Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, Yakobus Murafer, menilai wacana Presiden Jokowi melanjutkan masa kepemimpinan, bagian dari anomali demokrasi. Melanggar perundang-undangan.
“Sebab untuk regenerasi kepemimpinan terutama untuk jabatan seorang presiden itu harus mengacu pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berhasil melakukan amandemen undang-undang bahwa periodesasi masa jabatan presiden itu hanya 2 periode. Sedangkan wacana yang berkembang hari ini yang digelontorkan oleh partai pendukung koalisi presiden Jokowi,” katanya kepada Jubi melalui sambungan selulernya, Kamis (17/3/2022).
Muraver Mengatakan, para pendukung Jokowi harus berhati hati dalam berkomunikasi kepada publi. Sebab wacana seperti ini bisa berdampak signifikan di daerah, karena akan muncul aspirasi yang sama di setiap daerah. Akan ada pergantian pimpinan daerah dan ada juga masa jabatan akan berakhir.
“Sehingga kami khawatirkan bahwa tuntutan di daerah akan bermunculan.Kalau pemilu ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang.Sehingga akan terjadi polemik yang sama di berbagai daerah. Meminta tuntutan diperpanjang juga atau gubernur sekarang atau bupati diperpanjang sampai pemilihan kepala daerah berikut,” katanya.
Apabila wacana ini dipraktikkan di daerah, menurutnya akan menunjukan kemunduran negara kita dalam konteks berdemokrasi.
“Pemerintah Indonesia harus menjaga negaranya sebagai negara demokrasi terbesar. Karena jika tidak akan menjadi sorotan dari berbagai pihak,”katanya.
Menurutnya, konteks Papua saat ini perlu berpikir bijaksana.Sebab polemik di pusat itu bukan apa yang dipikirkan di tanah Papua. Hari ini yang diperlukan orang Papua dari pemerintah pusat adalah soal pembangunan.
“Meskipun presiden diganti, tetapi masih ada pekerjaan rumah. Yaitu proses pembangunan politik dan pembangunan manusianya,” katanya.
Muraver mengatakan, problem soal perpanjangan masa jabatan kepala daerah, tidak bisa dibicarakan segelintir orang. Karena ada aturan tentang hal itu.
“Kalau mau melanjutkan atau pemilu ditunda, harus amandemen terlebih dahulu. Tidak bisa berdasarkan keinginan sekelompok orang.Ini sebuah keniscayaan juga. Apabila sebuah aspirasi itu ditanggapi seperti itu, tidak mungkin direspons karena ada mekanisme yang mengatur sehingga wajib hukum semua pihak harus memamtuhi amandemen tahun 1999,” katanya.
Muraver meminta kepala daerah di Papua juga harus menahan diri.“Kalau mau maju lagi pada kontestasi politik, silahkan mengikuti aturan yang ada dan menyusun strategi yang baik untuk menyenangkan hari masyarakat,” katanya.
Muraver mengatakan, wacana itu membentuk pro kontra di masyarakat. Sebaiknya hindari polemik. Masyarakat juga harus cerdas menyikapinya.
“Jalan satu-satunya tokoh tokoh adat, pemerintah juga harus memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Kalau bisa wacana wacana seperti ini diredam dan memberikan informasi yang baik kepada masyarakat, agar tidak salah dalam mengonsumsi informasi,” katanya.
Di pihak lain, Koordinator Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se- Indonesia, (AMPTPI) Wilayah Indonesia Timur, Hengky Mote pemerintah provinsi dan DPRP, MRP harus menjadi teladan yang baik.
“Kami melihat yang menjadi aktor terkadang dari kepala daerah, hal yang sama sedang terjadi di Jakarta,” katanya. (*)
Editor: Syam Terrajana