TERVERIFIKASI FAKTUAL OLEH DEWAN PERS NO: 285/Terverifikasi/K/V/2018

Akademisi Lapago: DOB itu keinginan Jakarta, bukan kebutuhan Papua

papua
 Ilustrasi - Dok. Jubi

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Wamena, Jubi – Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Management Informatika dan Teknik Komputer atau STIMIK Agamua, Marthen Medlama menyatakan rencana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Daerah Otonomi Baru bukanlah kebutuhan Papua. Medlama menilai pembentukan provinsi baru di Tanah Papua tidak akan memenuhi kebutuhan Orang Asli Papua untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, atau meningkatkan kesejahteraannya.

Hal itu dinyatakan Marthen Medlama di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Jumat (11/3/2022), menanggapi wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk provinsi baru di Wilayah Adat Lapago. Medlama justru meyakini pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) itu akan menjadi masalah baru yang mengancam kelangsungan hidup Orang Asli Papua (OAP).

“Saya dengan tegas mengatakan bahwa pemekaran tak mampu mengurangi bahkan memberantas kemiskinan. Sebaliknya, [pemekaran justru] akan menciptakan berbagai masalah sosial, dan rakyat asli Papua akan bertambah miskin dengan sistem yang dibangun oleh pemerintah. Korelasi antara adanya DOB dengan berkurangnya kemiskinan masyarakat, khususnya masyarakat pribumi itu sangat kecil,” kata Medlama.

Baca juga: Demo di Jayawijaya, masyarakat sebut pemekaran hanya keinginan elite

Medlama menyatakan sistem yang dibangun pemerintah memang tidak berpihak kepada OAP. Bahkan, Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang diberikan pemerintah dengan tujuan meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan OAP juga telah terbukti gagal mencapai tujuan itu.

Selama 20 tahun, pemerintah pusat memberikan Dana Otsus Papua, tetapi dana itu hanya sampai kepada kelompok tertentu saja. Medlama menyatakan OAP justru hanya menjadi “pelengkap penderita” dalam pelaksanaan Otsus.

Medlama merujuk data pemberitaan Kompas pada 3 Maret 2022, yang menyebut 27,38 persen penduduk Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan. Medlama mempertanyakan aliran Dana Otsus Papua, yang notabene dikelola OAP yang berada dalam sistem pemerintahan, namun gagal memperbaiki kesejahteraan warganya.

Baca juga: Ini pernyataan sikap Solidaritas Mahasiswa Bersama Rakyat Papua Tolak DOB Pemekaran

“Rasanya lucu karena ternyata kegagalan Otsus bukan hanya disebabkan oleh sistem negara yang sangat tidak adil, tetapi juga ditentukan oleh orang Papua sendiri, khususnya mereka yang memiliki kekuasaan,” kata Medlama.

Medlama pun mengkritik niat Jakarta untuk terus melanjutkan Otsus Papua dan pemekaran. Ia menyatakan jika Otsus Papua Jilid 1 gagal—ditandai dengan berakhirnya jangka waktu kucuran 2 persen plafon Dana Alokasi Umum Nasional  sebagai diatur Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) berakhir pada 2021—mengapa pemerintah melanjutkannya dengan Otsus Papua Jilid 2?

Moderator Dewan Gereja Papua, Dr Benny Giay, mengatakan tidak ada jaminan revisi Otsus Papua melalui pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) dan program ikutannya bisa menjawab harapan OAP. Menurutnya, nasib OAP akan tetap sama dengan masa Otsus Papua Jilid 1 pada 2001 – 2021.

“Kondisi yang ada saat ini, yang kami lihat, [yang] rakyat Papua lihat, [yang] wartawan catat tentang realisasi Otsus Papua hari ini, [itu akan] mengantar kita menatap ke depan [akan] seperti apa,” kata mantan Ketua Sinode Gereja KIGMI Papua itu.

