Papua No.1 News Portal | Jubi
Meskipun membayangkan hal itu membuatnya takut, Elizabeth Margaret Titifanua mulai merasa bahwa melahirkan bayinya di atas kapal mungkin adalah opsi yang paling aman baginya dan anaknya.
Ibu muda yang berusia 30 tahun dari Fiji tersebut sedang mengandung anaknya yang kelima dan ia takut akan melahirkan di tengah wabah Covid-19 yang kian memburuk di negara Pasifik itu.
Kasus-kasus Covid-19 terus menyebar di fasilitas-fasilitas kesehatan utama dan virus itu juga beredar di antara staf rumah sakit dan tenaga kesehatan, menambah tekanan pada Titifanua yang rencananya akan melahirkan pada bulan depan.
“Itu membuat sehingga saya tidak ingin pergi ke rumah sakit,” katanya.
Baru-baru ini pejabat dari Kementerian Kesehatan Fiji mengakui bahwa penularan Covid-19 di sana itu ‘meluas’, dengan rata-rata satu minggu terakhir mencapai 250 kasus per hari.
Lima belas orang sudah meninggal dunia akibat Covid-19 sejak gelombang kedua pandemi menyerang negara itu sejak April lalu.
Dua rumah sakit terbesar di sana telah diubah menjadi fasilitas kesehatan khusus Covid-19, sementara beberapa rumah sakit lapangan dadakan telah didirikan untuk menangani keadaan darurat medis lainnya yang tidak lagi bisa ditangani di RS.
Akibatnya, saat ini, proses persalinan dilakukan di atas kapal kesehatan atau rumah sakit apung yang bernama MV Veivueti. Pelayanan medis diatas kapal tersebut disediakan oleh setidaknya empat bidan yang kembali diberdayakan sejak Mei lalu, setelah sempat pensiun selama beberapa waktu, untuk memberikan bantuan yang sangat diperlukan selama wabah itu pecah di Fiji.
Titifanua, yang pingsan berulang kali dan kehilangan banyak darah pada saat ia melahirkan anaknya yang keempat, merasa diabaikan sementara tenaga-tenaga kesehatan bersusah payah untuk menyediakan layanan kesehatan bagi pasien Covid-19.
“Dengan kehamilan kelima ini, sangat sulit karena saya tidak bisa pergi ke klinik yang layak akibat wabah yang terjadi di negara ini sekarang,” jelasnya. “Saya merasa seperti saya terasingkan dan tidak didengarkan.”
Titifanua bukan satu-satunya perempuan hamil yang merasakan hal ini. Beberapa ibu hamil lainnya dari Fiji juga telah menghubungi ABC untuk mengungkapkan rasa takut mereka akan pelayanan kesehatan yang mereka terima selama wabah Covid-19 terbaru di Fiji.
Ibu hamil lainnya, Ana (bukan nama sebenarnya), yang sedang hamil 39 minggu dengan anak keduanya mengutarakan bahwa dokter yang biasanya memeriksa dia itu sudah diisolasi setelah ditemukan pernah memiliki kontak dengan pasien Covid-19.
Dia tidak ingin menggunakan nama aslinya karena dia bekerja untuk sebuah kementerian dalam pemerintahan, ia khawatir akan dihukum jika dia angkat bicara.
“Saya kembali ke titik awal, dan saya tidak tahu siapa yang akan membantu persalinan saya,” tuturnya. “Saya akan terus menekankan betapa takutnya saya.”
Fasilitas kesehatan bersiap-siap untuk peningkatan jumlah pasien-pasien yang menderita penyakit parah
Ketika jumlah diagnosa Covid-19 terus melonjak, berlipat ganda setiap sembilan hari, kepala bagian perlindungan kesehatan pemerintah, Aalisha Sahukhan, dengan gamblang menekankan bahwa ”semua buktinya menunjukkan bahwa ada penularan yang meluas di masyarakat”.
“Dengan meningkatnya jumah kasus, kami juga memperkirakan akan ada peningkatan dalam pasien-pasien yang menderita penyakit parah dan meninggal dunia,” ucapnya.
“Meskipun pada tahap ini di semua rumah sakit kami masih memiliki kapasitas untuk menangani penyakit-penyakit yang parah, dari apa yang telah kami saksikan di negara-negara lain dimana penularan masyarakat yang meluas juga terjadi selama pandemi ini, ini adalah kemungkinan yang sangat nyata dan kami sedang mempersiapkan diri untuk kemungkinan ini.”
Dr. Pushpa Nusair, seorang dokter kandungan senior yang bekerja untuk sebuah rumah sakit swasta di Fiji mengatakan banyak ibu hamil yang merasa stres dan kewalahan dengan perawatan antenatal yang mereka terima selama wabah Covid-19.
“Mereka merasa sangat takut, sangat resah,” tuturnya.
Namun dia juga mendesak para bumil agar tidak mempertimbangkan melahirkan di rumah mereka jika ingin menghindari fasilitas umum, karena “akses transportasi dan jalan raya di Fiji itu membuat keadaan lebih sulit”.
Pihak berwenang di Fiji terus menolak desakan untuk karantina wilayah tingkat nasional, dimana Sekretaris Tetap Kementerian Kesehatan, dr. James Fong, menjelaskan bahwa tingkat kepatuhan publik di Fiji itu rendah sementara pihak berwenang tidak memiliki kemampuan untuk menegakkan karantina tersebut, terutama di pemukiman kumuh dengan penduduk padat dimana risiko penularannya paling tinggi.
“Realitasnya yang tragis adalah bahwa orang-orang Fiji yang tinggal di komunitas yang paling rentan terhadap virus Corona – termasuk mereka yang tinggal di pemukiman liar – juga merupakan mereka yang paling rentan terhadap bencana sosial ekonomi yang akan terjadi jika pemerintah menerapkan karantina wilayah selama 28 hari,” katanya. “Bahkan di bawah pembatasan yang begitu ketat, kami percaya virus akan terus beredar di banyak komunitas yang rentan seperti itu.”
Fiji tidak melaporkan kasus Covid-19 di masyarakat sama sekali selama setahun hingga April lalu, ketika bangsa itu dilanda gelombang kedua dari varian Delta yang menyebar cepat setelah pertama kali diidentifikasikan di India.
Strategi pemerintah Fiji saat ini adalah menerapkan karantina wilayah tingkat lokal untuk membatasi penyebaran virus Cocona sambil terus memvaksinasi populasinya.
Dr. Fong mengumumkan bahwa sudah 6% warga Fiji yang telah sepenuhnya divaksinasi, dan 49% dari populasi target telah menerima dosis pertama mereka. (ABC News/ AFP)
Editor: Kristianto Galuwo