TERVERIFIKASI FAKTUAL OLEH DEWAN PERS NO: 285/Terverifikasi/K/V/2018

Doktrin NKRI telah ditanamkan pada generasi muda sejak dini

Papua
Dikusi daring "4 Jurnalis Keliling Indonesia Bicara 75 Tahun Indonesia Merdeka dan NKRI Harga Mati" yang digelar Redaksi Jubi pada Senin petang (17/8/2020).

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Dandhy Dwi Laksono, jurnalis yang melakukan perjalanan keliling Indonesia dalam ekspedisi Indonesia Biru pada 2015, menyatakan doktrin NKRI harga mati dan nasionalisme telah ditanamkan dalam benak generasi muda sejak dini.

Pernyataan itu dikatakan Dandhy dalam dikusi daring “4 Jurnalis Keliling Indonesia Bicara 75 Tahun Indonesia Merdeka dan NKRI Harga Mati.”

Diskusi yang digelar Redaksi Jubi dengan moderator Veronica Koman ini, dilaksanakan pada Senin (17/8/2020) petang.

Menurutnya, ada pengetahuan yang ditanamkan dalam sistem pendidikan nasional sejak dini. Ketika itu, yang terbayang adalah Aceh sampai Papua, sudah menjadi bagian Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 jam 10.00 WIB.

Katanya, karena doktrin itu telah tertanam dalam ingatan generasi muda sejak dini, ketika beberapa daerah di Indonesia semisal Aceh, Maluku, Papua dan Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, ini menggangu pola pikir generasi muda.

“Namun seiring waktu dan meningkatnya level pendidikan kita, juga banyak membaca dan mendengar informasi, kita baru tahu kalau Papua bergabung pada 1969, Timor Timur [kini] Timor Leste bergabung pada 1975, dengan cara ini dan itu. Artinya banyak hal yang mesti dipertanyakan,” kata Dandhy Laksono.

Menurutnya, pihak yang melakukan perlawanan selalu di tempatkan sebagai penjahat. Akan tetapi itu wajar, dalam konstruksi negara.

“Saya bisa memahami semua kontruksi sejarah hari ini seperti itu, dan bagian dari doktrin NKRI harga mati berujung eksploitasi,” ujarnya.

Katanya, ketika melakukan ekspedisi Indonesia Biru selama satu tahun bersama Suparta Arz, keduanya melihat keragaman kehidupan komunitas masyarakat di berbagai daerah.

“Perbedaan setiap daerah begitu terasa. Baik dari bahasa, logat, kultur dan lainnya,” ucapnya.

Dalam diskusi yang sama, Farid Gaban yang keliling Indonesia bersama rekannya Ahmad Yunus dalam ekspedisi Zamrud Katulistiwa pada 2009, berpendapat negara tidak pernah menjadi harga mati.

Menurutnya, secara teritorial wilayah Indonesia tidak mati, terus diperluas sejak kemerdekaan 75 tahun lalu.

“Secara teritori negara dan secara politik, bisa berubah-ubah. Misalnya saat Indonesia merdeka Timor Timur dan Papua balum masuk dalam Indonesia,” kata Farid.

Seperti halnya Dandhy Laksono bersama Suparta Arz, Farid Gaban dan Ahmad Yunus juga mendapat berbagai pengalaman saat keliling Indonesia.

Katanya, perjalanannya memperlihatkan betapa negari ini sangat beragam. Di sisi lain ia menikmati keindahan alam Indonesia.

Akan tetapi menurutnya, ada satu problem yang ia lihat yakni kita masih mewarisi cara berpikir Orde Baru. Berorientasi pada pembangunan fisik, dan pertumbuhan ekonomi yang dinilai tidak bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan.

“Alam dan laut adalah kekayaan Indonesia, bukan emas. Kita juga melihat ketimpangan sosial, ketergusuran masyarakat adat. Kita mesti mengubah cara berpikir kita yang masih Jakarta sentris dan diperkuat oleh slogan. Misalnya NKRI harga mati,” ujarnya. (*)

Editor: Edho Sinaga

Baca Juga

Berita dari Pasifik

Loading...
;

Sign up for our Newsletter

Dapatkan update berita terbaru dari Tabloid Jubi.

Trending

Terkini

JUBI TV

Rekomendasi

Follow Us