Pemekaran menambah migran

Marthen Medlama menyatakan rencana pemekaran Provinsi Papua ganjil, karena jumlah penduduk Papua sangat sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua mengumumkan hasil Sensus Penduduk 2020 pada September 2020 mencatat ada 4,3 juta jiwa penduduk Papua. Jika Provinsi Papua dimekarkan untuk membentuk tiga provinsi baru, maka jumlah penduduk di masing-masing provinsi akan sangat sedikit.

Medlama memperkirakan pembentukan DOB seperti provinsi baru justru akan memicu pemerintah membuat kebijakan untuk mendatangkan penduduk dari luar Papua ke provinsi baru. OAP tidak akan bisa menolak kebijakan untuk mendatangkan penduduk dari luar Papua itu, karena pemerintah akan menggunakan dalih pemenuhan kebutuhan pekerja di provinsi baru.

Baca juga: Kapolresta Jayapura: pembubaran demo pemekaran sudah sesuai prosedur

Hal itu akan mengancam keberadaan OAP, karena justru membuat OAP menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Jika migran menjadi mayoritas penduduk di Papua, kehidupan OAP akan semakin termarjinalisasi.

“Akan ada tahapan selanjutnya adalah dropping manusia untuk menambah jumlah penduduk di beberapa provinsi yang [baru dibentuk]. Hasil akhirnya adalah OAP akan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri,” Medlama.

Tokoh Papua asal Lembah Baliem, Markus Haluk mengatakan pengiriman pendudukan dari luar Papua pasti akan terjadi. Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) itu menyatakan sejarah telah mencatat bahwa pengiriman penduduk telah mengubah komposisi penduduk beberapa daerah di Papua. Haluk menyebut komposisi penduduk Kota Jayapura sebagai ibu kota provinsi Papua telah menjadi bukti dari hal itu.

Baca juga: Masyarakat Lapago: Pemekaran untuk siapa?

Kata dia, pada tahun 1962, pendudu Port Numbay (nama lain Kota Jayapura) tidak lebih dari 4 ribu orang. Hingga tahun 1970-an, jumlah penduduk di Port Numbay tidak lebih dari 5 ribu orang. BPS mencatat hasil Sensus Penduduk 2020 pada September 2020 menunjukkan jumlah penduduk Kota Jayapura telah mencapai 398.478 jiwa.

“Dari jumlah tersebut orang asli Port Numbay hanya 9 ribu,” kata Markus Haluk. Haluk juga menyatakan penduduk asli atau OAP telah menjadi penduduk minoritas di Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, dan Nabire di Provinsi Papua, serta Kabupaten Fak-Fak, dan Kota Sorong di Provinsi Papua Barat.

Haluk pun meyakini perubahan komposisi penduduk yang membuat OAP menjadi minoritas juga akan terjadi jika Provinsi Papua dimekarkan untuk membentuk provinsi baru di Wilayah Adat Lapago. “Selanjutnya, siap-siap untuk kabupaten Lapago dan Mepago, penduduk asli menjadi minoritas,”tegasnya.

Papua tidak butuh pemekaran, tapi butuh perbaikan kualitas hidup

Marthen Medlama menyatakan Provinsi Papua tidak membutuhkan pemekaran, karena ia menilai pemekaran provinsi tidak akan memperbaiki kualitas hidup OAP. Medlama menyatakan pengalaman Otsus Papua Jilid 1 pembentukan DOB tidak menjamin peningkatan pelayanan dasar bagi OAP, seperti pelayanan pendidikan misalnya. “Pengalaman adalah guru terbaik,”ungkap pria yang pernah menempuh pendidikan master di Selandia Baru itu.

Medlama menegaskan kebutuhan mendasar OAP bukanlah pemekaran wilayah, melainkan pemenuhan hak pendidikan, kesehatan, serta pengembangan dan peningkatan ekonomi masyarakat lokal. Terkait sektor pendidikan, Medlama menyatakan OAP sangat membutuhkan ilmu (knowledge) yang lebih menitikberatkan kepada pengembangan dan peningkatan kualitas keterampilan atau skill, sehingga OAP dapat bersaing dengan orang non-Papua

“Karena, dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki, OAP akan mampu mengelola hidup dan berjuang dalam persaingan hidup saat ini. Manajemen pendidikan harus dikelola dengan baik. Jumlah guru yang kurang harus diperhatikan oleh pemerintah. Gedung sekolah dan sarana-prasarana serta fasilitas pendidikan harus disiapkan oleh pemerintah,” kata Medlama.

