Corona ingatkan kitorang makan ipere dan buah merah 1 i Papua
Bocah Papua dan buah merah, menanti pembeli – Jubi/tempo.co.id

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Ada suatu kebiasaan dari anak anak kampung di Teluk Cenderawasih wilayah adat Saireri jika batuk dan pilek harus turun mandi ke laut. Orangtua zaman dulu percaya kalau air asin mampu mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh. Memang ini hanya sebuah tata cara lama yang telah terjaga secara turun temurun dan dari generasi ke generasi.

Begitupula anak-anak di pegunungan mereka memakan ipere (petatas/ubi manis) mentah untuk mengganjal perut mereka, sebagai kebiasaan saat bermain perang-perang di alang lokop. Lokop sendiri dikenal sebagai sejenis bambu yang untuk dipakai membuat anak panah. Ternyata hidup dekat dengan alam melahirkan daya tahan tubuh bagi generasi muda zaman dulu. Selalu bergerak tanpa harus duduk bermain game dan memegang handphone di kiri- kanan tangan.

Du Bray seorang kepala suku Indian dari Black Hills South Dakota Amerika Serikat mengatakan masalahnya adalah pandangan hidup tentang manusia lebih unggul dari makhluk lain.

“Bahwa manusia berada di atas dunia hewan dan berada di antara dunia hewan dan Tuhan, dan selalu berusaha menjadi tuhan-tuhan kecil. Semua ini menimbulkan kerusakan pada spesies lain, karena spesies lain dianggap lebih rendah. Dan spesies lain dibasmi setiap hari, begitu spesies-spesies itu musnah dan manusia pun ikut hilang,” kata Dubray sebagaimana ditulis Aubry Wallace, dalam bukunya berjudul Green Mean : Living Grently on The Planet.

Padahal suku Indian pertama kali memakai tanaman kina di kawasan Amerika Selatan, negara Peru. Pasalnya mereka percaya kulit kayu kina diminum untuk melawan penyakit malaria. Dukun dari suku Indian menguliti pohon kina dan direbus menjadi minuman yang pahit rasanya sehingga menyembuhkan penyakit malaria.

Orang-orang Papua juga punya kebiasaan meminum air daun pepaya rebus. Daunnya diperas dan airnya diminum untuk obat penangkal malaria. Pepaya merupakan tanaman buah-buahan yang berasal dari suku Caricaceae, yang dimanfaatkan untuk obat malaria adalah daunnya.

Peneliti buah merah dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Cenderawasih, I Made Budi, kepada Jubi mengatakan pertama kali meneliti buah merah karena melihat kondisi masyarakat di pedalaman badannya kekar dan kulitnya licin. Setelah meneliti lebih dalam ternyata buah merah memiliki manfaat besar untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Para peneliti melihat manfaat buah merah atau Pandanus conoideus bagi kesehatan karena terkandung berbagai nutrisi penting yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti protein, kalori, karbohidrat, lemak sehat, dan anti oksidan seperti vitamin E, vitamin C, alfa-karoten, beta karoten, dan zat warna antosianin.

Dikutip dari www.sehatq.com menyebutkan tingginya kandungan beta-karoten pada buah merah juga membawa sejumlah manfaat. Beta-karoten merupakan salah satu jenis antioksi dan yang mampu melindungi tubuh dari efek radikal bebas, sehingga dapat membantu memelihara kesehatan kulit, mengurangi risiko kanker, dan penyakit mata degenerasi makula.

Belum lagi ubi ungu atau petatas ungu. Di dunia kesehatan ubi ungu dapat melawan berbagai penyakit, mulai dari sakit mata hingga kanker. Ubi dikenal dengan bentuk dan warna dagingnya yang beraneka ragam, mulai dari kuning kehijauan, oranye, hingga ungu. Warna ungu pada ubi terjadi karena tanaman golongan umbi-umbian ini kaya akan zat yang bernama anthocyanin yang aman dikonsumsi oleh manusia sehingga ubi ungu banyak diolah menjadi pewarna alami pada makanan.

Selain anthocyanin, ubi ungu juga mengandung nutrisi lain yang sangat berguna bagi tubuh, misalnya kalori, karbohidrat, serat, protein, vitamin, dan mineral. Ketika terjadi bencana kelaparan di Wamena, ada upaya membuat bubur dari tepung ipere secara manual.

Sayangnya upaya mengangkat makanan tradisional hilang ditelan jaman atas nama beras miskin pengganti karbohidrat lokal atau pangan lokal, petatas (ipere), sagu, dan keladi. Pasalnya pangan lokal lebih mahal ketimbang beras miskin sehingga kebiasaan berkebun keladi, petatas, dan menokok sagu semakin sedikit karena perubahan pola makan. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Leave a Reply