Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tim penasehat hukum tujuh tahanan politik atau tapol Papua yang tengah menjalani persidangan kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan pada Kamis (20/2/2020) membacakan eksepsi untuk menangkis semua dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam eksepsi itu, tim penasehat hukum ketujuh tahanan politik menyatakan Pengadilan Negeri Balikpapan tidak berwenang mengadili klien mereka, dan meminta ketujuh tahanan politik itu segera dibebaskan.
Ketujuh tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin. Ketujuh tapol itu ditangkap dan dipidanakan pasca sejumlah unjukrasa anti rasisme Papua terjadi sebagai reaksi atas kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.
Ketujuh tapol Papua itu diperiksa oleh tiga majelis hakim berbeda. Pada 11 Februari lalu, jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tujuh surat dakwaan berbeda bagi ketujuh tapol Papua itu. JPU mendakwa ketujuh tapol Papua ini melakukan tindak pidana makar / kejahatan keamanan negara dan penghasutan untuk berbuat pidana dengan melanggar Pasal 106 KUHP, Pasal 107 ayat (1), (2); Pasal 110 ayat (1) KUHP, Pasal 160 KUHP dan Pasal 82A ayat (2), Pasal 59 ayat (3) huruf a, b dan ayat (4) UU Ormas 02 Tahun 2017.
Dalam eksepsi atas dakwaan JPU yang dibacakan Kamis, tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua kembali mempertanyakan kompetensi relatif Pengadilan Negeri Balikpapan untuk mengadili perkara itu. “Pengadilan Negeri Balikpapan tidak berwewenang mengadili perkara tujuh tapol Papua ini, karena tempat kejadian perkara atau locus delicti berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jayapura, Papua,” demikian siaran pers tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua yang diterima Jubi pada Kamis.
Dalam eksepsinya, tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua mempertanyakan Fatwa Mahkamah Agung RI Nomor 167/KMA/SK/X/2019 yang dijadikan dasar Pengadilan Negeri Balikpapan untuk mengadili ketujuh tapol Papua. “Alasan keamanan yang menjadi dalil utama lahirnya fatwa ini juga tidak berdasar karena hingga saat ini kondisi keamanan di wilayah hukum pengadilan Jayapura aman-aman saja. Ini dibuktikan dengan pelaksanaan berbagai sidang, termasuk tersangka lain dalam perkara rasisme juga telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura,” tulis tim penasehat hukum dalam siaran persnya.
Tim itu juga menilai JPU tidak cermat dalam menyusun dakwaan bagi ketujuh tapol Papua. “JPU tidak menguraikan waktu dan tempat kejadian perkara secara cermat, lengkap dan jelas. Misalnya dalam dakwaan Agus Kosai, JPU menjelaskan bahwa ‘…pada waktu yang tidak diketahui sekitar tahun 2008 sampai dengan tanggal 20 Agustus 2019 atau setidak-tidaknya pada tahun 2008 sampai tahun 2019…’ . dakwaan yang tidak diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap ini membuat dakwaan JPU menjadi kabur,” demikian siaran pers itu.
Dalam eksepsi mereka, tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua juga mempersoalkan pemisahan perkara yang dilakukan JPU. Pemisahan berkas perkara itu dinilai melanggar ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
“Dalam dakwaan Agus Kossai JPU mengatakan ia melakuan tindak pidanna bersama-sama dengan Buchtar Tabuni, Ferry Kombbo, Steven Itlay, Alexsander Gobai dan Victor Yeimo. Dalam dakwaan Alexander Gobai JPU mengatakan Alexander Gobai melakukan tindak pidana bersama Hengky Hilapok dan Ferry Kombo. Namum JPU tidak menggabungkan perkara mereka dalam satu berkas perkara,” tulis tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua.
Mereka mendesak majelis hakim harus mampu melihat perkara ketujuh tapol ini secara luas, yaitu bahwa perkara ketujuh tapol ini bersangkut paut dengan persoalan rasisme yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI dan Ormas tertentu di Kota Surabaya pada tanggal 15 dan 16 Agustus. Selain itu, juga ada masalah persoalan sejarah politik Papua yang menjadi persoalan konflik berlarut di Papua yaitu kebanyakan orang Papua masih mempersoalkan status politik papua dalam NKRI yang membuat mereka terus berjuang menuntut hak-hak politik mereka, serta persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Papua.
“Kami mohon majelis hakim menerima eksepsi itu, dan menyatakan proses pemeriksaan pendahuluan terhadap tujuh tapol Papua ini adalah cacat hukum. Kami meminta majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Balikpapan tidak berwenang mengadili perkara itu, serta menyatakan surat dakwaan tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap. Kami memohon majelis hakim membebaskan semua tahanan politik dari dalam tahanan, dan merahabilitas nama baik mereka,” demikian siaran pers tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G