Baca juga: Pemerintah pusat dan DPR RI jangan buru-buru bahas pemekaran provinsi di Tanah Papua

Medlama menyatakan hari ini banyak OAP yang tidak menikmati pendidikan atau tidak mendapatkan hak pendidikan yang baik, karena guru tidak ada di tempat, gedung sekolah hancur, tidak ada perpustakaan. Fasilitas pendidikan lain di sekolah juga sangat memprihatinkan.

Menurut Medlama, realita itu kontras dengan aliran Dana Otsus Papua. Aturan bahwa 20 persen Dana Otsus Papua diperuntukkan bagi sektor pendidikan juga tidak memperbaiki kondisi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi di Papua.  Menurutnya, hal itu terjadi karena pemerintah daerah di Papua sibuk membangun sarana dan prasarana fisik, dan bukan berfokus untuk membangun manusia OAP.

Ia mencontohkan tidak berimbangnya jumlah perguruan tinggi dengan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Menurutnya, jumlah perguruan Tinggi di wilayah Pegunungan Tengah Papua hanya enam perguruan tinggi swasta (PTS) yang dibina Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selain itu, juga hanya ada empat perguruan tinggi agama yang dibina Kementerian Agama. Sementara jumlah PTS di Papua mencapai 70 perguruan tinggi.

“Mahasiswa yang belajar di PTS di Pegunungan Tengah Papua itu sekitar 80 persen adalah OAP, tetapi ternyata tidak diperhatikan pemerintah. Padahal Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi yang berada di suatu wilayah adalah aset pemerintah di wilayah tersebut,” kata Medlama.

Baca juga: DPR RI sudah siapkan Naskah Akademik pemekaran provinsi di Tanah Papua

Medlama menyebut slogan “Papua Mandiri dan Sejahtera” memang tidak berjalan dalam praktik di lapangan. Ia menyatakan OAP hanya akan mandiri dan sejahtera jika mendapat pelayanan pendidian yang baik. Jika tidak, OAP akan terus menjadi obyek penderita dari keputusan politik ataupun kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal pemekaran dan pembentukan DOB.

“Saya berkesimpulan bahwa pemekaran [provinsi dan pembentukan] DOB tidak akan memberikan jaminan bahwa OAP akan lebih sejahtera. DOB tidak akan mampu memberantas kemiskinan, dan tidak ada jaminan yang pasti bahwa pendidikan di Papua akan semakin baik [jika DOB dibentuk],” ungkapnya.

“Saya memberikan masukan bagi perintah, bahwa DOB tidak dibutuhkan OAP. Yang dibutuhkan Papua adalah pendidikan yang baik, kesehatan yang terjamin, dan ekonomi kerakyatan yang kuat di dalam Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. DOB adalah keinginan Jakarta, dan bukan kebutuhan Orang Asli Papua,” katanya. (*)

Ralat: Berita ini mengalami perbaikan pada 11 Maret 2022 pukul 22.53 WP. Dalam pemberitaan awal tertulis “Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Management Informatika dan Teknik Komputer atau STIMIK Agamua, Marthen Medalaman”. Informasi itu diperbaiki menjadi “Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Management Informatika dan Teknik Komputer atau STIMIK Agamua, Marthen Medlama”. Kami memohon maaf atas kesalahan tersebut. 

Editor: Aryo Wisanggeni G

Baca Juga

Berita dari Pasifik

Loading...
;

Sign up for our Newsletter

Dapatkan update berita terbaru dari Tabloid Jubi.

Trending

Terkini

JUBI TV

Rekomendasi

Follow Us