Ilustrasi – Jubi. Dok

Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Akhir-akhir ini, rencana pemekaran Papua sudah mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo. Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ada dua aspirasi yang masuk untuk pemekaran wilayah Papua, yakni di kawasan Papua selatan dan Papua pegunungan.

Namun, dari kedua kawasan itu, yang sudah siap menjadi provinsi baru adalah Papua Selatan. Adapun wilayah Papua Selatan itu meliputi Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel.

“Pemerintah pusat kemungkinan mengakomodir hanya penambahan dua provinsi. Ini yang sedang kami jajaki. Yang jelas, Papua Selatan sudah oke,” kata Tito dikutip dari Liputan6 31 Oktober 2019. Tito mengatakan, sebetulnya pemerintah pusat menerima 183 usulan pemekaran dari pemerintah wilayah (daerah), tapi anggaran terbatas sehingga pemerintah harus melakukan moratorium sementara.

Namun, pemerintah memberikan pengecualian kepada Papua. Usulan pemekaran ini pun didengar langsung oleh Presiden Jokowi saat berkunjung ke wilayah Pegunungan Arfak (Beritatagar.id, 31 Oktober 2019).

Mengenai kemungkinan munculnya reaksi daerah lain jika pemekaran Papua diproses saat ini, Tito mengingatkan, usulan pemekaran Papua ini bersifat situasional. Pertimbangan kebijakan ini menggunakan dasar data intelijen dan data lapangan.

Sebenarnya, usulan pemekaran dari Papua ini sudah lama muncul. Pada 2013, rapat paripurna DPR menyepakati usulan pemekaran daerah baru, baik tingkat provinsi, maupun kota/kabupaten.

Dari Papua muncul ide pembentukan Provinsi Papua Selatan dan Papua Tengah, yang dimekarkan dari Provinsi Papua. Juga Provinsi Papua Barat Daya, yang berasal dari Provinsi Papua Barat. Sedangkan tingkat kabupaten, muncul 28 kabupaten/kota baru di dua provinsi di Papua.

Namun, usulan itu terhenti lantaran tidak ada titik temu antara gubernur dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Usulan pemekaran wilayah Papua kembali mencuat ketika Jokowi menerima 61 orang perwakilan Papua dan Papua Barat di istana negara, Jakarta, pasca kerusuhan yang pecah di beberapa titik di Bumi Cenderawasih, 10 September 2019.

Merujuk pada amanat undang-undang yang menyebutkan Tanah Papua seharusnya memiliki empat provinsi, tetapi sampai saat ini baru ada dua provinsi di sana, yakni Papua dan Papua Barat.

Dalam menanggapi aspirasi pemekaran provinsi di Papua, banyak kalangan yang menilai, bahwa hal ini akan membawa persoalan baru bagi orang Papua. Salah satunya datang dari MRP (Majelis Rakyat Papua). Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan, pihaknya menolak seluruh aspirasi pemekaran provinsi yang ada saat ini, kecuali memproses yang sudah masuk.

Adanya aspirasi pemekaran Provinsi bukan satu-satunya obat untuk membunuh penyakit orang Papua atau bukan solusi mensejahterakan orang asli Papua, sehingga usulan pemekaran, terutama provinsi dari manapun secara tegas ditolak (Jubi.co.id, 7 November 2019).

Berbagai persoalan di Papua belum diselesaikan secara baik dan benar. Muncul lagi satu gagasan pemekaran yang mengatasnamakan kesejahteraan dan proses percepatan pembangunan di seluruh NKRI.

Ada apa dengan semua ini? Namun kenyataan ini adalah sebuah paradoks yang menyelimuti setiap anak Negeri Cenderawasih.

Bila boleh dikatakan, satu persoalan belum selesai disodorkan satu permasalahan baru. Benarkah pemekaran akan membawa dampak kesejahteraan dan percepatan pembangunan di Papua?

Bila dikaji dari berbagai aspek di Papua, maka boleh dikatakan saat ini dampak kesejahteraan itu belum dirasakan semua warga Papua.

Ada pelbagai persoalan yang belum terselesaikan dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Persoalan kekerasan yang mengatasnamakan keutuhan negara, otsus (otonomi khusus) yang hanya ada untuk segelintir orang, PT Freeport Indonesia yang sekian lama beroperasi di Papua tapi tidak mempunyai dampak yang efisien dalam kesejahteraan orang Papua, pendidikan yang belum layak, penyelesaian pelanggaran HAM, pengrusakan hutan secara besar-besaran karena investasi, dan berbagai persoalan lainnya.

Haruslah ini dilihat sebagai persoalan mendasar yang harus diselesai secara baik dan benar oleh pemerintah. Kalau masalah-masalah ini dilupakan, maka tidak ada bedanya (dengan tanpa pemekaran), karena pemekaran akan terus menciptakan persoalan baru untuk negeri ini.

Kenyataan menunjukkan bahwa kebijakan kita masih menghadirkan sejuta misteri di atas cita-cita dan idealisme. Masyarakat Papua membutuhkan kepastian kesejahteraan sebagai bagian yang melekat pada setiap manusia. Hal ini bertujuan agar warga Papua dapat menggapai rasa aman dan keadilan di atas tanahnya sendiri.

Di sisi lain, masyarakat pun membutuhkan rasa keadilan, kesejahteraan, bebas berekspresi, dsb. Ketika ketidakadilan, kekerasan dan kebijakan terselubung dilindungi oleh mereka yang berkuasa dan atas kepentingan pribadi yang berlaku, maka kebijakan pembangunan akan merusak kesejahteraan tersebut.

Kisah persoalan kemanusiaan di Papua mestinya menjadi tolok ukur. Hal yang terjadi di Papua ini mestinya menjadi keprihatinan utama di NKRI, tanpa melihat keprihatinan faktor-faktor yang lain. Hukum mestinya melindungi orang-orang yang lemah dan tak berdaya.

Orang Papua membutuhkan hukum yang benar-benar menjamin kebebasan, keadilan dan kenyamanan akan hak asasi manusia, yang pada intinya melepaskan segala kepentingan pribadi, golongan maupun atas nama keutuhan suatu bangsa.

Pemekaran semestinya tidak perlu terjadi di Papua. Yang mesti dibuat oleh pemerintah pusat ialah menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang terjadi di Papua. Sesungguhnya kalau ini diselesaikan secara baik, maka sebenarnya kesejahteraan dan percepatan pembangunan itu bisa dirasakan oleh warga Papua. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua