papua untuk menyampaikan refleksi.
Apa yang menjadi harapan pihak gereja, dan berdoa di gedung wakil rakyat untuk orang Papua, dan para anggota dewan agar dapat memainkan perannya dalam situasi Papua yang makin tak menentu kini.
“Itu landasan saya untuk melakukan refleksi. Menyampaikan harapan sebagai pimpinan gereja [kepada DPR Papua]. Namun, saya diadang polisi di gerbang masuk,” ujarnya.
Katanya, polisi beralasan, DPR Papua sedang melaksanakan agenda nasional. Saat itu para pimpinan dan sejumlah anggota DPR Papua sedang mendengar pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo menjelang 17 Agustus 2021.
Namun ada tiga anggota DPR Papua yang bersedia menerima Pdt Benny Giay. Ia sempat protes terhadap sikap polisi yang tidak mengizinkannya bertemu anggota DPR Papua. Cara itu dinilai tidak benar, sebab ia mewakili umat gereja datang ke kantor wakil rakyat.
Karena dihalangi polisi, Pdt Benny Giay pun tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi tujuannya ke DPR Papua. Ia berpendapat, kepolisian tidak mau memberi ruang kepada pihaknya.
“Bahkan kami dipaksa berdoa di depan mereka (polisi). Saya kira, mereka memang tidak mau kami ada di situ. Tujuan kami hanya menyampaikan refleksi, dan harapan kepada DPRP, agar bisa memainkan perannya mengawal masyarakat ke depan. Menghadapi realitas akan berhadapan dengan tembok negara yang otoriter,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga