Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Grets Walilo
Dahulu kala, di suatu desa dekat Danau Habema, Puncak Trikora Wamena, hiduplah sepasang saudara. Mereka hidup dengan tentram bersama keluarganya. Para penduduk desa pun sangat ramah kepada mereka satu sama lain.
Desa ini terkenal akan ketaatan mereka pada adat-istiadat serta betapa teguh keyakinan mereka pada hal-hal mistis. Keyakinan tersebut lebih kepada arwah nenek moyang mereka dan kepercayaan animisme.
Suatu hari, sang kepala suku hendak membuat pesta babi besar-besaran yang dinamai ewe ako. Pesta ini merupakan tradisi turun-temurun masyarakat suku Hubula yang diadakan setiap lima tahun sekali. Tujuan pesta ini adalah untuk menyelesaikan semua hutang dan masalah-masalah internal desa dengan menggunakan babi dalam pesta ini. Sehingga, mereka memutuskan untuk membuat pesta itu.
Sepasang kakak-beradik ini pun mengambil bagian untuk membantu mengumpulkan sayur-sayuran di hutan terdekat. Mereka menjelajahi hutan terdekat hingga sampailah mereka tepat kaki Gunung Trikora.
Puncak Trikora atau Hirip akup adalah tempat yang cukup sakral. Ada sebuah larangan untuk tidak membuang sampah, hajat, ataupun mengotori daerah sekitar.
Setelah berhasil mengumpulkan banyak sayur-mayur, sang adik merasa mules. Kakak perempuannya memperingatkan dia akan larangan yang ada.
“Tahan saja, tunggu saat kita kembali ke desa,” katanya.
Namun, sang adik laki-laki sudah tidak dapat menahannya lagi. Singkat cerita, dia pergi ke salah satu semak-semak untuk membuang hajat.
Setelah merasa lega, dia memutuskan untuk menyeka bokongnya. Dilihatnya pun di sekeliling, dedaunan itu begitu kecil. Sebenarnya ada beberapa sayur yang telah dia kumpul, hanya saja, sayur-sayur itu untuk dimakan.
Setelah berpikir dia melihat beberapa batu yang tersusun rapi di dekat kaki gunung. Dibersihkanlah bokongnya di salah satu batu.
Pada saat bokongnya telah bersih, dia hendak berdiri, namun tidak bisa.
“Kakak!” Serunya dengan kencang.
Dia terus mencoba untuk menarik pantatnya.
“Kakak, tolong!!” Teriaknya sambil menangis dengan kencang.
Kakak perempuannya lantas berlari dengan cepat ke arah dimana suara itu berasal.
Ketika dia tiba, dia hanya dapat menatap adik laki-lakinya dengan pilu. Dia sadar, bahwasannya sudah tidak ada jalan keluar bagi dia.
Gadis itu menangis sambil memeluk adiknya. Setelah selang beberapa jam, dia pun meninggalkan adiknya. Anak itu telah menjadi satu dengan alam karena dia melanggar adat yang ada. Alam akan mengambil dan melawan siapa pun yang menentangnya.
Dikala anak itu merasa dingin, dia akan menangis, dan saat dia menangis, maka akan terjadi hujan dan penurunan suhu yang drastis di kampungnya serta di setiap kampung di Wamena.
Konon beberapa orang dapat mendengarkan suara anak itu di kala ia menangis. Namun, dia tidak akan mengusik setiap orang. Dia hanya akan mengubah temperatur daerah sekitar.
Ada banyak sekali pintu-pintu di dunia. Pintu yang kita masuki adalah pilihan kita sendiri. Pilihlah dengan baik dan bijak karena kita tidak pernah tahu kemana pintu itu akan membawa kita. (*)
Penulis adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih. Cerita ini merupakan cerita favorit ke-3 (juara 6) pilihan juri lomba penulisan cerita rakyat dalam rangka HUT ke-18 Jubi
Editor: Timo Marten