Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Masyarakat Tablasupa masih mempertahankan tradisi menangkap ikan dengan cara memancing secara tradisional. Tradisi ini telah dijaga turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Darius, nelayan di sana mengatakan tradisi terus dijaga dengan baik hingga sekarang. Warga tidak diperbolehkan menangkap ikan menggunakan bom maupun pukat yang besar. Sebab itu akan merusak lingkungan laut dan membunuh ikan-ikan yang masih kecil.

“Aturannya ada dan berlaku, baik di laut maupun di hutan. Kalau ada yang pakai maka akan kena sanki adat,” ujarnya.

Kampung Tablasupa terletak di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Papua. Kampung ini bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Ada 532 jiwa penduduk yang bermukim di kampung itu.

BACA JUGA: Pemprov Papua Barat diminta menambah bantuan pondok pinang dan modal kerja

“Rata-rata 95 persen warga pekerjaannya nelayan, sisanya ada yang pegawai dan berkebun,” katanya

Pria 58 tahun tersebut menuturkan, berkat tradisi yang dijaga mereka tidak kekurangan tangkapan ikan. Dalam sehari bisa menangkap hingga 20 kilogram ikan. Bahkan jika musim ikan warga mampu memancing hingga 100 kilogram.

Jenis-jenis ikan yang bisa dipancing warga, antara lain ikan bubara, tenggiri, kembung, kawalina, kakap, dan ikan layar. Hasil tangkapan tersebut sebagian dijual ke pasar Depapre dengan harga Rp50 ribu hingga Rp200 ribu per kilogram. Sebagian tangkapan dikonsumsi bersama keluarga.

“Malam pergi mencari ikan, paginya jual ke Pasar Depapre,” ujarnya.

Selain memancing, kata Darius, warga juga membuat rumpon untuk menangkap ikan. Rumpon biasa dipasang di laut untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul di sekitar rumpon sehingga ikan mudah untuk ditangkap. Menurut Darius pemasangan rumpon dapat meningkatkan tangkapan nelayan. Pendapatan warga pun semakin besar.

“Tangkapan di rumpon itu luar biasa banyak. Satu bulan bisa dapat Rp10 juta. Kalau per tahun bisa Rp50 juta sampai Rp100 juta,” katanya.

Tangkapan ikan yang banyak, menurut Darius, tidak terlepas dari kesadaran warga untuk menjaga wilayah lautnya. Darius mengatakan nelayan dari luar kampung tidak bisa menangkap ikan di wilayah mereka. Jika ada yang menangkap akan dikenakan sanksi adat atau tangkapannya diambil warga.

“Ada yang pernah masuk, kalau nggak salah nelayan dari Jayapura tahun 2013, mereka tangkap di lokasi kami. Kami seret mereka masuk ke para-para adat suruh mereka bayar denda,” ujarnya.

Nelayan lainnya, Yoram mengatakan setiap suku di Tabalasupa memiliki batas-batas wilayah lautnya. Setiap suku hanya diperbolehkan mengambil ikan di wilayah mereka dan tidak boleh menerobos milik suku lainnya.

“Kita tidak boleh menjaring di sembarang tempat yang bukan milik kita,” katanya.

Yoram mengatakan kehidupan warga Tabalasupa tidak terlepas dari laut, sehingga setiap keluarga memiliki perahu. Jika tidak memiliki perahu tidak bisa melaut, sebab rata-rata menghidupi ekonomi keluarga dari hasil laut.

“Kalau tidak ada perahu, tidak bisa kasih makan kelurga ikan,” ujarnya.

Namun, terkadang memakai perahu warga tidak bisa melaut terlalu jauh. Paling jauh warga melaut hingga 3 mil, atau bagi  yang sudah memakai mesin tempel 12 mil. Ia berharap Dinas Perikanan Kabupaten Jayapura maupun Provinsi Papua memberikan bantuan mesin tempel untuk perahu.

“Kita sampai sekarang belum ada dapat bantuan dari pemerintah. Kalau kita melaut dengan perahu jauh-jauh takutnya angin akan kencang bisa terbalik dan terdampar,” ujarnya. (*)

Editor: Syofiardi

Leave a Reply