Bupati sebut presiden mencabut izin perusahaan sawit termasuk di Kabupaten Jayapura

Bupati sebut presiden mencabut izin perusahaan sawit termasuk di Kabupaten Jayapura 1 i Papua
Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, saat diwawancara di Kampung Wahab. -Jubi/Engel Wally

Papua No.1 News Portal | Jubi

Sentani, Jubi – Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo, telah mencabut sejumlah izin perusahaan sawit di Papua termasuk di Kabupaten Jayapura.

Read More

Awaitauw menyampaikan, dua dari lima perusahaan sawit yang izinnya telah dicabut di antaranya PT Matoa Lestari dan PT Rimba Nusantara. Pemerintah pusat memiliki alasan tersendiri untuk mencabut semua izin usaha sawit di Papua dan khususnya di Kabupaten Jayapura.

“Pemerintah Kabupaten Jayapura saat ini mendorong penataan kawasan dan pemetaan wilayah adat, agar semua izin usaha atas potensi sumber daya alam yang dimiliki di masing-masing kampung diberikan oleh masyarakat adat sendiri atau disebut izin komunal,” ujar Bupati Mathius di Kampung Wahab, usai acara pelantikan tujuh kepala kampung di wilayah pembangunan empat, Senin (7/3/2022).

Menurut bupati, urusan perizinan seperti perusahaan sawit yang beroperasi di daerah ini, semuanya melalui pemerintah provinsi dan pusat, oleh sebab itu langkah yang sudah diambil dengan pencabutan izin harusnya dituntaskan, hingga tidak ada perusahaan yang beroperasi dengan alasan apa pun.

Masyarakat adat dengan segala bentuk aturannya selama ini, kata dia, kesulitan untuk membuktikan ketika ada persoalan yang dibawa ke pengadilan. Karena masyarakat adat hidup dengan aturan yang tersirat dan itu berlangsung turun temurun, bahkan tidak ada dokumen tertulisnya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Jayapura melalui Gugus Tugas Masyarakat Adat sedang dalam proses pemetaan batas-batas kepemilikan hak ulayat dari setiap kampung.

“Kami juga sudah punya perda masyarakat hukum adat, tetapi dalam waktu dekat perda tersebut akan direvisi terkait data-data pemetaan wilayah adat, serta batas-batas kepemilikan wilayah atas hak ulayat,” katanya.

Setelah perda masyarakat hukum adat direvisi, lanjut Awoitauw, perda dan semua hasil pemetaan wilayah adat akan dibawa ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Badan Pertanahan Nasional untuk disahkan, agar kampung memiliki dokumen wilayah kampung atas dasar hukum yang tetap.

“Dengan demikian, semua sistem pengelolaan atau kerja sama dalam pembangunan dengan masyarakat adat, akan disepakati dan diberi izin tertulis oleh masyarakat adat di masing-masing kampung.”

“Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah misalnya hanya sebatas pembukaan lahan, perusahaan yang bersangkutan tidak bisa mengambil hasil kayu dari dalam hutan tersebut untuk dijual keluar. Hal-hal seperti ini yang tidak boleh dilakukan di Papua, khususnya di Kabupaten Jayapura. Karena hutan ini sudah menjadi tempat utama masyarakat adat menghidupi diri mereka,” tambahnya.

Sementara itu, Rosita Tecuari, Ketua Organisasi Perempuan Adat Namblong mengatakan, pembukaan lahan oleh perusahaan sawit saat ini seluas 8.000 hektare, dan ini sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat adat, satwa endemik, dan tempat mencari nafkah bagi masyarakat adat khususnya Suku Tecuari, Benef, dan Waisimon.

“Hutan kami berada tepat di tengah hutan masyarakat adat lain, yang sudah dibuka menjadi kebun sawit. Sebelah utara hutan ada laut, sebelah selatan menuju pegunungan dan bagian timur ada hak ulayat masyarakat Yapsi dan Lereh, yang sebagian besarnya sudah menjadi kebun sawit. Kami tidak mau hutan kami menjadi kebun sawit,” ucapnya. (*)

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply